Mohon tunggu...
Wahyu Aning Tias
Wahyu Aning Tias Mohon Tunggu... Freelancer - orang biasa yang menulis karena kepengen

Terimakasih Marx, Kafka, Dostoyevski, Chekov, Camus, Murakami, Coelho, Rumi Dari kalian mengalir kefasihan bertutur dan kebijaksanaan dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tragedi Hujan

27 Maret 2021   09:08 Diperbarui: 28 Maret 2021   19:59 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via pixabay.com

Akhir-akhir ini kehidupan jadi terasa sangat asing, bagiku, hanya bagiku saja. Kemilau langit cerah dikalahkan oleh mendung, padahal tidak juga turun hujan, tetapi aku takut melangkahkan kakiku lebih dari radius kamarku yang tak seberapa nyaman, disini cukup panas, tetapi setidaknya aku aman di dalam sini.

Mungkin saja di luar sana lebih menyenangkan dari yang kupikir, tetapi aku cukup dengan diriku sendiri.

Aku sudah cukup mendapatkan masalah dengan kesendirianku. Tidak ada yang mengenaliku dengan baik, tidak ada yang tahu, tidak ada yang peduli tentang pekerjaanku, jasa-jasaku pada mereka, siapapun, mereka hanya merasa aku melakukan sesuatu yang memang harus aku lakukan atau aku akan dipecat. 

Pada dasarnya aku lelah bergaul degan sesamaku, karena disana, di suatu sudut, pasti akan ada orang yang membenciku sepenuh hati. Aku lelah tersenyum pada semua orang, mungkin aku memang tidak pandai bergaul, terkadang aku takut senyumku akan membuat mereka merasa aku terlalu baik dan bisa dimanfaatkan. Tetapi kalau aku tidak pernah tersenyum, mereka akan membeciku, mereka pasti mengira aku orang yang sinis. Mereka tidak tahu sebenarnya aku adalah orang yang kesepian dan sendirian.

"Sudah berapa lama anda bekerja?"

"Satu tahun, Pak."

"Lalu, kenapa anda sudah memutuskan untuk mengganti pekerjaan?"

"Saya jenuh dengan pekerjaan saya yang sebelumnya."

"Tapi ini baru satu tahun. Saya tidak percaya anda sudah jenuh. Atau anda melakukan kesalahan di kantor anda sekarang?"

"Tidak, Pak."

"Maaf, kami tidak bisa menerima anda disini. Kami hanya bekerja dengan orang-orang yang loyal dan dikenal loyalitasnya."

"Tapi, Pak..."

"Syaratnya adalah dua tahun pengalaman kerja. Jadi, maafkan kami..."

Pria itu dengan sopan mengangkat tangannya, mempersilakan aku untuk meninggalkan ruangannya. Tapi, kulihat diluar hujan deras dan aku tidak membawa payung ataupun jas hujan.

Seseorang membukakan pintu untukku agar segera keluar dari ruangan. Mereka tidak peduli aku akan basah kuyup kehujanan. Aku memang sudah bekerja, tetapi pekerjaan menyortir barang kiriman membuatku lelah, aku ingin pekerjaan lain yang lebih menantang. Tetapi aku tidak diterima disini. Seharusnya aku mampu menerima kenyataan bahwa kemampuanku hanya bisa membawaku sampai ke pekerjaan yang membosankan itu, tidak lebih.

Sepatuku basah dan berlumpur, angin di tengah hujan seperti ini hanya ada satu maksud kehadirannya, membawakan badai. Aku yang basah kuyup inipun harus berlari-lari melawan terjangan angin untuk menemukan satu tempat berteduh dan menyelamatkan diri dari badai. Aku yang tidak berguna seperti inipun masih takut mati.

Ya, disinilah aku sekarang, menatap langit dipenuhi awan gelap menggulung, beberapa kali nampak kilat muncul dengan mengerikan, pohon-pohon bergoyang dengan cara yang tidak biasa, beberapa kendaraan yang terparkir seperti hendak diterbangkan angin, sungguh bersyukur pada hukum gravitasi. Aku menyaksikan semuanya di balik beton gorong-gorong yang belum dipasang teronggok di pinggir jalan, sendirian.

Hujan tidak mau berhenti seperti memanjakan badai dan memaksa pepohonan membungkuk dalam, ada yang mulia badai datang, maka berilah sambutan kehormatan yang pantas. Begitu kira-kira seruan hujan pada semua yang diterpanya. 

Pohon memang makhluk Tuhan yang penurut, dia bisa menyelesaikan semua masalah dalam hidupnya hanya dengan berdiri tegak, tidak berlari kemana-mana tetapi tetap bisa tumbuh tinggi. Dia bahkan bisa memberikan kebaikan bagi orang lain. 

Seandainya manusia benar-benar bisa dilahirkan kembali, aku ingin jadi pohon saja. Tapi, aku juga penasaran, jika memang semua itu dilahirkan kembali, dulu aku makhluk seperti apa ya. Apakah penyendiri, sama sepertiku sekarang. Kalau begitu, dilahirkan kembali menjadi pohon adalah sesuatu yang layak untuk disyukuri. Itu artinya Tuhan mendengar do'aku.

Di tengah-tengah hujan yang lebat, aku sempat melihat beberapa orang berlalu-lalang mencari tempat berlindung, sama sepertiku. Tepat di seberang tempatku berteduh, aku melihat seorang wanita dengan sepatu hak tinggi dan mengenakan payung berwarna merah melepas sepatunya dan berlari menepi. Dia sepertinya sendirian sepertiku, ah ternyata tidak, tidak lama kemudian seorang pria dari arah berlawanan berlari menghampirinya. Mereka sama-sama kehujanan. 

Tapi kemudian mereka tidak nampak berkomunikasi, wajah mereka tidak saling berhadapan. Bisa jadi, pria tadi bukan siapa-siapa bagi si wanita, dia hanya orang yang sekedar lewat dan kebetulan duduk di sampingnya. 

Aku terlalu bias karena mengamati dari kejauhan saja. Bisa jadi juga, mereka adalah pasangan yang sedang tidak akur, mungkin wanita itu telah memergoki si pria berselingkuh dengan mantan kekasihnya. Atau mungkin sebaliknya, wanita itu selingkuh, siapa bilang wanita tidak bisa selingkuh. Ah, apa peduliku, mereka juga tidak peduli padaku yang jongkok di bawah beton sendirian.

Hujan tak juga reda, seorang anak kecil kelihatan kesulitan mengikuti langkah kaki besar-besar ibunya yang hendak berteduh dan sudah kuduga dia akhirnya terjatuh.

Dia menangis.

Lumpur memenuhi sebagian besar pakaiannya dan sang ibu dengan perasaan bersalah menggendong tubuh kecil anaknya. Dia melupakan payung yang dibawanya dan memilih berhujan-hujan hingga menepi di dekat sepasang pria dan wanita tadi. Tidak seorangpun peduli pada payung yang terombang-ambing badai, terseret hingga ke pinggir jalan raya.

Hatiku sakit melihatnya. Aku merasa senasib dengan payung itu, sama-sama tidak ada yang memperdulikan kami. Entah bagaimana, aku terpanggil untuk menyelamatkan payung itu. Akupun berlari menyeberang jalan untuk mengejar payung itu. Perasaanku lega bercampur senang saat bisa meraih payung bermotif polkadot. 

Aku merasa seperti pemenang, dan aku bangga karena tidak ada yang bisa menyelamatkan payung malang ini, hanya aku. Akupun dengan mantap hendak melangkahkan kaki, memberikan payung ini dan membuatku mendapatkan satu senyuman saja sebagai balasannya.

Namun, aku tidak mengerti ketika semua orang meneriakiku, seolah aku dituduh hendak mencuri payung itu. Aku berusaha untuk tidak mempedulikannya, aku harus membuktikan bahwa aku beritikad baik. Aku tidak mencuri, aku hanya ingin menolong. Tetapi, mereka terus saja berteriak padaku. Tangan mereka melambai-lambai seperti hendak mengusirku, aku berusaha untuk tersenyum, diantara derasnya guyuran air hujan. Toh, ini bukan kedua kalinya aku diperlakukan begini.

Pria itu, aku bisa membaca bibirnya, dia meneriakiku dengan sebutan bodoh. Entah darimana dan bagaimana caranya dia tahu kalau aku bodoh. Aku memang bodoh. Sejak di sekolah dasar aku tidak terlalu pandai. Aku tidak bisa berhitung sampai kelas tiga dan aku tidak pernah bisa menghafal sampai kelas enam. Saat duduk di sekolah menengah pertama aku sering di-bully oleh teman sekelasku, mereka selalu mengataiku dengan sebutan anak kampung. 

Aku jadi sulit berteman, tidak banyak yang mau berteman denganku. Aku tahu mereka yang mau berteman denganku tidak lebih karena kasihan padaku. Aku juga punya seseorang yang kusukai di sekolah dan dia menolakku. Dia tidak suka kalau ada yang tahu dirinya disukai oleh anak kampung dan bodoh sepertiku.

Lalu, ketika duduk di sekolah menengah atas, aku bertemu dengan teman-teman yang sama. Jadi aku tidak di-bully lagi, mungkin mereka sudah bosan denganku. Aku punya lebih banyak teman disini, aku juga sudah tidak peduli lagi dengan kenyataan bahwa aku tidak popular dan banyak orang yang tidak suka denganku. 

Terkadang aku ingin menyalahkan kedua orangtuaku, karena mereka sama sekali tidak peduli dengan seragam sekolah yang kukenakan apakah terlalu besar atau terlalu pendek, kaos kakiku selalu longgar, kadang aku harus mengikatnya dengan karet gelang dan menyembunyikannya diujung kaos kaki sehingga kalau diperhatikan sedikit bagian atas kaos kakiku selalu tergulung ke dalam. 

Sepatuku juga tidak terlalu bagus, padahal orangtuaku juga tidak tergolong orang miskin, meskipun hanya pegawai negeri sipil dengan gaji tidak seberapa, tetapi tidak ada seorangpun yang berani menyebut keluargaku miskin, bahkan kedua orangtuaku.

Tetapi aku tidak berdaya setiap kali memprotes penampilanku yang buruk ketika di sekolah karena tidak memiliki seragam yang baru atau sekedar kaos kaki yang pantas dikenakan, mereka sudah bersusah payah untuk membesarkan dan menyekolahkanku. Jika orangtuaku marah, mereka pasti mengungkit hal itu untuk membuatku berhenti meminta. Dan aku juga seringkali ketakutan jika mendengarnya, bahkan sampai aku setua seperti sekarang.

Wanita itu, dia berteriak padaku, ternyata wajahnya lumayan cantik. Kulitnya putih bersih, kacamata yang bertengger diatas hidungnya membuatnya terlihat pintar dan anggun.

"Lariii!!!"

Aku samar mendengar suara teriakannya. Aku jadi teringat dengan seseorang yang kukenal baik, dia selalu memberiku semangat saat apapun itu.

"Ayo kita lari sama-sama..."

"Tapi, kakiku habis cedera. Aku takkan kuat mengikutimu."

"Aku yang akan mengikutimu." Katanya sambil tersenyum. "Kan, tadi sudah kubilang kita lari sama-sama."

Kami selalu bersama sejak saat itu. Bisa dikatakan dialah satu-satunya temanku. Sebenarnya aku juga tidak terlalu membutuhkan teman, apalagi banyak diantara teman kami yang mencibir kebersamaan kami. Mereka memang tampak baik-baik saja kalau di depan kami. Akan tetapi, tidak demikian ketika mereka berbicara di belakang. Kata-kata mereka begitu pedas dan menusuk.

"Kamu menangis?"

Dia menggeleng pelan, lalu mendongak dan tersenyum kearahku.

"Nggak. Mataku kemasukan debu."

Lalu seperti mendapatkan kekuatan entah darimana, dia kembali ceria dan mengajakku membicarakan hal lain. Aku juga tidak punya pilihan untuk mengikuti pilihannya. Memangya aku punya pilihan lain?

Iya, aku yang selalu sendirian ini, lupa, aku pernah tidak sendirian. Aku pernah memiliki seseorang yang baik padaku dan menerimaku apa adanya. Aku terlalu sombong dengan kesendirianku.

Tapi, nyatanya aku sendirian lagi sekarang, nasib buruk telah merenggut persahabatan kami. Ketika suatu hari, dia sudah tidak lagi duduk di bangku sebelahku. Dan tidak ada seorangpun yang berani duduk di bangku itu lagi. Aku kesepian, sekali lagi.

"Kenapa kamu lebih memilih mati? Apakah berteman denganku sama menyedihkannya dengan kehidupan yang engkau jalani selama ini, sehingga dirimu sudah tidak lagi punya pilihan."

Kataku di hadapan haribaannya yang masih tercium aroma wangi bunga. Semua orang berduka, akupun berduka. Namun, diam-diam aku iri padanya, aku tak akan seberani itu untuk mengakhiri hidupku yang sama sepinya seperti mati. Aku takut mati, tidak seperti dia yang dengan gagah berani menelan semua rasa pahit kehidupan dalam satu waktu. Tidak ada darah, dia juga tidak tersenyum. Pada akhirnya, kupikir dia tidak bahagia menghadapi kematiannya dan aku bersyukur karena aku masih memiliki rasa takut terhadap kematian. 

Meskipun demikian, dia temanku yang pernah kumiliki, teman yang aku tak mengira akan sedemikian rapuh, aku tidak bisa membuatnya mengurungkan niat untuk mengakhiri hidupnya dengan tragis. Dia orang yang menyenangkan, dia sangat pandai menyembunyikan kepahitan dalam hidupnya dan membungkusnya dengan senyuman. Kalau dipikir lagi, dia juga anak yang populer di kalangan guru dan siswa, aku juga tidak pernah menanyakan kenapa dia hanya mau berteman denganku. Bagiku, dia bisa kapan saja meninggalkanku, jadi aku tidak ingin menanyakan hal yang mungkin akan membuatnya tersinggung.

Payung polkadot, yang kini ada di genggaman tanganku. Aku hendak mengembalikan pada pemiliknya. Mungkin aku akan punya teman, anak kecil itu misalnya. Kita bisa main bersama di taman bermain, membeli gula-gula kapas, makan es krim, berenang, atau apapun terserah dia saja. Aku selalu suka bermain dengan anak-anak. Menurutku mereka adalah makhluk Tuhan yang penuh cinta dan petualangan. Mereka hanya menangis sekali dan tertawa berkali-kali. 

Mereka lugu dan polos, serta selalu membuat orang dewasa luluh dengan keluguan dan kepolosan mereka. Mereka tidak perlu melawak untuk membuat suasana jadi lucu dan menyenangkan. Mereka tidak pernah ambil pusing dengan kesedihan kemarin atau yang baru saja mereka alami. Kadang mereka tetap bisa berlarian meskipun tubuhnya demam. Tidak sepertiku yang selalu menggunakan sakit sebagai masaku untuk tidur seharian di rumah. Hidup sebagai orang dewasa itu melelahkan.

Anak itu melihatku tanpa ekspresi. Dia melihat ke sudut lain sedikit lebih lama, dia melihat sekelebatan bayangan hitam berloncatan. Dia lalu dia menggoyang lengan ibunya yang berteriak panik padaku, dia tidak putus asa dan menunjuk ke sudut yang dilihatnya dan terus menggoyang lengan ibunya.

Aku mengerti jika semua orang tidak suka padaku. Aku sangat mengerti jika kalian tidak ingin mengenalku, baiklah. Setidaknya ijinkan aku berbuat baik sekali saja. Suara gemeretak menjalar ke telingaku, seperti ada frekuensi yang menjalar dengan cepat ke arahku. Sedetik kemudian, aku mendengar suara dentuman yang sangat keras.

Sekejap kemudian suasana jadi gelap gulita seperti mati lampu saat malam hari hujan di kampungku. Aneh sekali. Tetapi rasanya begitu nyaman, begitu ringan. 

Aku belum pernah merasa sensasi seperti ini, ingatanku tentang kehidupan yang begitu melelahkan terasa tidak ada artinya sama sekali. Aku bahkan bisa mengingat saat ibuku melahirkanku ke dunia, aku melihat semua orang tersenyum padaku. Aku juga mengingat rasa air susu ibuku, manis dan hangat mengalir di kerongkonganku yang rapuh. 

Aku melihat diriku sendiri mengenakan seragam sekolah untuk pertama kali. Aku melihat diriku yang belajar menyeberang jalan raya untuk pertama kali. Aku juga melihat diriku yang berlari ke kamar mandi untuk menenangkan diri setelah gadis pujaanku menolakku mentah-mentah. 

Semua ingatan berjalan dengan cepat di depan mataku, semuanya terjadi begitu cepat dan kepalaku terasa mampu menerima semua perjalanannya dengan penuh kesadaran. Suka dan duka jadi tidak ada artinya, seperti satu halaman dalam buku tebal. Tuhan, apa yang terjadi? Aku merasa terlalu tenang disini. Tapi, tidak mengapa, aku ingin selamanya seperti ini saja.

***

Sirine meraung-raung dari kejauhan. Petugas berseragam jingga sibuk dengan gergaji mesinnya. Mereka memotong-motong pohon raksasa yang tumbang menjadi potongan-potongan yang lebih kecil agar bisa dipindahkan dengan mudah. Polisi sudah sigap dengan rompi hijau terangnya di bawah guyuran hujan mengatur lalu-lintas kendaraan agar tidak menimbulkan kemacetan.

Seorang anak kecil memeluk ibunya ketakutan. Sang ibu juga demikian, dia berusaha menenangkan anaknya yang histeris ketika pohon besar itu tumbang tepat diatas kepala pemuda itu. Meski mereka berdua sama-sama ketakutan, tetapi naluri keibuan mendorongnya untuk kuat, karena ada seseorang yang lebih membutuhkan perlindungannya saat ini.

Seorang wanita tampak histeris, dia tidak mau berhenti menangis dan menjerit, seperti baru saja melihat hal yang paling menakutkan dalam hidupnya. Beberapa orang berusaha untuk menenangkannya ketika dia akhirnya tidak sadarkan diri dan dibopong ke ambulans.

Sementara pria itu tak henti-hentinya berkomat-kamit mengucapkan kalimat tahlil. Dia seakan tidak percaya akan apa yang dia lihat hari ini. Dia hanya ingin pulang ke rumah dan terpaksa berteduh karena hujan badai tidak mungkin dilewatinya, lalu pemuda itu muncul dari arah berlawanan dan tersenyum padanya sebelum akhirnya pohon besar tumbang diatasnya. Dialah yang pertama kali langsung menelepon ambulans dan polisi.

Saat petugas berdatangan, justru dia tidak diperbolehkan ikut menolong. Akhirnya dia hanya mampu berdiri di luar garis penjagaan, di tengah guyuran hujan dengan perasaan yang berkecamuk.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri, tampak seorang wartawan tengah melakukan liputan langsung upaya evakuasi oleh petugas. Dia tidak ada disana sejak awal, maka raut wajahnya lebih nampak berseri-seri daripada merasa ketakutan dan cemas. Namun, suasana berubah saat petugas akhirnya mengangkat potongan terakhir kayu yang berada tepat diatas tubuh pemuda itu. Semua orang terdiam...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun