"Oya ya. Srikanthi.. Â Bukankah suami simbok itu paman Gendon, juragan kelapa di pasar sini? Â Aku dulu sering diajak Waskita mencari air kelapa setelah haus karena bermain."
"Ya,... Ngger, juragan kelapa terkaya di kotaraja. Â Tapi semuanya dijarah musuh setelah perang usai."
"Itulah sebabnya Simbok sekarang jualan nasi pecel di sini ?"
"Ya. Â Untuk mencukupi kebutuhan hidupku sendiri. Â Karena tak ada lagi yang hidup bersama simbok sekarang. Â Simbok sebatang kara."
Sejenak kemudian datang tiga lelaki kekar masuk pintu pasar. Tiga lelaki itu berjalan kearah kedai Simbok Kanti.
"Ssst hati-hati jangan sembarangan ngomong, mereka gampang tersinggung. Â Tiga orang itu penjahat-penjahat di pasar ini. Â Pekerjaan mereka memeras."
Sembada memandangi tiga orang itu dengan tatapan mata yang dingin. Â Sejak melihat penampilan mereka hatinya sudah diwarnai perasaan tak senang. Â Apalagi mendengar keterangan Simbok Kanthi, bahwa mereka penjahat pemeras pedagang kecil di pasar itu.
"Mbok, buatkan tiga pincuk nasi pecel. Â Kasih telur bebek ramesnya sekalian. Â Rempeyeknya yang banyak. Â Minumnya tiga bumbung air jeruk."
Simbok Kanthi dengan tersenyum masam melayani tiga pesanan itu. Â Tangannya sedikit gemetar karena hatinya diliputi rasa takut.
Sambil makan tiga lelaki itu berbincang tentang hal-hal yang tidak diketahui Sembada ujung pangkalnya. Â Pemuda itu hanya mendengarkannya saja. Â Namun dari pembicaraan itu Sembada sudah bisa mengambil kesimpulan siapa mereka sebenarnya.
Setelah makan pincuk-pincuk itu dibuang sembarangan oleh tiga lelaki itu. Â Meski mereka tahu ada wadah sampah di dekatnya. Â Setelah minum mereka segera melangkah pergi.