Mohon tunggu...
The Luggage Traveler
The Luggage Traveler Mohon Tunggu... Administrasi - Travel the world to see the world

Luggage Traveler

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Mengunjungi Dua Desa Tradisional di Jepang

28 September 2019   22:05 Diperbarui: 29 September 2019   12:12 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hembusan udara dingin cukup membuat saya menggigil walaupun sudah mengenakan "pakaian tempur" mulai dari long john hingga winter jacket pada suatu pagi yang tenang di kota Takayama pada bulan Desember 2018.

Pagi itu adalah hari keempat saya berwisata di Negeri Sakura dan hari kedua berada di kota kecil yang tenang di kaki bukit, Takayama.

Hari itu saya berencana untuk mengunjungi dua desa tradisional yang cukup terkenal di Jepang, Shirakawago dan Ainokura, dengan menggunakan Nohi Bus Tour yang sudah saya pesan secara online satu bulan sebelumnya.

Tidak sulit untuk menemukan terminal di kota Takayama, karena merupakan satu-satunya terminal yang ada di kota kecil tersebut.

Walaupun jadwal tur baru dimulai pukul 8.30 pagi, namun sekitar pukul 7 saya sudah berjalan-jalan di area Takayama Station dan Nohi Bus Center yang terletak tepat di seberang hotel tempat saya menginap. Sambil duduk-duduk di bangku yang masih kosong saya pun mulai melahap onigiri yang saya beli di convenience store atau konbini terdekat.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8.15, artinya 15 menit lagi Nohi Bus yang sudah saya reservasi akan segera tiba di Nohi Bus Center Takayama, saya pun segera bergegas menuju ke sana dari Takayama Station yang berlokasi tepat di sebelahnya.

Ternyata pukul 8.20 bis sudah tiba di terminal dan saya pun langsung menunjukkan bukti reservasi yang sudah saya print. Ternyata ada kesalahan prosedur, bukti reservasi tersebut harus ditukar dengan semacam karcis di bagian customer service, akhirnya saya diantarkan menuju customer service oleh kondektur Nohi Bus yang sangat ramah.

Setelah mendapatkan karcis, saya langsung masuk ke dalam bus yang cukup besar, di dalam bus kira-kira terdapat 40 orang peserta tur yang semuanya berasal dari luar Jepang. Tepat pada pukul 8.30, bis berangkat dari Nohi Bus Center Takayama untuk menuju destinasi tur yang pertama, Desa Ainokura.

Sedikit penjelasan tentang tim tour guide dari Shirakawago Nohi Bus Tour, tim ini terdiri dari 3 orang dan dua diantaranya adalah mahasiswi yang masing-masing berperan sebagai tour guide dan kondektur. Kedua mahasiswi tersebut sangat ramah, fasih berbahasa Inggris, serta informatif dalam memberikan penjelasan tentang berbagai spot menarik yang terdapat di Ainokura dan Shirakawago.

Walaupun didampingi tour guide, tapi peserta dibebaskan untuk menjelajah sendiri berbagai area di dua desa tersebut, yang harus diingat adalah peserta harus kembali ke bis sesuai dengan jam yang telah ditentukan.

Perjalanan Nohi Bus menuju Shirakawago pada masa sekarang sudah semakin mudah, tidak lagi seperti dulu yang memakan waktu hingga 3 jam. Kemudahan tersebut bisa terwujud pasca selesainya pembangunan jalan tol Tokai Hokuriku Ekspressway dan Hida Tunnel pada tahun 2008.

Sepanjang jalan pemandangannya sangat indah karena terlihat gunung dan lembah di kejauhan, serta beberapa sisa salju yang masih terlihat di pinggir jalan tol. Salah satu pemandangan menarik yang saya lihat di sepanjang perjalanan adalah Desa Suganuma yang sebagian tertutup salju.

Melihat sisa-sisa salju di sepanjang jalan tol semakin membuat saya tidak sabar untuk segera bermain dan melihat langsung salju di Desa Ainokura dan Shirakawago. Apalagi saya telah mempersiapkan diri dengan membeli winter boots di ABC Mart Harajuku supaya bisa melangkah dengan nyaman di tengah padang salju yang luas. 

Ketika jam menunjukkan pukul 9.40 waktu setempat, bis meluncur menuju daerah perbukitan dan 5 menit kemudian akhirnya tibalah rombongan kami di destinasi pertama pada tur hari ini, Desa Ainokura.

Sebelum turun pemandu berpesan bahwa kami hanya memiliki waktu 45 menit untuk menikmati desa ini, sehingga kami diharapkan sudah berada kembali di dalam bis pada pukul 10.30.

Setelah mendengarkan penjelasan, rombongan langsung turun dari bis dan mencari spot-spot foto yang bagus, begitu pula dengan saya, yang langsung takjub dan terkejut karena untuk pertama kalinya saya bisa melihat secara langsung fenomena alam berwarna putih bersih ciptaan Yang Maha Kuasa... salju. Wow....

Welcome to Ainokura (dokpri)
Welcome to Ainokura (dokpri)
Senang sekali rasanya hati ini bisa melihat salju di salah satu desa tradisional di Jepang, di awal Desember ketika mayoritas ramalan cuaca menjelaskan bahwa tidak akan turun salju di awal Desember untuk kota-kota yang berada di Pulau Honshu.

Salju tersebar di seluruh penjuru desa, mulai dari sekitar tempat parkir bis, rumah penduduk, toko souvenir, restoran, dan beberapa tempat lainnya semuanya tertutup salju yang cukup tebal sehingga menjadikan Desa Ainokura seperti desa di Negeri Dongeng. 

Saya pun mulai menjelajah beberapa sudut desa kecil tersebut dan tidak lupa untuk mencoba winter boots dengan berjalan di halaman rumah penduduk dan lapangan yang sepenuhnya tertutup salju serta tentunya tidak lupa untuk menggengam butiran salju dan melemparkannya ke lapangan.

Sama seperti desa tradisional lainnya yaitu Shirakawago, rumah penduduk di desa Ainokura juga menggunakan arsitektur Gassho-Zukkuri atau seperti tangan manusia yang sedang berdoa.

Desa ini juga memiliki beberapa spot menarik yang dapat dikunjungi antara lain Ainokura Folklore Museum, Ainokura Traditional Industry Museum, dan Viewpoint. Namun karena keterbatasan waktu, saya hanya berfoto di depannya saja dan tidak sempat masuk ke dua museum dan viewpoint.

Snowy Ainokura (dokpri)
Snowy Ainokura (dokpri)
Ainokura Gassho-zukkuri house (dokpri)
Ainokura Gassho-zukkuri house (dokpri)
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10.25, saya pun bergegas untuk segera kembali ke bis setelah puas berfoto di desa kecil yang semakin cantik dengan hamparan salju. 

Tepat pukul 10.30 bis meninggalkan Desa Ainokura untuk menuju desa berikutnya, yaitu tujuan utama dari Nohi Bus Tour hari ini sekaligus salah satu desa tradisional yang paling terkenal di Jepang, Shirakawago. Perjalanan ke Shirakawago memakan waktu kurang lebih 1 jam 15 menit dan kembali melalui jalan tol.

Snowy Ainokura (dokpri)
Snowy Ainokura (dokpri)
Tepat pukul 11.45, tibalah rombongan tur di desa Shirakawago yang menjadi tujuan utama tur hari ini. Berbeda dengan Ainokura, Shirakawago lebih besar dan memiliki terminal bus dan juga lampu lalu lintas yang merupakan satu-satunya di desa itu.

Selain lebih besar, cuaca di Shirakawago juga berbanding terbalik dengan Ainokura karena selain tidak bersalju matahari juga bersinar dengan terang pada hari itu.

Destinasi pertama yang dikunjungi di Shirakawago adalah Tenshukaku Observatory, tempat dimana pengunjung dapat melihat dan memotret seluruh desa.

Sebelum memasuki sesi foto, terlebih dahulu rombongan diajak untuk makan siang yang merupakan bagian dari paket tur. Menu makan siang terdiri dari irisan tahu, soba, buncis, ikan, dan sejumlah potongan kecil daging sapi yang tentunya masih hangat. Sedangkan untuk minumannya adalah hot ocha khas Jepang yang boleh ditambah tanpa dikenakan biaya.

Lunch at Tenshukaku Observatory (dokpri)
Lunch at Tenshukaku Observatory (dokpri)
Selesai makan siang, rombongan kami langsung menuju observation deck yang dibatasi oleh pagar kayu untuk memantau seluruh desa Shirakawago. 

Menurut penilaian saya pribadi, desa ini akan terlihat lebih cantik ketika salju sedang turun dan menutupi sebagian atau seluruh desa.

Shirakawago (dokpri)
Shirakawago (dokpri)
Selesai makan siang dan memotret Desa Shirakawago dari Tenshukaku Observation Deck, bus melanjutkan perjalanan menuju Shirakawago Bus Terminal, dimana dari tempat itulah saya dan seluruh rombongan mulai menjelajah Desa Shirakawago yang terkenal.

Sebelum turun dari bus, pemandu mengingatkan kami bahwa bis akan parkir di Seseragi Parking Lot yang terletak di dekat Heritage Museum yang sayangnya sedang tutup pada hari itu, dan kami harus sudah berada di bis pada pukul 14.10 waktu setempat. Penjelajahan di desa Shirakawago dimulai dari rumah terbesar yang terletak di desa itu, Wada House.

Untuk menjelajah rumah ini sayangnya dikenakan biaya yaitu sebesar 300 JPY, sehingga saya memutuskan untuk berfoto saja di depannya.

Pada saat itu juga tidak terlalu banyak turis yang masuk ke dalam rumah, mungkin karena sedang tidak turun salju sehingga cukup menikmati arsitektur gassho zukkuri rumah tersebut dari luar. 

Perjalanan berlanjut ke arah timur dan kembali bertemu dengan rumah terbesar kedua di Shirakawago, Kanda House. Sama seperti rumah sebelumnya, rumah ini juga tidak gratis untuk dijelajahi dan biaya untuk masuk ke dalamnya sama-sama 300 JPY. 

Tepat di depan Kanda House terdapat satu rumah lagi yang cukup terkenal di Shirakawago, yaitu Nagase House. Rumah ini juga tidak gratis dengan biaya masuk yang sama seperti dua rumah sebelumnya, tetapi saya melihat sesuatu yang menarik disini yaitu sisa-sisa salju yang masih menempel di atap rumah.

Dari Nagase House, saya kembali melanjutkan perjalanan ke arah timur dan berikutnya yang terlihat adalah sebuah kuil kecil bernama Myozenji Temple. Disini saya sempat duduk sebentar sambil memotret suasana desa di siang hari yang sangat cerah.

Dari Myozenji Temple perjalanan saya lanjukan ke arah selatan dimana saya menemukan hal menarik berikutnya, kincir air. Ini pertama kalinya saya melihat kincir air yang berputar sehingga saya tidak melewatkan momen tersebut untuk mengabadikannya dengan kamera. Kincir air tersebut terletak di samping sebuah toko souvenir yang cukup ramai.

Puas berfoto dengan kincir air di samping toko suvenir, saya pun bergegas melanjutkan perjalanan ke arah selatan karena waktu sudah menunjukkan pukul 13.50, artinya hanya tersisa 20 menit lagi untuk menikmati Shirakawago.

Untuk menuju tempat parkir bis yaitu Seseragi Parking Lot, saya pun harus melalui jembatan yang cukup besar namun cukup menegangkan karena bergoyang ketika dilewati, yaitu Deai-Bashi Suspension Bridge.

Setelah melewati jembatan, di sebelah kiri saya terdapat Gasshozukuri Minkaen Outdoor Museum atau museum terbuka yang memiliki 9 rumah gassho-zukkuri. Namun sayang sekali pada saat itu sedang tutup sehingga saya harus puas hanya melihat museum terbuka tersebut dari luar.

Kanda House (dokpri)
Kanda House (dokpri)
Nagase House (dokpri)
Nagase House (dokpri)
Gasshozukuri Minkaen Outdoor Museum (dokpri)
Gasshozukuri Minkaen Outdoor Museum (dokpri)
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 14.10, supir Nohi Bus telah menyalakan mesin dan menginjak pedal gas perlahan-lahan meninggalkan desa Shirakawago.

Walaupun pada kunjungan ini Shirakawago tidak seperti desa di negeri dongeng yang berselimut salju, namun saya cukup puas bisa melihat langsung beberapa rumah dengan desain arsitektur gassho-zukkuri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun