Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Wabah Depresi di Masa Pandemi

29 November 2021   15:01 Diperbarui: 30 November 2021   01:12 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi depresi (Sumber: kitzcorner via lifestyle.kompas.com)

Hampir 2 tahun kita bergelut dengan pandemi Covid-19. Tingkat vaksinasi makin membaik di seluruh dunia tetapi yang patut diwaspadai ialah gelombang kenaikan kasus yang tampaknya masih akan terjadi.

Pandemi Covid-19 memang tidak bisa diremehkan tapi ada pandemi lain yang lebih jarang dibahas tapi juga sama krusialnya untuk ditangani: wabah krisis kesehatan mental.

Tak cuma orang dewasa dan lansia, kini makin banyak anak-anak dan remaja yang juga menderita depresi dan kecemasan berlebihan terutama di masa pandemi. 

Hal ini ditemukan dari hasil studi University of Calgary yang dipublikasikan tahun ini di jurnal medis JAMA Pediatrics.

Sebanyak 80 ribu lebih muda-mudi di seluruh dunia diteliti terkait kondisi dan kesehatan mental mereka. Dan yang mengejutkan ialah ditemukannya gejala-gejala depresi dan kecemasan berlebihan yang meningkat hingga dua kali lipat pada anak-anak dan remaja dibandingkan dengan masa sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia.

Gejala-gejala depresi pada anak dan remaja ini diperkirakan mungkin sudah 'menjangkiti' sekitar 25% generasi muda global. 

Sementara itu, seperlima dari generasi muda ini juga diperkirakan mengalami peningkatan gejala kecemasan yang bisa didiagnosis secara klinis (bukan 'diagnosis' sendiri). 

Yang mencengangkan, jika dibiarkan tanpa intervensi atau penanganan yang tepat, bisa terjadi akumulasi akibat depresi dan kecemasan berlebihan ini pada anak-anak dan remaja yang seharusnya bisa menikmati kualitas kehidupan yang lebih baik. Tentu ini sebuah fenomena yang tragis dan harus segera ditangani dengan secepatnya.

Studi ini melibatkan para subjek yang tinggal di kawasan Asia Timur, Eropa, Amerika Utara, Amerika Tengah dan Amerika Selatan serta kawasan Timur Tengah.

SEKALI SEUMUR HIDUP

Yang menarik tingkat stres dan depresi anak-anak muda ini bisa berfluktuasi bergantung pada kebijakan pembatasan skala besar yang diberlakukan pemerintah. 

Begitu levelnya naik dan pembatasan dilakukan secara lebih ketat dan tegas, otomatis hal itu memicu penurunan kesehatan mental anak-anak muda secara umum.

Ini patut dipahami karena generasi muda sangat menikmati hubungan sosial. Mereka tak bisa diisolasi, dicegah untuk bertemu teman-teman dekat. 

Saat mereka tak bisa melangsungkan pembelajaran tatap muka, juga ada 'ongkos' mental yang harus dibayar anak-anak ini yang tak bisa diukur secara pasti namun terjadi dan tak bisa disangkal begitu saja.

Sebagian besar anak-anak ini harus rela melewatkan banyak kesempatan untuk menikmati masa muda mereka yang sangat penting untuk perkembangan mereka sebagai seorang manusia. 

Banyak peristiwa sosial seperti upacara kelulusan, pesta ultah, bepergian ke tempat hiburan bersama teman dan keluarga yang mereka tak bisa lakukan selama pandemi padahal ini kesempatan sekali seumur hidup. 

Bisa jadi mereka harus putus sekolah begitu pandemi melanda atau juga mengalami penurunan prestasi belajar saat harus belajar daring di rumah.

Larangan bertemu dengan teman-teman juga makin membuat kondisi berat bagi anak dan remaja. Maka tidak heran banyak dari mereka yang merasa depresif mengenai kehidupan.

UPAYA PEMULIHAN

Seiring dengan pulihnya kondisi masyarakat selama pandemi ini, kita juga bisa membantu proses pemulihan kesehatan mental anak-anak dan remaja dengan beberapa cara berikut.

Pertama, menjaga kualitas dan kuantitas tidur malam. Banyak anak dan remaja bahkan sudah mengalami insomnia sebelum pandemi karena penggunaan gawai yang berlebihan. Padahal tidur yang cukup dan berkualitas sangat penting agar kondisi fisik, psikologis dan kognitif mereka stabil dan baik.

Saat seorang anak atau remaja kekurangan tidur, mereka cenderung susah berkonsentrasi dan mengingat informasi saat belajar di sekolah. 

Tak hanya itu, mereka juga jadi lebih mudah gusar, kesal dan emosional. Ini karena tubuh mereka memproduksi terlalu banyak hormon stres.

Untuk mengembalikan kesehatan mental, ajak mereka berdisiplin dalam penggunaan gawai jelang jam tidur. Terangkan bahwa ini dilakukan demu kebaikan dan kesehatan diri mereka sendiri.

Kedua, ajak mereka berolahraga. Anak-anak dan remaja yang berolahraga secara rutin menunjukkan tingkat stres yang lebih rendah. 

Kegiatan fisik seringan apapun bisa membantu meredakan kecemasan, memperbaiki suasana hati dan membantu mereka merespon stres dengan lebih sehat.

Tak cuma itu, olahraga memberikan mereka sebuah kepuasan karena bisa mencapai atau menyelesaikan sebuah tugas. 

Kepercayaan diri bisa ditingkatkan dengan mengajak mereka berolahraga rutin. Akan lebih baik jika olahraga itu bisa dilakukan di luar ruangan saat matahari bersinar karena vitamin D juga bisa memperbaiki kesehatan mental.

Ketiga, ajak mereka ke alam bebas. Dengan menurunnya level PPKM, anak-anak dan remaja bisa diizinkan berkegiatan di luar rumah dengan protokol kesehatan. 

Mulailah ajak mereka berkegiatan di luar rumah, terutama di alam bebas (misalnya hiking ke gunung atau hutan, jalan di taman) sehingga mereka bisa terkena bawah sinar matahari, agar semangat mereka kembali pulih.

Kenapa keluar rumah dan bersentuhan dengan alam sangat penting? Diketahui bahwa orang-orang yang terpapar sinar matahari lebih jarang menunjukkan tingkat risiko depresi dan bunuh diri yang lebih tinggi.

Alam bebas juga memberikan kita efek anti stres yang besar. Saat manusia bersentuhan kembali di alam, tingkat stres mereka turun secara alami.

Keempat, ajak mereka kembali berinteraksi sosial. Kurangnya interaksi sosial bisa memicu depresi dan anak-anak bisa merasa tertekan begitu mereka dilarang bertemu teman-teman mereka. 

Berinteraksi lewat teknologi tetap tak bisa menggantikan kesempatan berinteraksi secara langsung. (*/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun