Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luna dan Hujan yang Tak Kunjung Reda

4 Maret 2021   13:44 Diperbarui: 4 Maret 2021   15:36 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Foto Wahyu Sapta.

Hari pagi tiba, sinar redup abu-abu menggelayut manja. Mendung. Lalu hujan! Daun-daun coklat menghijau. Tanah basah tersapu rinai. Bunga bermekaran tengah bersembunyi, tergantikan dengan rajinnya daun. 

Cuaca sedang tidak menentu. Kadang hujan tiba-tiba, lalu berhenti. Cerah, mendung, gerimis lagi! Hujan deras, gerimis, lalu reda. Aduh, cuaca yang tak menentu membuat Luna bingung harus bagaimana.

"Dik, kamu kedinginan?"

Luna menggeleng. Padahal sebenarnya dingin tengah menerpa dan menjadikan gigil.

"Kamu butuh jaket, dik! Aku ambilkan, ya." 

Luna mengangguk. Hari masih pagi, saat Luna harus pergi membawa motornya. Ia hendak berangkat kerja dan pergi. Tidak bersama Bagas. Jadwal pagi membuatnya harus berangkat lebih dini dari jam kerja orang lainnya. Meninggalkan suami dan Putri anak semata wayangnya yang baru berusia dua tahun. 

Anaknya masih tidur dan dijaga bergantian. Sekarang saatnya bersama Bagas yang kebetulan mendapat jadwal malam bekerja di rumah besar dekat rumah. Jika pagi begini bisa menggantikan dirinya menjaga Putri.

"Aku pamit, mas."

"Hati-hati di jalan."

Luna tidak lupa memakai helm. Jaket coklat yang tadi dibawakan suami untuknya, dipakai rapat. Lumayan bisa menjadi tameng dari terpaan angin dingin. Hujan yang sebentar reda, sebentar gemericik, membuatnya ragu memakai mantel. Merepotkan jika harus memakai mantel. Padahal waktu sudah memburu. Ia tak ingin telat sampai tujuan.

"Mengapa jika musim hujan selalu basah?" runtuknya dalam hati. Tetapi memang tahun ini hujan datang lebih awal dan lebih rajin dari biasanya. 

Dipacu motornya lebih hati-hati. Jika hujan gerimis tipis, jalanan menjadi licin. Mau tak mau harus berjalan lebih pelan.

"Apakah aku perlu mantel? Tetapi jaket ini lumayan melindungiku dari hujan gerimis." katanya dalam hati. Ia urung memakai mantel.

Luna adalah perempuan tangguh. Diusianya ke-24 tidak membuatnya manja pada Bagas. Bahkan saat ia melahirkan, hanya ditunggu suster. Kebetulan suaminya sedang bertugas yang tidak bisa ditinggalkan. Jika boleh protes, ia akan mengatakan, ingin ditemani suami saat melahirkan. Tetapi, begitulah Luna. Memilih diam.

Hujan masih saja gemericik. Gerimis tipis, terkadang reda, lalu gerimis kembali. Jaket Luna basah kuyup. Ia bermaksud memakai mantel yang ada di jok motor. Berhenti sebentar mengambilnya. 

Hari pagi yang mendung menjadikan alam sedikit gelap seperti subuh. Masih sepi yang sebentar lagi ramai oleh lalu lalang kendaraan.

Tiba-tiba berhenti sebuah mobil tepat di depan motor Luna. Membawa Luna kemudian menyeretnya masuk dalam mobil. Luna tak sempat memakai mantel yang terjatuh saat ia terseret. Kejadian itu begitu cepat. Luna tak sempat berpikir dan membela diri.

Luna memberontak, tetapi dua orang laki-laki yang berbadan tegap tak mampu dilawannya. Padahal Luna memiliki ilmu beladiri. Dua orang itu tampaknya lebih tangguh. Terlebih Luna dibius hingga tak sadarkan diri.

Mobil melaju meninggalkan motor Luna.

***

"Di manakah aku? Apakah aku sudah mati? Huh, mengapa nafasku terasa sesak? Oh, Tuhan, aku terikat." kata Luna ketika ia siuman. "Siapa yang tega berbuat seperti ini? Mengapa mereka menculikku? Apa salahku?"

Luna menangis sesegukan. Ia teringat Bagas dan Putri. "Ya Tuhan, bagaimana jika aku tak bisa bertemu mereka lagi?" batinnya.

"Hei, kamu sudah siuman?" kata seseorang mengagetkan. 

"Siapa kamu? Mengapa kamu menculikku?" seru Luna.

"Tenang, semuanya sudah diurus. Tidak usah kamu pikirkan. Suami dan anakmu aman. Mereka mendapat tunjangan kematian. Mereka akan terurus dengan baik. Ya, ya. Mereka memang sedih kehilanganmu. Tetapi, aku yakin, hal itu sebentar saja. Mereka akan mencari penggantimu. Kamu tak usah memikirkannya."

"Jahat! Siapa kamu? Mengapa berbuat seperti itu padaku?" teriak Luna, sesaat kemudian ia pingsan kembali.

***

Pagi hari tadi yang cerah, matahari muncul sempurna. Tetapi tak menjamin bahwa sore hari tidak hujan. Meski siang hari juga terik. Musim hujan selalu banyak air. Cuaca tak menentu. Terkadang hujan, reda, kemudian hujan lagi.

Melia seperti mengenal tempat ini. Tetapi entah di mana. Apalagi hujan yang deras, membuat pikirannya selalu berputaran. Ada sedikit trauma yang terbawa hingga sekarang. Ia harus berpikir keras, apa yang menyebabkan dirinya trauma terhadap hujan.

"Belikan ibu air mineral di toko itu, Melia."

"Baik, Bu. Ada lagi?"

"Tidak usah. Cukup untuk perjalanan kita nanti saja." kata ibu yang dipanggil Ibu Simon sehari-hari oleh Melia. Perjalanan masih jauh. Sedang persediaan minum di mobil sudah habis, tepat di tempat ini.

Melia menuju toko kecil semacam minimarket. Hujan yang belum reda menuntutnya membawa payung. Ia menaruh payung di depan toko, kemudian masuk. 

Ia mengambil beberapa air mineral. Lalu dibawanya ke meja kasir. Seorang lelaki menjaga kasir. Terlihat dari gestur tubuhnya, ia tampak tak seperti pegawai biasa. Mungkin ia adalah pemilik toko. Di sampingnya ada gadis kecil cantik berpita dua. 

Melia memandang gadis itu. Ia tersirap oleh wajah polosnya. Ia seperti mengenalnya. Tetapi entah di mana. Ada pilu dalam hatinya. Ia tidak mengerti, apa yang menjadi penyebabnya.

"Ini saja?" tanya lelaki tersebut.

"Iya." 

Melia mengeluarkan kartu debit dari dompet, kemudian diacungkan ke kasir. Kartu terdebit dan dikembalikan ke Melia. Tak sengaja mata mereka berpandangan.

"Luna?"

Sesaat hening. Masing-masing terpaku beberapa saat.

"Luna?" ulang lelaki tersebut. Melia kaget, dan segera berlalu. Langkahnya dipercepat meninggalkan toko kecil itu. Lelaki pemilik toko yang merangkap kasir mengejarnya.

"Luna! Tunggu!" teriaknya.

Langkah Melia terhenti sejenak.

"Maaf, saya bukan Luna!" katanya. Ia mempercepat kembali langkahnya menuju mobil, hingga lupa payung yang dibawanya. Hujan di luar masih deras. Bajunya basah. Tak terasa air mata Melia menetes di pipi. Tidak tampak, karena tersapu oleh hujan yang menerpanya. 

Mendadak ia tadi mengingat segalanya. Ia juga teringat lelaki pemilik toko yang merangkap kasir. Ia ingat gadis kecil berpita dua yang duduk di sebelah lelaki tadi. Sebenarnya ia ingin menghambur ke pelukan mereka. Tetapi ada sesuatu yang menghambatnya.

Keterikatan dirinya dengan Ibu Simon menyebabkan ia menjauh dari tempat ini. Selama ini ia telah dirawat Ibu Simon dengan tulus. Hingga ia menjadi sekarang. Apalagi tadi ia melihat seorang perempuan muda mendampingi lelaki pemilik toko yang merangkap kasir. Ia tak ingin mengganggu mereka.

"Melia, mana payungmu?"

"Maaf ibu, saya lupa."

"Badanmu kuyup begitu. Bajumu juga basah semua. Nanti kamu bersalin di rest area terdekat."

"Terimakasih, ibu."

"Lain kali kamu jangan begitu."

"Baik, ibu."

Beberapa tahun lalu, Ibu Simon menemukan Melia bersimbah darah. Tanpa identitas dan mengalami amnesia. 

Hujan di luar masih saja deras. Tampaknya tak akan reda dalam waktu dekat. Melia memandang luar dari kaca mobil. Air matanya menetes pelan tanpa suara. Ia mengingat segalanya. 

Semarang, 4 Maret 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun