Alam raya prasejarah hilang tak berjejak,
berganti seribu wajah penuh luka akhir zaman.
Gua tempat huni berpindah rupa tanpa sisa,
manusia berevolusi berganti akalrupa.
Semesta menyediakan segala macam bekal kehidupan.
Berganti musim, air dan api pemantik jiwa.
Sedikit tanah dihalaman sudah tak bisa bercocok tanam,
berganti kerasnya alas karena bebalnya otak hati manusia.
Alam subur sebagai tempat tidur,
makan, beternak, bertani, bercumbu, beranak pinak,
penanda kehidupan tak pernah putus dari masa lalu.
Di mana jejak usang bersua hidup kini?
Adakah nilai purba masih bersemi?
jiwa rindu bernyanyi gemercik air,
melantunkan melodi tanpa luka suara
Apakah perlu membawa anak panah?
Untuk berburu tikus yang kini makin liar?
Kanibal rakus menghabiskan lumbung pangan kita.
Hanya jangkrik dan belalang persediaan makanan tersisa.
Kunang-kunang terengap dalam tumpukan kotoran.
Sang pengejar daging tak elok dikenang,
Fanatisme buta, angkuh kuasa lama.
Cemburu berkarat, dendam berjiwa rimba.
Sesat alam pikiran, lupa norma kehidupan.
Sang tetua batu memeluk hangat erat.
Menjaga adab memberi pekerti.
Empati tulus, sabar menjaga nalar.
Akar kebaikan, tak lekang ditelan masa.
Zaman akan segera berakhir,
kebaikan tetap memberi jalan nirvana
biarlah cahaya purba senja tetap menyapa,
bersama tetua berdamai di sisa zaman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI