Titik balik dari semua ini, Ghani berpaling dariku. Ia berselingkuh. Kembali pada mantannya. Rani. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat mereka berdua di sebuah mal.
"Kamu tega, Ghani." Kataku pelan, sepelan angin yang berdesir di sela-sela ruangan mal.
Ia hanya terdiam.
"Rani, kamu tahu, aku sedang mengandung anak Ghani," kataku di depan Rani sambil memegang perut buncitku.
Rani terpaku beberapa menit, lalu berlari meninggalkan aku dan Ghani dengan beruraian air mata. Huh, apa salahku hingga membuatnya menangis? Ini bukan salahku. Bukankah Ghani yang berselingkuh dengannya, lalu membiarkan aku dengan perut membucit?
Ghani masih terpaku di depanku. Memandang diriku tak berkedip. Pandangan itu, mengingatkan aku saat pertama kali bertemu dengannya.Â
***
Gedung sudah ramai. Acara wisuda segera mulai. Aku berada di jajaran mahasiswa yang sebentar lagi meraih gelar sarjana. Raut wajah gembira terpasang tak pura-pura. Ini adalah sungguhan dan bukan mimpi. Akhirnya aku bisa melewati masa menegangkan.
Ini takdir. Bahwa masa lalu yang telah meluluh lantakkan kehidupanku hampir satu tahun lamanya, bagai hilang tak berbekas.
Aku meminta maaf pada nenek dan bersimpuh di pangkuannya. Nenek memang marah besar. Tapi kasih sayangnya melebihi marahnya.Â
Aira terlahir dengan selamat, sedang lucu-lucunya. Bagaimana bisa dulu aku berpikiran untuk membuangnya ketika masih di dalam perut buncitku? Dosa yang kuperbuat akan menjadi berlipat ganda.Â