Mohon tunggu...
Wawan Ridwan AS
Wawan Ridwan AS Mohon Tunggu... Guru dari Cikancung

Konsep, Sikap, Action menuju Good Respect.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ancaman Desentralisasi Nilai: Perilaku Politik Ular Merpati Kant dalam Krisis Kepercayaan Publik

30 Agustus 2025   13:35 Diperbarui: 30 Agustus 2025   15:08 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung DPR RI Senayan Jakarta | Foto: Kompas.com

Saat ini publik kerap disuguhi banyak peristiwa khususnya dalam ranah sosial politik kita. Perilaku koruptif, transaksi politik, ketidakpercayaan publik pada politisi sebagai wakilnya, sehingga menimbulkan gelombang reaktif publik. Rentetan peristiwa ini memunculkan permasalahan serius tentang etika dan moralitas elit yang mengarah pada ancaman desentralisasi nilai. 

Kondisi yang cukup mengkhawatirkan, norma moral kolektif kita terasa bias, kuat dalam slogan namun rentan dalam implementasinya, terlalu banyak pertarungan kepentingan. Kondisi ini bukan sekadar dinamika sosial biasa, melainkan sebuah ancaman serius bagi tatanan kehidupan berbangsa kita yang ber-Pancasila.

Perilaku-perilaku yang ditampilkan para elit ataupun politisi cenderung menampilkan sebagaimana Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik; merpati dan ular sehingga memicu krisis politik yang berujung pada erosi masif terhadap kepercayaan publik.

Ancaman Desentralisasi Nilai: Dilema Moralitas Politik di Parlemen

Krisis kepercayaan publik, saat politisi gagal bertindak secara etis dan moral, publik menjadi skeptis dan curiga terhadap semua institusi politik. Menurunnya tingkat kepercayaan yang merupakan dasar dari kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat bisa tak terhindarkan.

Desentralisasi nilai-nilai moral juga berpotensi pada keruntuhan sosial. Ketika nilai-nilai moral tidak lagi menjadi dasar dari tindakan politik, masyarakat menjadi terpolarisasi dan terfragmentasi. Kelompok-kelompok yang merasa tidak terwakili atau dieksploitasi oleh sistem politik yang tidak berfihak berpotensi pada tindakan ekstrem publik. Protes dan demonstrasi dapat berubah menjadi kekerasan, terancamya kohesi sosial.

Desentralisasi nilai-nilai moral juga dapat menyebabkan kekacauan dalam pembuatan kebijakan. Ketika politisi lebih fokus pada keuntungan pribadi daripada kebaikan bersama, kebijakan yang dibuat mungkin tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip etika dan moral, tetapi berdasarkan pada kepentingan pribadi atau ambisi kekuasaan yang dapat merugikan masyarakat.

Secara ideal, parlemen seharusnya menjadi institusi laksana Akademinya Plato, di mana para politikus, yang disebut negarawan, mengemban tugas mulia sebagai perumus kebijakan, pembuat undang-undang, dan penyambung lidah rakyat.

Dalam tugas-tugas konstitusionalnya, mereka diharapkan mampu melahirkan gagasan-gagasan brilian dan bertindak sesuai etika serta moralitas politik demi tercapainya keadilan sosial dan pencerahan bagi masyarakat.

Namun dalam realitasnya, implementasi etika legislatif sering dipertanyakan. Persoalan serius muncul karena sistem kerja parlemen yang bersifat kolegial, di mana kesuksesan atau kegagalan menjadi tanggung jawab bersama.

Kondisi ini sering kali dimanfaatkan oleh anggota dewan untuk bersembunyi di balik kolega, yang membuat fungsi kontrol menjadi tumpul dan mendorong praktik korupsi berjamaah.

Aih-alih berpegang teguh pada moral, mereka juga sering terlihat melakukan perilaku tidak etis lainnya, bermain game, merokok, berkelahi sesama politisi atau tidur saat sidang, yang semakin menjauhkan mereka dari bingkai etika dan moral yang seharusnya.

Perilaku Ular Merpati Kant: Mengapa Politisi Condong Menerjang Moral?

Immanuel Kant menawarkan perspektif yang menarik tentang krisis politik ini. Menurut Kant, wajah ular dan merpati menggambarkan seorang politisi atau pemimpin yang menggunakan kata-kata manis dan janji-janji palsu untuk memanipulasi publik dan mendapatkan kekuasaan.

Seperti ular dan merpati, mereka menyembunyikan motif dan tujuan sebenarnya, yang seringkali bertentangan dengan kepentingan publik. Celakanya, yang sering menonjol adalah 'sisi ular' ketimbang watak 'merpati'-nya.

Kant percaya bahwa politisi yang menunjukkan wajah ular merpati ini telah mendesentralisasi nilai-nilai moral dan etika dalam kehidupan publik. Mereka menempatkan kepentingan pribadi, ambisi kekuasaan, dan keuntungan di atas kepentingan publik.

Mereka mengabaikan nilai moral Kant, yaitu imperatif kategoris yang menuntut bahwa tindakan kita didasarkan pada prinsip-prinsip universal yang dapat diterapkan pada semua orang.

Dalam pandangan Kant, desentralisasi nilai-nilai moral dalam politik mengarah pada krisis kepercayaan publik. Ketika politisi gagal bertindak berdasarkan prinsip-prinsip moral yang universal dan mengutamakan kepentingan pribadi, publik kehilangan kepercayaan pada institusi politik dan pemimpin mereka. Akibatnya, masyarakat menjadi terfragmentasi, dan kerjasama sosial menjadi sulit untuk dicapai.

Mengapa politisi condong menerjang moral?

Karena ia ingin dikecualikan. Namun manusia juga condong untuk menundukkan diri di bawah penguasa atau kelompoknya, karena ia juga ingin termasuk ke dalamnya. Politik bermain dengan watak kontradiktoris manusia tersebut.

Polarisasi antara para pendukung dan para penolak dalam demokrasi elektoral bersumber dari 'kodrat' kontradiktoris manusia sendiri. Seandainya kontradiksi antara sosialitas dan individualitas tidak terdapat dalam diri manusia, bukan hanya dinamika politik menjadi tidak terjadi, melainkan politik itu sendiri menjadi tidak mungkin.

Politik sebagai seni kemungkinan tidak lain daripada cermin kodrat manusia sendiri. Kant kemudian melukiskan watak kontradiktoris manusia, menyebutnya sebagai kecenderungan untuk berbuat amoral.

Wajah Politik dan Dampaknya pada Kepercayaan Publik

Situasi politik kita saat ini sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Beberapa peristiwa dalam beberapa pekan terakhir pasca perayaan 80 tahun merdeka tampaknya kurang kondusif. Dilansir dari berbagi media terjadi demontrasi besar yang menuntut pembubaran DPR, disusul beberapa demontrasi di beberap kota atas DPRD nya, seperti di Bandung dan Makassar, bahkan peristiwa ini menelan korban nyawa.

Situasi ini makin diperparah pula dengan beberapa pernyataan politisi yang kontradiktif dengan publik sebagai pembenaran perilaku mereka. Termasuk juga pernyataan-pernyataan yang memicu reaksi publik dari beberapa pejabat publik yang notabene sebagian besar berasal dari parpol. Sehingga situasinya semakin memicu respon negatif publik atas tindakannya, padahal mereka adalah politisi yang mewakili rakyat yang seharusnya membelanya.

Berdasarkan hasil survei dari berbagai lembaga survey, tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif seperti DPR dan Partai Politik umumnya berada di peringkat terbawah, dengan tingkat kepercayaan yang cenderung lebih rendah dan sering kali menjadi sorotan.

Dinamika ini juga terlihat pada lembaga penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan Agung, yang tingkat kepercayaannya fluktuatif, naik atau turun seiring dengan kasus-kasus besar yang mereka tangani (detikNews dan Kompas.com)

Krisis kepercayaan publik ini dipicu oleh serangkaian perilaku politisi/partai politik ataupun menjadi pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi dan kroninya, mengorbankan kepentingan publik.

Politisi juga seringkali gagal memenuhi janji-janji kampanye mereka, yang semakin menambah ketidakpercayaan publik. Politisi yang terpilih seringkali lebih fokus pada kepentingan partai dan ambisi pribadi mereka daripada melayani konstituen yang memilih mereka. Akibatnya, publik merasa kecewa dan marah, yang berujung pada protes dan demonstrasi seperti yang terjadi dalam demo DPR saat ini.

Upaya Mengembalikan Nilai dan Membangun Marwah Politik

1. Menurut Kant perlunya mengembalikan nilai-nilai moral dan etika dalam kehidupan publik. Politisi dan pemimpin harus bertindak berdasarkan kategori moral Kant, yaitu imperatif kategoris, yang menuntut bahwa tindakan kita didasarkan pada prinsip-prinsip universal yang dapat diterapkan pada semua orang.

2. Politisi harus bertindak secara jujur, transparan, dan bertanggung jawab, menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau partai. Terbuka terhadap kritik dan masukan dari konstituen mereka, bekerja untuk melayani kepentingan jangka panjang masyarakat, bukan hanya keuntungan jangka pendek.

3. Mengedepankan etika politik dalam perpolitikan. Pada dasarnya etika politik merupakan pencerminan sikap pemimpin yang baik dan bertanggungjawab karena kemampuannya untuk bersikap sesuai dengan perkataan yang telah dilontarkan. 

Sebagaimana ungkapan Bung Karno mengatakan untuk satukan kata dengan perbuatan', harusnya ditiru para elite politik, tetapi ternyata justru elite-elite ini tidak mampu menjaga ruh ajaran Bung Karno itu sendiri.

Peran Aktif Media dan Masyarakat

Media dan masyarakat sipil memiliki peran sentral sebagai pengawas independen. Media bertanggung jawab mengekspos tindakan politisi yang kontradiktif dengan kepentingan publik, sementara masyarakat sipil, melalui organisasi dan kampanye, dapat menuntut akuntabilitas dan mendorong partisipasi warga dalam proses politik.

Dengan kolaborasi ini, akan lebih sulit bagi politisi untuk menyembunyikan motif dan perilaku mereka yang tidak etis, sehingga masyarakat dapat membuat keputusan yang lebih cerdas.

Pencegahan perilaku politik di masa depan sangat bergantung pada terbentuknya budaya akuntabilitas dan transparansi. Hal ini menuntut para politisi untuk bersikap terbuka dan siap mempertanggungjawabkan setiap keputusan mereka.

Masyarakat juga harus terlibat secara aktif dan berkelanjutan dalam pengawasan. Dengan terciptanya budaya ini, perilaku ular dan merpati dapat dicegah, karena politisi yang tidak beretika akan mudah terdeteksi, dan publik akan menjadi lebih teredukasi serta mampu menuntut perubahan nyata.

Membangun Marwah Politik dalam Kepercayaan Publik

Perilaku buruk para politisi pada dasarnya disebabkan karena lemahnya penempatan makna hukum dan etika dalam kehidupan mereka. Hukum cenderung hanya dipahami sebagai suatu kepastian belaka, tidak dipahami pada makna lain seperti kemanfaatan dan keadilan.

Krisis kepercayaan publik berakar dari ketidakmampuan politik untuk menjembatani jurang antara idealisme dan realitas. Di sinilah wajah ular dan merpati Kant menjadi gambaran nyata: watak ularlah yang terus mendominasi, menggerus nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi standar.

Ancaman desentralisasi nilai hanya dapat diatasi jika politisi kembali pada esensi moralnya, bukan hanya karena tuntutan hukum, melainkan karena kesadaran akan tanggung jawab etis. Hanya dengan begitu, kepercayaan publik dapat kembali dibangun, dan marwah politik sebagai jalan pengabdian dapat dikembalikan.

Ref: Mizan: Jurnal Ilmu Syariah, 2014 & Jurnal Ledalero, 2024

| Baca juga: Kebisingan Publik: Paradoks Narasi dan Opini dalam Perayaan Kemerdekaan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun