Mohon tunggu...
Wisnu Darjono
Wisnu Darjono Mohon Tunggu... Presiden CSAS Indonesia ; Pembina Yayasan Dirgantara ; Dosen PPI Curug ; Pengamat Penerbangan, Masalah Sosial dan Kebijakan Publik

Hobi membaca dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan Penerbangan, masalah sosial maupun Kebijakan Publik, diskusi dan bertukar pikiran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menjaga Indonesia Menuju Sejahtera: Belajar Dari Konflik Thailand - Kamboja

28 Juli 2025   06:15 Diperbarui: 28 Juli 2025   06:15 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak 28 Mei 2025, dunia menyaksikan eskalasi militer terbuka antara Thailand dan Kamboja---dua negara bertetangga di Asia Tenggara---yang saling serang di wilayah perbatasan.
Pemicu utama konflik adalah sengketa lama terkait Kuil Preah Vihear, situs warisan dunia UNESCO yang telah lama diklaim oleh kedua pihak. 

Di balik pertempuran tersebut, terdapat benih-benih nasionalisme, krisis dalam negeri, dan warisan kolonial yang belum diselesaikan secara tuntas.
Dari konflik ini, Indonesia patut belajar: bagaimana menjaga stabilitas wilayah, menyelesaikan sengketa perbatasan secara damai, dan mencegah tumpahnya darah atas nama kedaulatan.

Konflik yang Berakar Dalam

Kuil Preah Vihear telah menjadi sumber ketegangan sejak lama.
Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kuil tersebut berada di wilayah Kamboja. Namun Thailand menolak sepenuhnya hasil putusan tersebut, terutama atas area di sekitar kuil. 

Ketegangan memuncak lagi pada 2008 ketika Kamboja berhasil mendaftarkan kuil ke UNESCO. Pada pertengahan 2025, bentrokan kecil berujung pada serangan udara dan artileri, menewaskan puluhan, serta memaksa puluhan ribu warga sipil mengungsi.

Ini bukan hanya persoalan perbatasan geografis, tapi perbatasan harga diri dan kebanggaan nasional. Di tengah krisis politik dalam negeri, pemerintah Thailand dituding menggunakan konflik sebagai pengalihan isu. Situasi diperparah oleh meningkatnya sentimen nasionalis di kedua negara. Ketika kedaulatan dan politik bertemu dalam suasana tegang, perdamaian jadi korban pertama.

Refleksi untuk Indonesia

Indonesia memiliki sejarah panjang sengketa perbatasan, baik darat maupun laut.
Blok Ambalat di Laut Sulawesi masih disengketakan dengan Malaysia.
Di wilayah Laut Natuna Utara, kapal penjaga pantai Tiongkok kerap memasuki zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, menantang kedaulatan negara.
Di sisi darat, beberapa titik batas wilayah dengan Timor Leste dan Papua Nugini masih bersifat sementara.

Namun yang membuat Indonesia relatif tenang adalah pendekatan diplomatik dan kesadaran bahwa perang bukan jalan keluar. Konflik Thailand--Kamboja harus menjadi pengingat bahwa tanpa penyelesaian tuntas, benih konflik dapat tumbuh menjadi letusan terbuka---bahkan puluhan tahun kemudian.

Menang Tanpa Perang

Pelajaran penting dari konflik di Indochina adalah pentingnya memperkuat posisi hukum internasional. Indonesia harus memastikan bahwa semua klaim wilayah berbasis pada peta yang diakui bersama, perjanjian bilateral, dan prinsip UNCLOS.
Kementerian Luar Negeri dan Badan Informasi Geospasial (BIG) memiliki peran vital dalam menyiapkan dokumen yang kuat.

Selain itu, kehadiran negara di perbatasan---baik melalui TNI, Bakamla, maupun pembangunan ekonomi---merupakan bentuk pencegahan konflik. Wilayah yang kosong dari layanan negara cenderung menjadi titik rawan infiltrasi, pelanggaran, bahkan separatisme.

Nasionalisme yang Sehat

Indonesia juga perlu belajar membangun nasionalisme yang cerdas dan sehat. Nasionalisme tidak harus selalu bersuara keras atau emosional. Ia harus berbasis pengetahuan, penghormatan pada hukum internasional, dan kesadaran bahwa menjaga perdamaian adalah bagian dari keunggulan bangsa.

Ketika sengketa muncul, pemerintah harus transparan. Edukasi publik mengenai batas negara dan proses penyelesaiannya penting agar tidak muncul tuntutan populis yang kontraproduktif. Media dan tokoh publik juga harus bertanggung jawab agar nasionalisme tidak berubah menjadi chauvinisme.

Penutup: Sejahtera dalam Damai

Indonesia memiliki potensi besar menjadi kekuatan maritim dan ekonomi kawasan. Namun potensi itu hanya bisa tumbuh dalam iklim yang stabil. Perang, sekecil apa pun, akan menggerus kepercayaan investor, mengganggu perdagangan, dan menghancurkan pembangunan yang sudah dicapai.

Perdamaian bukan tanda kelemahan, tapi wujud tertinggi dari kendali dan kematangan suatu bangsa.
Maka menjaga Indonesia dari konflik seperti Thailand--Kamboja bukan semata urusan geopolitik, tapi syarat menuju kesejahteraan nasional yang berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun