Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kelam Terang

15 Januari 2022   12:33 Diperbarui: 15 Januari 2022   23:30 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Foto Wahyu Sapta.

Kata orang, aku terlahir dalam derita. Baru saja berumur sebulan, ayahku meninggal. Lalu menyusul kemudian ibuku. Aku menjadi sebatang kara, yang diasuh oleh nenekku. 

Nenek memiliki dua anak, adiknya ayahku yang harus juga dirawat. Tetapi aku masih beruntung, karena nenek baik padaku. Ia ibarat pengganti ibu yang sudah lebih dulu berpulang. 

Menjadi remaja membuatku menjalani hari yang menyedihkan. Saat teman-temanku menikmati fasilitas yang diberikan orang tua mereka yang masih utuh, aku hanya bisa melihatnya dengan keirian yang sangat. Apa yang bisa kuperbuat untuk mengimbangi mereka? Sedangkan kehidupan nenekku pas-pasan.

Menjadi dewasa, menjadikan aku tak sempat memperhatikan apa yang seharusnya dilakukan seperti gadis lainnya. Berbelanja baju, make up, menyimak tren, ke mal, kafe, atau apapun. Yang kutahu membantu nenek di dapur, membersihkan rumah, belajar agar aku cepat lulus kuliah lalu berpikir untuk bekerja agar tak semakin menjadi beban nenek.

Suatu malam ketika pekatnya tak mampu terkoyak oleh deru angin dingin, pikiranku melayang pada Ghani. Pemuda dengan tubuh atletis, teman satu kampus. Siapa yang tak mengenalnya? Hampir semua teman gadis mengenalnya dan mengagumi ketampanannya. Termasuk aku. 

Tapi apa mau dikata, bahkan untuk memandangnya aku tak berani. Kalah saing dengan gadis lainnya. Lalu, apa yang tak mungkin di dunia ini? Serba mungkin terjadi dan aku hampir tak mempercayainya.

Inilah cerita seklasik roman picisan bermula. Tak disangka bahwa Ghani memberi perhatian padaku. Angin apa yang membawanya hingga ia tertarik padaku. Gadis dengan rambut ekor kuda, gigi behel, dan berkacamata. Jauh dari kata cantik dan trendi ala teman lainnya.

"Apa yang membuatmu tertarik padaku? Apakah Rani tak cukup cantik buatmu?"

Rani adalah gadis populer di kampus, mantan Ghani. Mereka baru saja putus.

"Kamu berbeda. Tidak seperti Rani atau yang lainnya." Jawab Ghani. 

Jawabannya cukup membuatku mengawang di udara, seperti Cinderella dengan kereta kencananya. Bagaimana bisa? Hal tak masuk akal bagiku, tapi terjadi begitu saja. 

Aku dan Ghani jadian.

Kehidupanku menjadi seperti roda yang berputar cepat. Tiba-tiba aku menjadi lebih suka berdandan, make up tebal dan perawatan wajah di salon. Baju trendi yang tak kalah dengan teman gadis lainnya. Perubahan yang cukup mencolok menjadi bahan perhatian. Setiap aku melewati selasar kampus, mereka saling berbisik membicarakanku. Tetapi aku tidak peduli. 

Semua itu berkat Ghani yang tak pernah menghitung segala apa yang telah ia keluarkan dari dompetnya. Sebagai imbalannya, tentu saja aku menuruti semua keinginannya. Termasuk hal berharga dari aku yang kujaga selama ini. Rayuan maut Ghani yang mengatakan akan tetap setia padaku membuatku terbuai.

Lima bulan berlalu tanpa suatu cerita yang berarti. Ghani tetap dalam komitmennya. Ia mencari tempat kos yang biasa aku kunjungi saat ingin melampiaskan rasa kangen. Bahkan bermalam-malam, pernah aku lakukan bersamanya tanpa pulang ke rumah. Aku pamit pada nenek bahwa aku ada tugas yang harus dilakukan di luar kota. 

Aku rasa, jatuh cinta pada Ghani telah membutakan nalarku. Aku terlalu percaya padanya. Seperti cerita klasik roman lainnya, aku hamil. Hal ini membuatku takut. Nenekku pasti marah besar. Ia menaruh harapan besar padaku dengan membiayai kuliah selama ini. 

"Aku hamil, Ghani," ucapku datar. Perubahan wajah Ghani tak begitu kelihatan. Tetapi aku tahu, ia juga kebingungan seperti halnya aku.

"Apa yang harus kita lakukan, Ghani?" tanyaku lebih lanjut. 

"Entahlah."

Semakin hari perut buncitku semakin membesar. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Bercerita pada nenek? Itu adalah hal yang mustahil. Nenek tak pernah tahu keseharianku di luar rumah. Setiap memasuki rumah, aku bersikap santun dan baik pada nenek. Aku telah berbohong padanya selama ini. Bagaimana jika nenek tahu, lalu kaget dan jatuh sakit? 

Hubunganku dengan Ghani semakin kacau. Ia semakin jarang menemuiku. Ia mengatakan agar bayi yang ada dalam kandunganku dibuang saja. Huh, enak saja. Aku ketakutan setengah mati. Aku tak mau mengalami kesakitan. 

Titik balik dari semua ini, Ghani berpaling dariku. Ia berselingkuh. Kembali pada mantannya. Rani. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat mereka berdua di sebuah mal.

"Kamu tega, Ghani." Kataku pelan, sepelan angin yang berdesir di sela-sela ruangan mal.

Ia hanya terdiam.

"Rani, kamu tahu, aku sedang mengandung anak Ghani," kataku di depan Rani sambil memegang perut buncitku.

Rani terpaku beberapa menit, lalu berlari meninggalkan aku dan Ghani dengan beruraian air mata. Huh, apa salahku hingga membuatnya menangis? Ini bukan salahku. Bukankah Ghani yang berselingkuh dengannya, lalu membiarkan aku dengan perut membucit?

Ghani masih terpaku di depanku. Memandang diriku tak berkedip. Pandangan itu, mengingatkan aku saat pertama kali bertemu dengannya. 

***

Gedung sudah ramai. Acara wisuda segera mulai. Aku berada di jajaran mahasiswa yang sebentar lagi meraih gelar sarjana. Raut wajah gembira terpasang tak pura-pura. Ini adalah sungguhan dan bukan mimpi. Akhirnya aku bisa melewati masa menegangkan.

Ini takdir. Bahwa masa lalu yang telah meluluh lantakkan kehidupanku hampir satu tahun lamanya, bagai hilang tak berbekas.

Aku meminta maaf pada nenek dan bersimpuh di pangkuannya. Nenek memang marah besar. Tapi kasih sayangnya melebihi marahnya. 

Aira terlahir dengan selamat, sedang lucu-lucunya. Bagaimana bisa dulu aku berpikiran untuk membuangnya ketika masih di dalam perut buncitku? Dosa yang kuperbuat akan menjadi berlipat ganda. 

Masih mempertanyakan Ghani?

Sudahilah malam yang duka, kekasih. Dunia berkata bahwa kau akan baik-baik saja. Hujan akan tiba, kemudian reda, maka akan melahirkan pelangi. Yakinlah, keindahan segera datang menjelma. Lupakan semua derita. Doa semesta akan menjagamu, luka akan hilang, perlahan terobati.


***

Semarang, 15 Januari 2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun