Puisi: Harmoni Rasa - Khawatir dan TenangÂ
Karya: Wahyudi bin Rasyidi
Jiwa kecil merasa khawatir, ingin segera mengusir perasaan itu.
Berharap hidup ini hanya berisi ketenangan, tanpa gelisah, tanpa gemuruh.
Namun kenyataannya, hidup tak bisa diisi oleh satu rasa saja.
Khawatir dan tenang adalah dua sahabat yang berjalan berdampingan.
Khawatir itu ibarat ayah. Tegas namun peduli.
Datang bukan untuk menakut-nakuti,
melainkan untuk menjaga agar kita tidak lengah.
Tenang laksana ibu. Lembut dan menenangkan.
Hadir sebagai pelipur dari khawatir yang berhasil kita terima dan kelola.
Lihatlah baterai pada lampu itu.
Ada kutub negatif dan positif yang bekerja bersama.
Jika hanya salah satu yang hadir,
cahaya tidak akan muncul.
Begitu pula siang dan malam.
Mereka tidak berjalan ke mana-mana.
Namun bumi yang berputar membuat keduanya terlihat datang silih berganti.
Dan justru karena perputaran itu,
kita bisa melihat pagi yang cerah dan senja yang syahdu.
Manusia pun serupa.
Kita tidak bisa memilih untuk hanya merasa tenang.
Sebab meskipun tak diundang, khawatir akan tetap datang.
Ia adalah bagian dari dunia.
Dari perjalanan menjadi manusia seutuhnya.
Bahkan para nabi dan filsuf yang bijak pun pernah merasa khawatir.
Namun mereka tidak melawan rasa itu.
Mereka berdamai, menyambutnya sebagai kawan.
Menjadikannya bahan bakar untuk menjaga keseimbangan jiwa.
Di situlah letak keindahannya.
Pada titik tengah antara khawatir dan tenang.
Antara terang dan gelap.
Antara tahu kapan berjuang dan kapan berserah.
Kita tidak harus mengusir yang gelap untuk melihat cahaya.
Karena justru dalam gelap, cahaya menjadi nyata.
Cahaya membutuhkan kontras agar bisa terlihat terang.
Manusia menyimpan rahasia dalam dirinya.
Kemampuan mendamaikan dua hal yang tampak bertentangan.
Mungkin itu sebabnya kita diciptakan.
Untuk kembali ke fitrah.
Untuk berdamai dengan gelisah dan ketenangan yang hidup di dalam diri.
Tak heran para malaikat pernah bertanya dengan kebingungan.
Mengapa manusia diciptakan,
padahal mereka akan berbuat kerusakan di bumi.
Mereka tidak tahu,
bahwa justru dari kehancuran itu manusia belajar.
Tumbuh.
Menciptakan makna.
Menemukan keindahan.
Malaikat tahu rasa cahaya.
Tapi manusia tahu rasa gelap, derita, rindu, gelisah, tenang, cahaya, dan cinta.
Semua rasa itu bercampur.
Menusuk jiwa kecil yang hampir menyerah.
Namun justru dari saat itulah,
ketika semuanya terasa ingin berakhir,
Sang Jiwa datang.
Mengelus dada kecilnya yang rapuh.
Dan pada hari itu,
jiwa kecil terlahir kembali.
Dengan kesadaran baru
bahwa derita dan cinta
datang dalam waktu yang sama.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI