Mohon tunggu...
Dede Rusmana
Dede Rusmana Mohon Tunggu... Penulis - Sedang belajar menulis.

Satu dari 250 juta manusia yang diberi kesempatan hidup. Suka menulis di berbagai platform. Penggemar Harry Potter dan Taylor Swift. penaku28@gmail.com 📧

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ringga: #1 Alam adalah Lagu

15 November 2017   10:23 Diperbarui: 15 November 2017   10:36 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya kisah Ringga sama dengan kisah-kisah kebanyakan orang. Terkadang Ringga bahagia, kecewa, juga marah. Ringga manusia, lelaki dan sering melakukan kesalahan. Dan penyendiri.

Tapi kali ini hati Ringga sedikit lega dan bebas. Ia merasa seperti burung yang terkurung begitu lama dalam sangkar sempit lalu suatu hari dilepas begitu saja. 

Sebenarnya Ringga tidak selalu sendirian. Bunga. Wanita itu baik karena sedia mendengarkannya mencurahkan semua kerisauan hati. Dan tadi adalah pertama kalinya Ringga berbicara banyak kepada Bunga. 

Meskipun sering, baik Ringga pun Bunga terkekeh mendengar cerita masing-masing. Masalah yang berat dan serius pun setelah diceritakan kepada Bunga, menjadi biasa saja bagi Ringga. Tidak ada apa-apanya.

Itu terjadi lima jam lalu saat jam pelajaran di kelas kosong. Dan sekarang Ringga sendirian berjalan santai di trotoar, di samping riuhnya kendararaan. Beberapa angkutan umum membunyikan klakson dan mengajak tiap kali melihat Ringga. Ringga menggeleng sebagai bahasa ia menolak dan memilih berjalan kembali.

Sebenarnya cuaca sore ini tidak cerah tapi juga tidak terlalu mendung. Ini adalah sore yang damai, dimana angin berdesir lembut dan suasana hati Ringga sedang baik.

Ringga mendongak menatap langit. Awan hitam terlihat menggantung di muka langit, tapi tidak sampai menutupi seluruhnya. Apakah langit akan menangis sore ini?

Ada alasan lain mengapa Ringga memilih berjalan kaki untuk pulang, yaitu mampir ke taman kota yang sudah terbengkalai.

Lokasinya tidak terlalu jauh dari sekolahnya dan taman itu sudah jarang dimasuki orang dengan kata lain taman itu sepi dan tenang. Tempat sempurna untuk siapa saja yang ingin menyendiri.

Meskipun untuk sampai ke bisa disebut bekas taman kota, Ringga harus berjalan melewati beberapa sekolah lain dan berjalan di samping kemacetan. 

Tapi itu semua terbayar karena taman kotanya memiliki danau. Mungkin tidak terlalu besar tapi cukup indah. Menurut Ringga walikota bisa saja memperbaiki taman yang sebenarnya cukup bagus ini. Tapi, ada desas-desus warga sekitar yang menyebutkan kalau danau ini berhantu. Lantas pemerintah tidak melakukan apapun terhadap taman ini. Tapi Ringga tidak mempercayai itu.

Biasanya Ringga duduk di bawah pohon mangga besar, dengan mata menatap genangan air yang sesekali bersinar karena cahaya matahari. Mendengarkan musik atau hanya memejamkan mata seraya merenung. Ini sudah lama ia jalani. Entah ia sedang bahagia ataupun lelah, ia akan berada disini. 

Ringga sudah sampai di taman kota. Ia sudah tahu akan kemana, lantas menyeret kakinya cepat-cepat untuk sampai di bawah pohon mangga. Tempat paling tepat untuk menyaksikan pemandangan danau di sore hari. Selain pepohonan dan bunga sebenarnya danau ini dikelilingi lima buah gazebo di tepinya. Lanskap danau ini mampu menenangkan hati dan pikirannya.

Ringga duduk di atas rerumputan liar di bawah pohon mangga setelah melepas tas dan menaruhnya sembarang. Ia mengambil air botol mineral lalu meneguknya. 

Ringga menghela napas pelan seraya memejamkan matanya. Ia harus belajar untuk berbicara dan membuka diri. Kata-kata Bunga tadi menolak pergi dari otaknya. "Aku tidak takut menghadapi dunia dan takdirku. Aku percaya kalau Tuhan menulis kisah hidupku jauh-jauh hari bahkan sebelum aku dilahirkan ke dunia ini. Semua ada catatannya. Dan kalaupun aku berlari atau pun berpaling dari takdir, tetap saja aku akan berakhir sama. Jangan pernah menentang alam."

Ringga membuka mata. Ia berusaha mengerti maksud perkataan Bunga. Ringga tersenyum kecut, danau ini benar-benar terlihat indah. Airnya yang tenang, meskipun angin sering menggoyangkannya, rerumputan yang ia duduki, juga langit sore. Alam di depannya. Alam yang Ringga lihat seakan mengerti perasaannya.

Ringga hanya duduk saja dan langit hampir seluruhnya ditutupi awan. Sepertinya langit benar-benar akan menurunkan hujan. Tapi, Ringga sedang tidak terlalu sedih saat ini. Mengapa langit menangis?

Awan tidak mampu lagi menahan jutaan air. Hujan pun tercipta. Ringga menyambar tasnya dan berlari memasuki gazebo. Untung hujannya tidak terlalu besar.

Ringga melihat sekeliling taman dalam keadaan sedang diguyur hujan. Ini kali pertama Ringga berada di taman kota dengan suasana hujan. Tidak begitu buruk, pikirnya.

Ringga terkesiap melihat sesosok manusia berlari memasuki gazebo sepuluh meter di depannya. 

Ringga memandangnya penasaran, karena tidak ada orang lain lagi yang datang ke tempat ini selain dirinya. Ringga menangkap sosok itu adalah seorang perempuan. Perempuan itu mengenakan seragam sekolah, tapi berbeda dengan seragam sekolahnya.

Ringga membaca wajah perempuan itu. Perempuan itu menatap kosong ke danau. Ringga tidak bisa menerjemahkan wajah perempuan itu tapi Ia yakin kalau prempuan itu sedang marah dan kecewa terhadap kenyataan yang ia temukan. Sama dengan Ringga pada waktu lalu.

Sementara hujan semakin besar. Perempuan itu terlihat mencari-cari sesuatu di dalam tasnya. Perempuan itu terlihat mengeluarkan sebuah benda, yang masih dapat Ringga lihat kalau itu adalah sebuah handphone dan earphone.

Semua orang pernah melakukan itu entah saat bahagia, marah, atau sedih. Saat seseorang butuh sebuah lagu yang mampu menggambarkan perasaannya.

Suatu hari Ringga pernah tidak menemukan satupun lagu yang mampu mengerti keadaannya. Alhasil, dia menyerah. Lalu berteriak ke danau dan melempar bebatuan kecil. 

"Apa perempuan itu tidak menemukan lagunya?" tanya Ringga dalam hati saat melihat jari-jari perempuan itu gelisah menyentuh handphone. "Hei, kau bisa buang itu!"

Perempuan itu diam lagi menatap air danau yang diserbu air hujan. Sepertinya perempuan itu menemukan lagunya. Ringga membiarkannya tapi masih mengawasi. Karena sosok di depannya adalah perempuan, taman ini sangat sepi dan sekarang adalah sore yang gelap. Bagaimana kalau perempuan itu berniat melakukan sesuatu yang buruk?

Ringga melihat perempuan itu melepaskan earphone dari telinganya. Ringga tahu, perempuan itu sedang kacau suasana hatinya. Saat tidak tahu harus melakukan apa, selain diam. Saat tidak mampu untuk marah. 

Ringga ingin menghampiri perempuan di depannya. Tapi itu tidak mungkin.

"Hei, kau bisa buang itu!" ucap Ringga dalam hati.  "Buang rasa sakitmu."lanjutnya.

Perempuan itu diam lagi menatap hujan yang semakin deras. Lalu memejamkan matanya. 

"Nah, begitu. Kau bisa!" ucap Ringga lagi. Masih dalam hati.

Ringga melihat air mata lolos dari mata perempuan itu. Sangat deras. Sederas hujan di taman kota sore ini. Perempuan itu membiarkan hujan jatuh di kedua telapak tangannya. Seolah dia sedang berbicara kepadanya. 

Tidak. Perempuan itu sedang menciptakan lagu tentang perasaannya sendiri. Hujan adalah melodinya. Dan air mata itu adalah suara senyap yang lebih mengerti dari sekadar lagu. 

Ringga mengeluarkan bolpoin dan secarik kertas. Lalu mulai menulis,

"14 November,

Delapan jam yang lalu

Disebuah sudut kelas

Bunga mengajariku sesuatu

Untuk tidak menentang alam

Aku pulang dan mampir di taman kota

Lalu langit mulai menghitam

Langit menggugurkan rinai hujan

Untuk menemani seorang wanita yang sedang bersedih di sore ini

Yang ia inginkan hanyalah sebuah lagu

Lagu yang mengerti sedihnya

Tapi ia tak menemukannya

Maka ia menangis, bersama gemuruh hujan sore ini

Lalu ia mengerti jikalau alam adalah lagu

Seperti sore ini

Saat hujan adalah melodi, dan air mata itu adalah suara sedihnya" - Ringga

Ringga terkejut menampaki perempuan itu sudah tidak lagi di gazebo. Melainkan, berjalan pelan, menerobos hujan. 

Ringga mencoret namanya yang baru saja ia tulis. Lalu menulis lagi,

"Perempuan itu menerjang hujan dengan pelan

Berjalan dibawahnya, dan berusaha bersahabat dengan alam

Karena alam adalah lagu" - Ringga

Ringga pulang setelah hujan reda. Ia tidak sabar untuk menceritakan kisah ini pada Bunga. Bahwa"Ribuan bahkan jutaan lagu yang ada di dunia ini, terkadang tidak cukup mampu untuk menggambarkan dan mengerti perasaan seseorang. Maka seseorang harus menciptakan lagunya sendiri."

Ringga belajar dua hal sore ini yaitu untuk tidak menentang alam, justru harus bersahabat dengannya.

#tbc.... #dr

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun