Mohon tunggu...
Waidjie S.
Waidjie S. Mohon Tunggu... -

Mengarang cerita fiksi di setitiktintawaidjie.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

My Memory (2): Golden Period

29 Oktober 2015   19:02 Diperbarui: 29 Oktober 2015   19:28 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kepada pasien stroke.

 

Suara memdesuk kertas, “Gress…skkkk. Tup.”

“Lho!” kertas yang dibuang Wicaksono tak masuk ke dalam keranjang sampah dari plastik.

Wicaksono mengambil pensil kayu. Tetapi… pensil kayu itu terlepas dari jemarinya, mengelinding di meja hingga terjatuh ke lantai. Lelaki yang berumur 48 tahun sedang mensketsa di story board. Di meja kerja terpampang-dirinya bersama perempuan seusia dia-sebuah potret keluarga dengan media pensil.

Meja kerjanya menghadap jendela terbuka. Udara baru nan segar masuk mengitari ruangan. Mendaur ulang seisi ruangan. Udara seakan sosok teman meniupi inspirasi yang konkret. Sinar pagi bentukan lubang persegi dari pantulan kisi-kisi jendela menempa ke meja.

Tangan kanannya mengambil pensil yang terjatuh itu. “Plukk.” Ia terkejut.

Ambil lagi.

Jatuh lagi.

“Lho! Kok aneh. Padahal sudah kupegang,” hatinya berkata. Ganti tangan kanannya yang ambil pensil itu. Wicaksono lalu berjalan. Ketika ia melangkah, badannya miring ke kiri.

“Bukk.” Terhantuk pada dinding.

“Apa yang terjadi padaku?”

Setelah 10 menit, tubuh Wicaksono terasa kesemutan. Ia gugup, berkeringat dingin, perubahan yang sangat cepat terjadi dalam tubuh kirinya. “Aku gak bisa gerakkan tangan kiriku. Kenapa ini? Ada apa ini?”

Hape memberi nada getar di dalam tas milik Ny. Wicaksono. “Halo.” Tidak ada sahutan, Ny. Wicaksono ulangi, “Halo.”

“Lo… Tou… wong… ge… ci… nieh…”

“Apa, kamu bilang? Gak jelas. Aku telepon balik.” Ny. Wicaksono menelepon tapi tak diangkat. “Kenapa dia?”

“Ibu, saya pulang ya.”

“Ada apa, Bu Wi?”

“Suamiku di rumah. Entah kenapa dia. Gak tahu aku, kalau dia kenapa-kenapa. Suaranya aneh-aneh di telepon.”

“Baik, Bu.”

 

Istrinya datang, “Ada apa, kamu?”

“Kenapa dia melihatku macam itu?” batin Wicaksono.

Istrinya menutup mulut, bergidik bahu, “Hah…”

Wicaksono tak sadar kalau wajahnya perot ke kiri. “Keee-na-pa?” raut muka istrinya mencerminkan ia sedang bertemu seseorang yang sungguh menakutkan. “Kita harus panggil ambulans. Segera!”

 

“Bagaimana hasil MRI, Dokter?”

Dokter tunjukan foto hasil rontgen di bawah lampu.

“Nyonya, Pak Wicaksono alami pendarahan otak.”

 “Tolong lebih jelas lagi, Dok? Apa maksud pendarahan otak?”

Suami Anda alami stroke. Ada pendarahan dalam otak.”

“Penyakit ini diakibatkan aliran darah tak lancar. Sehingga alami penyumbatan darah di dalam otak suami ibu.”

“Gawat, Dok?”

Stroke ringan kok. Untung keburu ke sini. Golden momen suami Anda cuma 3 jam. Bila lewat 24 jam, terlambat. Tindakan pertama yang bagus dilakukan oleh ibu.”

“Lantas apa perlu operasi. Berapa biaya?”

“Tidak sampai ke situ kok, Bu.”

Nyonya Wicaksono heran.

“Bapak Wicaksono hanya perlu jalani rehabilitas medik.”

“Apa itu?”

“Latihan fisik. Kita pulihkan beberapa kerapuhan motorik. Pertama kita perlu stabilkan keadaan pendarahan di otak. Lalu infus untuk larutkan darah yang ada dalam otak.”

“Berapa lama?”

“10-20 hari. Bisa 2 minggu. Tergantung.”

“Beliau harus didampingi petugas fisioterapi yang jalankan peralatan yang ada di sini. Tolong ikuti aturan kami. Jika ingin beliau sembuh.”

”Suamiku tekanan darah tinggi. Keluarganya ada riwayat penyakit darah tinggi, Dok.”

“Iya. Kemungkinan jadi pemicunya.”

Pasien distabilkan dulu oleh spesialis saraf.

Bila masih dalam masa golden period, sebelum 3 jam masih mungkin dilakukan embolitik, yaitu menghancurkan sumbatan dengan suntikan khusus. Namun jika sumbatan mengakibatkan pembengkakan di otak hingga menekan otak diambil tindakan dekompresi untuk beri ruang pada otak.

Jika karena pendarahan dipicu pecahnya pembuluh darah otak. Serangan tiba-tiba diikuti dengan penurunan kesadaran. Penderita segera dibawa ke rumah sakit untuk diagnosis dengan CT Scan or MRI.

“Gerak tubuh bisa dikembalikan fungsinya 70-80 persen.”

Doker menambahkan lagi, “Dengan mengikuti rehab banyak pasien yang beraktivitas kembali. Kebanyakan orang kerap pasca stroke, pasien tak mendapat layanan rehab yang benar. Mereka biasa memilih tidur dan beraktivitas terbatas dengan kursi roda. Mereka bisa kembali semula asal ikuti latihan khusus stroke. Paling butuh enam bulan untuk recovery penggembalian fungsi tubuh.”

Respone time dan diagnosis hal terpenting untuk menentukan tindakan yang harus diambil demi selamatkan pasien dari masa kritis stroke. Menghindari ancaman kemandirian dan resiko kecacatan.

 

Tengah malam.

Komikus itu melek menatap atap plafon beton bercat putih susu. “Kapan aku bisa menggambar dengan tangan kananku?”

“Harus berapa lama di sini?”

 

o0o

 

Wicaksono mulai menjalani latihan fisik. Istrinya memilih kamar VIP demi kenyamanan suaminya. Ia malah mencak-mencak, “Mengapa aku di VIP? Mahal!”

“Supaya kamu enakan.”

“Bukan. Supaya kamu tidur enak di sini.”

Wicaksono gerak-gerakkan kedua tangannya dengan pegang pensil. Terus lakukan gerakan melingkar. “Apa yang kau lakukan, Wi?”

“Latihan.”

“Tapi itu kan ada latihan fisik rehab dari dokter.”

“Memang. Siapa tahu saja aku lakukan ini dapat sembuhkan aku, Suster Mei.”

Wicaksono selama proses menjalani rehabilitas telah berangsur-angsur pulih tapi dia kehilangan sebagian memori.

 

o0o

 

Kepingan-kepingan memori yang terlepas di otak tak sepenuhnya dapat disusun seperti semula. Sebagian kenangan Wicaksono dengan istrinya terkikis. Istrinya terpaksa meluangkan waktu untuk suaminya yang dulu kurang mengubris istrinya. Karena sibuk mengurus komik dengan arsiran karakter-karekter manga di komiknya, tenggelam dalam storyboard, papan panel adegan-adegan di komik.

 

o0o

 

Di bangku taman di bawah pohon rindang. Di sudut sana berjejer pepohonan dengan jarak yang lebar. Daun-daun layu dan kering melepaskan diri dari ranting karena hempasan angin kencang. Istri komikus itu mengencangkan syal di lehernya.

“Kamu masih ingat tempat ini?”

“Tak ingat.”

“Kau duduk diujung sana aku duduk di sini.” Ia sengaja menempatkan posisi duduk Wicaksono di ujung kanan bangku.

“Lalu.”

“Aku menoleh.”

“Dan..”

“Kau memandangku saat itu.” Ia tertegun lama. Suaminya duduk di sana. “Apa kau ingat, Wi?”

Wicaksono menggeleng. Kemudian menghirup udara. “Tempat ini indah.”

Istrinya mengeser posisi duduk untuk mendekat kepada Wicaksono. Tiba-tiba menitikkan bulir air mata. “Aku takkan lupakan tempat ini. Kenangan kita bersama.”

“Sering-sering ajak aku kesini?”

“Baik, Pak.”

 

Ia, demi keutuhan. Berpura-pura lupa ingatan yang dulu. Semasa kenangan bersama sang istri.

Wicaksono selama proses jalani rehab telah berangsur-angsur pulih. Maka istrinya mengajak pergi ke tempat kenangan mereka berdua. Sambil refreshing dan kembali ke memori-memori mereka. Wicaksono ingin memberikan waktu masa-masa senang, hidup kesusahan dengan istrinya sebagai refleksi suami istri.

Sang istri tinggalkan Wicaksono pergi arisan, bersosialita.

Ia asyik bergelut ke dalam dunia komik. *W

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun