Mohon tunggu...
Wahyudi Adiprasetyo
Wahyudi Adiprasetyo Mohon Tunggu... Sang Pena Tua

Pena tua memulung kata mengisi ruang literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Buku Adalah Jendela Deep Learning?

13 September 2025   21:42 Diperbarui: 13 September 2025   21:56 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita sering mendengar pepatah klasik: "Buku adalah jendela dunia." Kalimat ini terasa begitu akrab, seolah sudah melekat dalam memori kolektif kita sejak bangku sekolah. Namun, di tengah arus teknologi digital, saya melihat buku bukan hanya sekadar jendela dunia, melainkan juga jendela deep learning --- jalan untuk memahami sesuatu secara mendalam, bertahap, dan penuh refleksi.

Perjuangan Menulis dan Menerbitkan Buku

Menulis buku ternyata adalah sebuah perjalanan panjang. Tidak semata-mata menuangkan kata, tetapi juga mengolah pikiran, menyaring pengalaman, dan merajut benang merah gagasan. Setiap bab yang lahir merupakan hasil perenungan panjang, seringkali dibarengi revisi yang tidak terhitung jumlahnya.

Saya merasakan bahwa proses menulis buku sangat mirip dengan proses deep learning dalam dunia kecerdasan buatan: melalui lapisan demi lapisan, berulang kali, hingga akhirnya mencapai sebuah model yang matang. Begitu pula dengan menulis, ada pengulangan, ada trial and error, hingga lahir sebuah karya yang utuh.

Namun, perjuangan tidak berhenti pada menulis. Menerbitkan buku memiliki tantangannya sendiri. Mulai dari penyuntingan, desain, percetakan, hingga distribusi, semuanya membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Ada rasa lelah, ada keraguan, bahkan terkadang muncul pertanyaan sederhana: "Apakah buku ini benar-benar bermanfaat?"

Kebanggaan yang Tak Tergantikan

Meski penuh proses panjang, saat akhirnya buku itu terbit dalam bentuk cetak, ada kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Melihat buku dalam genggaman, meraba halaman-halamannya, dan mencium aroma khas kertas cetak adalah momen yang menghadirkan rasa bangga sekaligus syukur.

Lebih dari itu, kebanggaan sejati muncul ketika buku tersebut mulai menemukan jalannya ke perpustakaan. Saya sendiri telah menyerahkan karya saya ke Perpustakaan Universitas Pelita Harapan (UPH) dan Perpustakaan Universitas Logistik dan Bisnis Internasional (ULBI). Saat buku saya tersimpan di rak-rak perpustakaan, saya membayangkan mahasiswa, dosen, atau pembaca lainnya akan membuka halaman demi halaman, lalu menemukan sesuatu yang bermanfaat.

Buku itu bukan lagi milik pribadi saya. Ia telah menjadi bagian dari perjalanan intelektual banyak orang. Mungkin akan ada pembaca yang terinspirasi, ada yang mengkritisi, bahkan ada yang melanjutkan gagasan dalam karya baru. Dan itulah esensi dari menulis: pikiran kita hidup lebih lama daripada usia kita sendiri.

Anugerah yang Perlu Disyukuri

Tidak semua orang diberi kesempatan untuk menerbitkan buku. Saya merasa ini adalah sebuah anugerah yang patut disyukuri. Di tengah kesibukan dan tantangan zaman, menyelesaikan sebuah buku adalah bukti kecil bahwa konsistensi, tekad, dan doa bisa melahirkan sesuatu yang abadi.

Buku, bagi saya, bukan hanya hasil kerja keras, tetapi juga sebuah warisan pemikiran. Ia akan tetap ada di rak perpustakaan, di tangan pembaca, bahkan di hati orang-orang yang menemukan makna darinya.

Penutup

Jika buku disebut sebagai jendela dunia, maka bagi saya pribadi, buku adalah jendela deep learning. Ia tidak hanya membuka wawasan baru, tetapi juga memperdalam kesadaran, menajamkan refleksi, serta menjadi penghubung antar-generasi.

Dan ketika sebuah buku lahir, lalu menyebar ke ruang-ruang pengetahuan, di sanalah ia menemukan makna sejatinya: bukan sekadar karya tulis, melainkan cahaya pengetahuan yang akan terus hidup dan menyinari banyak orang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun