Kita sering mendengar pepatah klasik: "Buku adalah jendela dunia." Kalimat ini terasa begitu akrab, seolah sudah melekat dalam memori kolektif kita sejak bangku sekolah. Namun, di tengah arus teknologi digital, saya melihat buku bukan hanya sekadar jendela dunia, melainkan juga jendela deep learning --- jalan untuk memahami sesuatu secara mendalam, bertahap, dan penuh refleksi.
Perjuangan Menulis dan Menerbitkan Buku
Menulis buku ternyata adalah sebuah perjalanan panjang. Tidak semata-mata menuangkan kata, tetapi juga mengolah pikiran, menyaring pengalaman, dan merajut benang merah gagasan. Setiap bab yang lahir merupakan hasil perenungan panjang, seringkali dibarengi revisi yang tidak terhitung jumlahnya.
Saya merasakan bahwa proses menulis buku sangat mirip dengan proses deep learning dalam dunia kecerdasan buatan: melalui lapisan demi lapisan, berulang kali, hingga akhirnya mencapai sebuah model yang matang. Begitu pula dengan menulis, ada pengulangan, ada trial and error, hingga lahir sebuah karya yang utuh.
Namun, perjuangan tidak berhenti pada menulis. Menerbitkan buku memiliki tantangannya sendiri. Mulai dari penyuntingan, desain, percetakan, hingga distribusi, semuanya membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Ada rasa lelah, ada keraguan, bahkan terkadang muncul pertanyaan sederhana: "Apakah buku ini benar-benar bermanfaat?"
Kebanggaan yang Tak Tergantikan
Meski penuh proses panjang, saat akhirnya buku itu terbit dalam bentuk cetak, ada kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Melihat buku dalam genggaman, meraba halaman-halamannya, dan mencium aroma khas kertas cetak adalah momen yang menghadirkan rasa bangga sekaligus syukur.
Lebih dari itu, kebanggaan sejati muncul ketika buku tersebut mulai menemukan jalannya ke perpustakaan. Saya sendiri telah menyerahkan karya saya ke Perpustakaan Universitas Pelita Harapan (UPH) dan Perpustakaan Universitas Logistik dan Bisnis Internasional (ULBI). Saat buku saya tersimpan di rak-rak perpustakaan, saya membayangkan mahasiswa, dosen, atau pembaca lainnya akan membuka halaman demi halaman, lalu menemukan sesuatu yang bermanfaat.
Buku itu bukan lagi milik pribadi saya. Ia telah menjadi bagian dari perjalanan intelektual banyak orang. Mungkin akan ada pembaca yang terinspirasi, ada yang mengkritisi, bahkan ada yang melanjutkan gagasan dalam karya baru. Dan itulah esensi dari menulis: pikiran kita hidup lebih lama daripada usia kita sendiri.
Anugerah yang Perlu Disyukuri
Tidak semua orang diberi kesempatan untuk menerbitkan buku. Saya merasa ini adalah sebuah anugerah yang patut disyukuri. Di tengah kesibukan dan tantangan zaman, menyelesaikan sebuah buku adalah bukti kecil bahwa konsistensi, tekad, dan doa bisa melahirkan sesuatu yang abadi.