Mohon tunggu...
Wahyu Aning Tias
Wahyu Aning Tias Mohon Tunggu... Freelancer - orang biasa yang menulis karena kepengen

Terimakasih Marx, Kafka, Dostoyevski, Chekov, Camus, Murakami, Coelho, Rumi Dari kalian mengalir kefasihan bertutur dan kebijaksanaan dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tragedi Hujan

27 Maret 2021   09:08 Diperbarui: 28 Maret 2021   19:59 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via pixabay.com

"Tapi, Pak..."

"Syaratnya adalah dua tahun pengalaman kerja. Jadi, maafkan kami..."

Pria itu dengan sopan mengangkat tangannya, mempersilakan aku untuk meninggalkan ruangannya. Tapi, kulihat diluar hujan deras dan aku tidak membawa payung ataupun jas hujan.

Seseorang membukakan pintu untukku agar segera keluar dari ruangan. Mereka tidak peduli aku akan basah kuyup kehujanan. Aku memang sudah bekerja, tetapi pekerjaan menyortir barang kiriman membuatku lelah, aku ingin pekerjaan lain yang lebih menantang. Tetapi aku tidak diterima disini. Seharusnya aku mampu menerima kenyataan bahwa kemampuanku hanya bisa membawaku sampai ke pekerjaan yang membosankan itu, tidak lebih.

Sepatuku basah dan berlumpur, angin di tengah hujan seperti ini hanya ada satu maksud kehadirannya, membawakan badai. Aku yang basah kuyup inipun harus berlari-lari melawan terjangan angin untuk menemukan satu tempat berteduh dan menyelamatkan diri dari badai. Aku yang tidak berguna seperti inipun masih takut mati.

Ya, disinilah aku sekarang, menatap langit dipenuhi awan gelap menggulung, beberapa kali nampak kilat muncul dengan mengerikan, pohon-pohon bergoyang dengan cara yang tidak biasa, beberapa kendaraan yang terparkir seperti hendak diterbangkan angin, sungguh bersyukur pada hukum gravitasi. Aku menyaksikan semuanya di balik beton gorong-gorong yang belum dipasang teronggok di pinggir jalan, sendirian.

Hujan tidak mau berhenti seperti memanjakan badai dan memaksa pepohonan membungkuk dalam, ada yang mulia badai datang, maka berilah sambutan kehormatan yang pantas. Begitu kira-kira seruan hujan pada semua yang diterpanya. 

Pohon memang makhluk Tuhan yang penurut, dia bisa menyelesaikan semua masalah dalam hidupnya hanya dengan berdiri tegak, tidak berlari kemana-mana tetapi tetap bisa tumbuh tinggi. Dia bahkan bisa memberikan kebaikan bagi orang lain. 

Seandainya manusia benar-benar bisa dilahirkan kembali, aku ingin jadi pohon saja. Tapi, aku juga penasaran, jika memang semua itu dilahirkan kembali, dulu aku makhluk seperti apa ya. Apakah penyendiri, sama sepertiku sekarang. Kalau begitu, dilahirkan kembali menjadi pohon adalah sesuatu yang layak untuk disyukuri. Itu artinya Tuhan mendengar do'aku.

Di tengah-tengah hujan yang lebat, aku sempat melihat beberapa orang berlalu-lalang mencari tempat berlindung, sama sepertiku. Tepat di seberang tempatku berteduh, aku melihat seorang wanita dengan sepatu hak tinggi dan mengenakan payung berwarna merah melepas sepatunya dan berlari menepi. Dia sepertinya sendirian sepertiku, ah ternyata tidak, tidak lama kemudian seorang pria dari arah berlawanan berlari menghampirinya. Mereka sama-sama kehujanan. 

Tapi kemudian mereka tidak nampak berkomunikasi, wajah mereka tidak saling berhadapan. Bisa jadi, pria tadi bukan siapa-siapa bagi si wanita, dia hanya orang yang sekedar lewat dan kebetulan duduk di sampingnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun