Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cermin Tak Berdusta

27 Desember 2019   13:18 Diperbarui: 29 Desember 2019   23:38 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*****

"Maafkan Aku,"

"Katamu Aku adalah nafasmu. Tapi kenapa di saat engkau tengah bersama masa lalu-mu. Aku sepertinya tidak pernah ada di dalam kehidupanmu?"

"Aku minta maaf. Bukannya Aku tidak ingin memberitahumu, tapi belum."

"Engkau bebas pergi kemana saja dan dengan siapa saja yang engkau mau. Asalkan engkau mampu menjaga diri dan hatimu. Menurutmu, apakah selama ini engkau sudah mampu untuk menjaga diri dan hatimu?"

"Aku minta maaf."

"Sekarang engkau sudah tahu?"

"Iya, maaf."

"Api yang engkau bawa dari dalam Neraka itu telah menghanguskan 'rasa' juga hati dan pikiranku."

“Neraka?”

“Menurutmu?”

“Aku masih belum paham?”

“Menurutmu, pak Tua dan orang-orang yang selama ini menutupi wajah-wajah aslinya untuk menipu manusia lainnya demi untuk memuaskan hawa nafsunya itu bukan salah satu dari para penghuni Neraka? Tempat yang dulu selalu engkau kunjungi bersama dengan para mantan-mantanmu itu,"

"Sekarang aku sudah 'hijrah' dan tidak ingin kembali ke masa--masa 'Jahiliyah' itu."

"Dengan bertemu dan kembali bersama dengan orang-orang yang berasal dari masa lalu-mu. Apakah menurutmu, itu adalah salah satu cara untuk bisa melupakan dan mengubur dalam-dalam kenanganmu bersama para mantan-mantanmu itu?"

*****

Setelah engkau pergi ke Neraka bersama pak Tua. Lelaki yang berasal dari masa lalu-mu. Di antara hembusan angin yang menggugurkan dedauanan. Di sebelah Sang Waktu, Aku melihat sikapmu terasa begitu kaku walau engkau mencoba untuk bersikap 'biasa'. Dengan tetap berusaha tersenyum sambil terus bercerita.

Saat itu, sambil menatap ‘wajah’ Sang Waktu. Seraya menghembuskan secara perlahan-lahan asap rokok dari dalam mulutku. Di sebelahmu, dengan sabar, Aku terus mendengarkan semua ceritamu, tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari bibir-ku untuk menyela perkataanmu.

Senja yang saat itu baru saja hadir di tengah-tengah kita hanya mampu diam seribu bahasa. Sambil mengela nafas, kutatap kedua bola mata yang Aku tahu tengah berusaha menghindari tatapan mata tajam yang masih terus mengeja bahasa rasa.

Di bawah langit yang menghitam. Di antara hembusan angin yang bertiup kencang. Dari mata Sang Waktu dan Senja yang saat ini juga tengah menatap ke arahku. Aku tahu bahwa engkau tengah berdusta.

Jangan bertanya, kenapa saat ini Aku bisa tahu semua tentangmu. Karena betapapun bibir-mu itu berusaha untuk menutupi. Rasa-mu itu telah telah menceritakan semuanya kepadaku.

Aku adalah Rasa. Induk dari semua bahasa yang ada di Dunia.

Di dunia yang menurutmu adalah 'Dunia Seribu Bahasa'. Rasa-ku mampu memahami isi percakapan antara Setan dan Manusia. Juga sangat mengenal para penghuni Surga dan Neraka.

Di dunia yang kata orang hanyalah panggung sandiwara. Di dunia yang kata orang masing-masing dari kita sesungguhnya telah memiliki jalan cerita hidupnya. Di dunia yang engkau lebih dahulu terlahir ke dunia. Di mataku engkau hanyalah satu dari sekian banyak anak--anak zaman yang terlihat begitu kaku saat mencoba untuk berdusta.

Setelah sekian lamanya engkau berjalan mengiringiku. Kenapa engkau masih berpikir bahwa Aku masih memerlukan uraian kata-kata yang keluar dari bibirmu untuk bisa memahamimu?

Aku belahan jiwa-mu. Karena sesungguhnya kita adalah satu. Rasa-mu adalah Rasa-ku dan Rasa-ku adalah Rasa-mu, hingga Aku tidak perlu memakai 'mata dunia-ku' untuk melihat keberadaanmu.

Dari rasa-mu Aku tahu bahwa engkau dan pak Tua itu baru saja kembali membuka pintu Neraka di belakangku, lalu menutupnya kembali secara perlahan-lahan, dengan harapan bahwa tidak ada seorangpun yang tahu. Termasuk Aku.

Apakah engkau tahu? Bahwa di antara benar dan salah. Di jalanan sunyi yang hanya ada Aku dan Tuhan-ku. Dari balik kegelapan, Aku dan Sang Waktu terus memperhatikanmu?

Apakah engkau tahu? Saat Sang Waktu berkata pelan sambil menatap ke arahmu?

Apakah engkau tahu? Saat Sang Waktu berusaha meredakan gundah kelanaku dengan berkata, "Jika sudah waktunya, dia pasti akan kembali padamu. Ke tempat dimana dahulu ia pernah bertanya."

Apakah engkau masih ingat? Saat pertama kalinya engkau bertanya, "Apakah betul? Jalan ini adalah jalan yang benar menuju kepada Yang Maha Suci?"

Saat itu, setelah menatap Sang Waktu, setengah berbisik Aku berkata pelan sambil menatap kedua mata ber-air-mu:

"Jangan bertanya padaku, tapi tanyalah pada 'hati kecil'mu. Karena sesungguhnya, hatimu adalah 'cermin' yang tidak pernah mendustai. Baik menurutku, belum tentu baik buatmu. Begitupun benar menurutku, juga belum tentu benar menurutmu. Karena, jika benar menurut kita, tapi masih salah menurut orang lain, berarti itu belum benar adanya, begitupun sebaliknya. Tapi jika benar menurut kita, juga benar menurut orang lain, berarti itu benar adanya. Karena kebenaran yang hakiki itu tidak terbantahkan oleh apa dan siapapun."

*****

Aku adalah cermin di hadapanmu. Cermin yang selalu engkau pakai untuk melihat dirimu yang sejati. Setelah kepergianmu ke Neraka bersama pak Tua dari masa lalu-mu itu. Apa benar engkau masih membutuhkan cermin untuk melihat dirimu yang sejati?

Setelah kepergianmu ke masa lalu, apa benar engkau masih mampu melihat pantulan wajahmu di dalam cermin di hadapanmu?

Setelah kepergianmu ke masa lalu, apakah benar Aku masih tempatmu ber-cermin seperti dahulu?

Dan setelah sekian lamanya engkau bertanya jawab pada 'cermin'  di hadapanmu. Apakah menurutmu engkau masih pantas berkata; "Seandainya Tuhan tidak menciptakan begitu banyak bahasa di dunia, mungkin akan terasa lebih mudah bagiku untuk bisa menjelaskannya padamu,"

Masihkah ingatkah ketika pertama kali engkau ber-cermin dan bertanya, 'Siapa Aku'?

Di antara serpihan kaca cermin yang biasa engkau jadikan teman bicara. Aku berharap engkau masih sempat membaca goresan tanganku itu di antara serpihan--serpihan kaca itu untuk yang terakhir kalinya.

*****

Di sepertiga malam. Sang Waktu kembali mengingatkanku, bahwa engkau dahulu pernah berkata;

“Dunia ini begitu misterius, sama misteriusnya dengan kehidupan itu sendiri. Terlalu luas untuk di telaah, terlalu sulit untuk di mengerti, tidak mudah untuk di ketahui dan di pahami secara utuh.”

Dan saat itu, sambil tersenyum menatap kedua mata-mu Aku berkata;

“Walaupun kata orang hidup adalah kesulitan yang harus di atasi. Rahasia yang harus di gali. Tragedi yang harus di alami. Kegembiraan yang harus di bagi. Cinta yang harus di nikmati dan tugas yang harus dilaksanakan. Tapi kehidupan itu sendiri, di pahami atau tidak, ia akan tetap berjalan sebagaimana waktu yang terus berjalan.”

Di jalan sunyi. Aku dan Sang Waktu terhenti. Di alam keabadian, dalam dekapan Yang Maha Suci. Di Alam ketiadaan. Sang Waktu berkata, “Jangan pernah pergi meninggalkannya.”

Di antara angin yang bertiup kencang membawa kerinduan, di hadapan Tuhan aku tersadar. Tak seharusnya aku berkata, “Jalanku bukan jalanmu dan jalanmu bukan jalanku."  Sebab sesungguhnya Engkau ada karena Aku yang meminta dan Aku ada karena Engkau yang meminta. Karena Engkau dan Aku adalah kalimat penyempurna dari ucapan Tuhan  Sang Maha Pencipta. Sebab tanpa Engkau dan Aku. sesungguhnya Surga dan Neraka itu tidak akan pernah ada.”

Catatan: Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun