Mohon tunggu...
Wahid kurniawan
Wahid kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengarang

Insya Alloh akan jadi seorang writer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalanan pada Satu Malam di Bulan Juni

1 Juli 2019   01:29 Diperbarui: 1 Juli 2019   01:39 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jalanan itu seperti biasa, menghadirkan rasa tersendiri; bahkan hampir menjadi candu yang meminta untuk dipuaskan minimal satu minggu sekali. Layaknya pelukan Ibu yang menenangkan tangisanmu, ia membentang dan memanjang beserta lampu-lampu serupa tangan yang merangkul bahumu lewat cahayanya yang terkadang muram tak jarang terang. Kendaraan lalu-lalang, obrolan-obrolan, dan tawa berderaian, kauanggap angin lalu.

tak lebih sebagai sesuatu yang ada, sekaligus ingin kausangkal keberadaannya. Kau mengaburkan mereka, eksistensi mereka.

Sebab malam ini kau hanya ingin menikmati jalanan. Jalan dengan lampu-lampunya. Jalan dengan cahaya bulan tumpah ruah di permukaan aspalnya.

Sepanjang bulan, kau mencoba mengais mana jalanan yang paling menawan, dan tak ada yang semenawan jalanan dengan siraman lampu selepas hujan atau geremis bertandang. Namun, malam ini, adalah akhir Juni yang kering. Tidak ada mendung. Apalagi hujan. Kering itu pun kian sarat, sebab angin yang menderakkan ranting yang menyelusup celah jaketmu sama sekali kaurasa kecil gigitannya. Tak seperti angin bulan Desember, bulan yang ramai koor panjang katak yang kausukai, yang senantiasa mengirim dingin pada malam hari.

Ah, tiba-tiba kau ingat dan merindukan Desember: akan cuaca, angin, sampai wajah tanah pada bulan itu, juga jalanan yang kerap basah, ranting dan daun yang sore hari basah selepas hujan turun seharian, dan perayaan Natal dan Tahun Baru yang tiap tahunnnya biasa saja tetapi selalu berhasil membuatmu rindu akannya.

Ini Juni, bukan Desember, pikirmu mengingatkan. Bahwa Juni sebenarnya penuh arti, setidaknya bagi mereka yang penyair atau penikmat puisi. Tapi, tidak, pikirmu lagi. Kau lebih menyukai Desember atau Januari. Tidak, kau bukannya membenci Juni, atau kesembilan bulan sisanya, akan tetapi kau merasa mereka tak cukup seksi dibanding dua bulan itu. Desember dan Januari. Tanah basah penuh koor katak dan reranting pohon penuh buah-buah masak. Akhir dan permulaan. Atau awal dan berakhirnya sebuah siklus.

Kau tersenyum, sama sekali tak mengira pikiran bulan memenuhi kepala dalam perjalananmu malam ini. Mungkin orang lain yang melihatmu, akan memandang aneh, lalu menggumam sambil tertawa mengataimu orang gila. Lelaki berjaket hitam yang berjalan sendirian dalam keremangan malam yang sesekali tersenyum senang, kau mendiskripsikan sendiri gambaran dirimu malam ini. Tertawa, bahkan kau sendiri merasa lucu atas statusmu.

Tidak, aku tak cukup gila, kau menggumam, pelan. Ada yang lebih gila, kau terdiam lagi, berhenti di satu persimpangan jalan tiga cabang, lalu memandang ke atas---ke arah lilitan kabel silang menyilang---jatuh cinta, itulah hal tergila di dunia, kau menggumam lagi, kemudian melangkahkan kaki ke arah jalan yang paling lengang di antara tiga cabang.

Jalanan yang penerangannya paling minim dan tampak paling sepi. Sepi, oh, sepi. Kau menyukai sepi dengan segala kesenyapannnya, ia adalah baju bagi mereka yang terlalu sering sendirian. Bukankah yang dicari seseorang yang berjalan malam-malam begini tak lain adalah kesepian? tanyamu, menegaskan alasanmu keluar malam ini. Kau membutuhkannya, tentu saja, sebab suara-suara di tengah kesunyian adalah hal yang telah menjadi nyanyian tersendiri bagimu.

Entahlah, aku tak ingat kapan kali pertama menyukainya, tegasmu seolah mendapat pertanyaan dari dunia entah. Itu membuatmu peka, gumammu lebih lanjut, yang ditanggapi oleh kelepak kelelawar yang melintas di atas kepalamu. Kau berhenti, pandanganmu mengikuti arah terbang mamalia bersayap itu.

Aku sama sepertimu, Kalong, tersenyum. Apa bedanya? kamu bertanya, lagi. Kami sama-sama hidup di tengah kelengangan malam. Bedanya ia mencari makan, dan aku mencari ketenangan. Lalu berjalan lagi, kemudian menggumam, aku sama sekali tak sendiri.

Ya, setelah ini kauberharap mendapati setan atau pohon berjalan yang menyapa dan menanyai mau ke mana dengan riang. Kau terkikik sendiri, tersadar akan harapan konyol tak masuk akalmu. Eh, bagaimana kalau aku bertemu Kuntilanak? Hmmm, mungkin aku bisa mengajaknya mengobrol dan curhat, aku kira kami bernasib sama. Lalu terus berjalan, sementara waktu membangkitkan dingin yang menggigit lehermu.

Aku yakin ada yang mengikuti, gumammu, menoleh ke belakang, dan sama sekali tak mendapati siapa-siapa selain jalanan yang diam. Oh, perasaanku saja. Aneh, belakangan ini aku sering merasa diikuti seseorang, atau diawasi mata-mata misterius. Kau ingat perkataan temanmu, itu hanya halusinasimu saja.

Tidak, kau jawab, aku bener-bener merasakannya. Hmmm, itu sebabnya kau butuh pacar. Pacar? Kau tersenyum geli. Sama sekali tak menemukan hubungan antara perasaan takut dengan memiliki pacar. Tapi, mungkin ia benar! Ya, barangkali saja. Sebab kausendiri menyadari, bahwa sudah lama kau tak pacaran. Terakhir kali kau pacaran adalah dua tahun yang lalu. Dua tahun! Itu waktu yang lama bila disandingkan dengan teman sebayamu untuk menyandang status jomblo. Akan tetapi, tidak! Kau sudah bertekad untuk tak menyandang status pacaran setelah tragedi itu.

Setelah wanita itu menepis perasaanmu itu! Hmmm, dia apa kabar, ya? serta-merta ingatanmu melayang ke masa tiga tahun itu, ingatan tentangnya. Dia, wanita cantik yang menurut teman satu sekolahmu berkulit terlalu putih bahkan tidak normal itu, di mana dia sekarang? Kau mengingat, kapan kali terakhir kau bertemu dengannya. Hmm, aku rasa setahun yang lalu. Seperti apa dia sekarang? Berani taruhan, dia pasti tambah cantik. Kamu terkikik geli, lagi. Merasa lucu akan duganmu dan, teringat tepat di tahun ketiga sekolahmu, kau duduk sebangku dengannya.

Kau terkikik lagi, bahkan sampai hampir terbahak. Mengingat bagaimana saban hari kalian selalu memiliki hal untuk diributkan, pendapat atau jalan pikiran yang tak pernah sama. Hubungan yang aneh, kau menggumam, dan, sialnya, aku merindukannya! Terdiam, kakimu lelah, bajumu banjir oleh peluh. Lalu, kau duduk sejenak di bangku semen di pinggir jalan, sendirian, melanjutkan sesi mengingat kenangan. Kau merindukan saat bertengkar atau berdebat dengannya, mengingat betapa lucunya wajah putih itu ketika ia kalah berdebat denganmu. Ia akan cemberut, diam selama beberapa saat, tapi pada akhirnya kembali tertawa entah menertawakan hal apa denganmu.

Apa ia baik-baik saja sekarang? Kabar, keadaan, seperti apa seseorang, itu ketiga hal yang seringkali membuatmu canggung untuk menanyakannya. Tak terkecuali terhadap wanita itu, kau masih terlampau canggung, ah, atau bahkan kelewat malu, sehingga pertanyaan-pertannyaan itu selalu berakhir dengan keyakinan, bahwa ia atau mereka tengah dalam keadaan baik-baik saja sambil meletakkan kata 'semoga' di ujung kalimat. Ya, semoga ia sedang berbahagia di sana, kau menggumam, menghela napas, kemudian bangkit berdiri. Sudah saatnya kau melanjutkan perjalananmu.

Menyusuri jalanan lengang nan temaram sebab lampu di jalan itu ternyata semakin jauh jaraknya kian sedikit jumlahnya. Merapatkan jaket hitammu, menggumam, aku harus pulang. Dan kau memang berniat kembali, pulang ke titik semula kau memulai perjalananmu malam ini. Sekarang sudah hampir dini hari, jalanan yang kaulalui tak seramai tadi.

Kau merasa lebih tenang, sekaligus menyadari perasaan itu kian menggigit. Apa aku salah tetap merahasiakannya? Ini sudah Juni yang ketiga sejak perasaan itu berbenih, tumbuh, dan berkembang seiring waktu. Sehari lagi Juni berakhir, bulan paling keramat bagi pecinta puisi dan hujan yang jarang-jarang, esok akan melambaikan tangan. Selamat tinggal, Juni, gumammu, untuk kesekian kali. Sampai bertemu tahun depan, matamu memanas, perasaan itu semakin menggigit. Semoga ketika kita bertemu lagi, aku tak lagi menikmati malammu seperti ini, dadamu bergejolak, langkah menuju pulang teramat berat. Bagaimana Juni tahun ini, Ra? Kau terdiam, sama sekali tak mengira pertanyaan itu muncul, nama itu kausebut. Ya, selalu saja, pada akhirnya aku teringat akanmu, batinmu.

Terbayang sosok lain yang spesialnya melebihi wanita yang kelewat putih itu. Ah, membuang napas, menyadari bahwa wanita itu masih bercokol di benakmu, masih menancapkan jangkarnya di palung terdalam hatimu. Kau meringis, perasaan itu kian menggigit. Dalam, tak berubah sejak dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun