Demokrasi mestinya menjadi pesta rakyat, bukan arena pengorbanan. Namun, Pemilu serentak 2019 dan 2024 menyisakan catatan kelam dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Pada 2019 lalu Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengungkap jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia terdapat 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. Kemudian tercatat sebanyak 6 panitia pemilihan kecamatan (PPK), 23 panitia pemungutan suara (PPS) dan 152 KPPS yang meninggal dunia pada Pemilu 2024, sebagaimana disampaikan Ketua KPU Hasyim Asy'ari. Â Sebagian masyarakat mulai mempertanyakan: apakah efisiensi demokrasi layak dibayar dengan nyawa manusia?
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 kemudian mengubah arah sejarah elektoral kita. Melalui putusan itu, Mahkamah memutuskan bahwa Pemilu nasional (Presiden, DPR, dan DPD) dipisahkan dari Pemilu lokal (Kepala Daerah dan DPRD).
Konstitusionalitas yang Diuji oleh Nurani
Pemilu serentak diharapkan menjadi model paling efisien dalam tahapan politik. Secara teori, hal itu memang selaras dengan semangat Pasal 22E UUD 1945 yang menekankan prinsip keteraturan, efisiensi, dan keadilan elektoral. Namun paradoks muncul dalam praktiknya, karena nyatanya pemilu serentak  dianggap demokrasi yang konstitusional secara prosedural, tetapi secara substansi sistem tersebut tidak manusiawi.
Beban kerja ekstrem yang menyebabkan meninggalnya petugas pemilu, sejatinya negara sedang berhadapan dengan pelanggaran hak asasi manusia terutama hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas kondisi kerja yang manusiawi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28A dan 28H UUD 1945. Di sinilah ironi itu muncul: konstitusi dijalankan, tetapi nilai-nilai kemanusiaan diabaikan.
Pemisahan Pemilu: Rasionalitas atau Reaksi?
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyebutkan bahwasannya pemisahan ini bertujuan untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat. Tidak hanya itu, hal ini juga guna mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tersebut dan tujuan penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Namun jika dicermati lebih dalam, keputusan ini juga merefleksikan bentuk reaksi moral terhadap luka kemanusiaan yang muncul dalam pemilu sebelumnya.
Rasionalitas pemisahan pemilu bisa dibaca sebagai upaya negara untuk mengembalikan keseimbangan antara prosedur dan kemanusiaan. Dengan memisahkan waktu pelaksanaan, diharapkan penyelenggaraan menjadi lebih terkendali, tekanan fisik terhadap petugas berkurang, dan hak asasi mereka terlindungi. Namun, langkah ini tetap harus diuji dari sisi konstitusionalitas baru yang ia ciptakan apakah pemisahan itu sesuai dengan amanat UUD 1945 yang menghendaki pemilu diselenggarakan secara efisien dan menjamin kesetaraan kesempatan politik?
Sebab, pemisahan ini hanya sebuah rekasi jika kemudian menimbulkan permasalahan baru seperti pembengkakan anggaran, memperpanjang siklus politik, dan meningkatkan polarisasi, maka demokrasi bisa kembali jatuh pada bentuk inkonstitusionalitas lain: bukan lagi pada nyawa yang dikorbankan, melainkan pada beban negara dan ketimpangan akses politik warga.
Hak Asasi Manusia sebagai Ukuran Demokrasi