Mohon tunggu...
Vikri Putra Andana
Vikri Putra Andana Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Hanya ingin berbagi apa yang ada di pikiran untuk dituang menjadi tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jendela Kaca

25 Maret 2020   13:15 Diperbarui: 4 April 2020   09:32 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari yang berada di luar jendela terus memanggil. Membuat jiwa dan hatiku berdiri untuk menatap masa depan yang aku impikan, hanya untuk membahagiakan dua sosok pahlawan yang telah berjuang membesarkan dan merawatku hingga tumbuh, dan berusaha membuat cerita perih ini.

"Dialah orang tuaku, kawan."

Akalku menyuruh tanganku untuk menulis apa yang aku rasakan. Kepedihan, penyesalan, kegagalan, dan kebahagian yang bisa membuat tanganku ini menulis. Seseorang yang di masa kecilnya merasakan kepedihan yang tidak bisa dirasakan pejabat-pejabat, yang berpangkat tinggi melampaui langit ke tujuh. Melarat. Miskin.

Kemalangan yang diawali dengan keturunan. Aku yang tanpa suku, sangat sulit untuk berakting bak anak -- anak yang bahagia dimandikan harta. Tetapi, di balik kemalangan ini, tersimpan pula kebahagiaan yang siapapun tidak bisa membuatnya. Kebahagiaan yang hanya hati yang bisa merasakan, mata yang hanya bisa melihat, dan balasan senyuman manis yang hanya bisa dilantunkan. Ya, kebahagian itu memang dari sebuah senyuman manis pula. Senyuman manis dari seorang ibu dan ayah yang dengan gagah berani, memberikanku kebahagiaan selepas kesedihan memadam.

Banyak yang bisa aku makan di waktu kecil, tetapi banyak pula rasa pedih yang bisa aku tumpahkan kepada kalian semua, kawan. Berawal dari sebuah keturunan. Aku memanglah miskin, tidak beradat, tidak bersuku. Tetapi tak ada yang bisa mengalahkan ketegaran dari sebuah penderitaan ini. Ayahku adalah seorang pedagang yang tidak mahsyur, berasal dari Padang, negeri yang mempunyai kekayaan yang berlimpah tetapi tak bisa dirasakan oleh keluarga miskinku. Dan wanita terbaik dalam hidupku, ibuku, beliau juga membantu ayahku untuk berdagang. Bersikap manis dan merayu  orang banyak, agar mau menukarkan helaian uang mereka dengan barang dagangan orang tuaku. Gaji mereka tidak banyak. Hanya sebatas membeli kain bekas bagi mereka, para pejabat tinggi.

Bukittinggi, tempat kelahiranku. Terkenal dengan jamnya yang jumbo dan disebut jam gadang. Bukittinggi, lebih tepatnya daerah kampuang. Kamang Magek, adalah daerah yang kaya dengan alamnya, luas, murni, sehat, sejuk, dan apa yang tidak bisa kita rasakan di perkotaan yang sangat hingar bingar, bisa kita rasakan di sini. Begitulah keadaan kampung halamanku, kawan. Tempat dimana masyarakatnya sangat rukun, baik, rajin. Tetapi, hanya kekurangan dengan financial mereka. Tak beda denganku, yang miskin, hidup di perkampungan untuk pergi pagi dan pulang apabila matahari telah meninggalkan awannya.


Aku diberi nama Subhan. Banyak yang bilang nama itu sangat tidak cocok dengan orang miskin seperti aku, kawan. Berkat perkataan orang tuaku lah, aku menjadi sosok orang yang tahan banting dengan perkataan kotor dari cucu -- cucu Adam.

"Tersenyumlah nak, jika suatu saat banyak sesuatu yang tidak baik untukmu.Dan ingatlah nak, hanya buah yang baguslah yang akan dilempari batu ! "
Dengan pelan dan penuh kasih sayang, ibunda mengatakan itu kepadaku. Perkataan itu telah dilantunkan ibundaku semenjak aku muncul ke permukaan bumi yang luas ini. Ibunda lah yang menjadi tempat madrasah pertama bagi anaknya yang baru lahir, yang memberikan kasih sayang pertama kali, sebagai tempat penghangat dengan sebuah pelukan yang manis dari bunda.

Di tepian pintu sudut rumah ini, aku menunggu ayah untuk pulang, memberikan kebahagian selepas letih bekerja. Sore yang menjadi gelap, ayah pun datang. Aku memberikan senyum, senyum anak -- anak yang masih suci. Ayah pun mengangkatku dengan kekuatan supernya, kekuatan super yang masih tersisa selepas pekerjaannya.

Terdengar dari belakang suara hentakan kaki melangkah, melangkah dengan sangat pelan. Lalu tiba -- tiba menghampirlah pelukan hangat yang aku rasakan, pelukan seorang ibu. Ibu memelukku seiring dengan badanku yang diangkat oleh ayahku. Sore itu pun menjadi sore yang tentram, damai.
Sore pun berlalu. Tak lepas dari lantunan ayat suci Al -- Quran yang dilantunkan oleh ayahku Si superhero, melantunkan ayat suci untuk mengajari lidahku untuk pandai melantunkannya pula. Selepas itu, ibuku menghimbau dari balik pintu bilik, menyuruh untuk melakukan makan malam. Himbauannya seperti burung yang berkicau dengan merdunya. Subhanallah.

" Nak, ini makanannya harus dihabisin ya, biar kamu cepat besarnya. Setelah besar nanti pun kamu harus makan yang banyak. " Wanita pertamaku mengucapkan itu tepat ditelingaku sembari tangannya yang menyentuh bahuku.
Perkataan ibu yang seperti itu menggambarkan bahwa nasi yang beliau beri kepadaku itu begitu banyak. Namun, hanya tiga kali suapan, nasi itu habis kulahap, dan piringnya pun licin. Tak penting seberapa banyak nasi yang bisa kumakan. Namun, jika aku bisa menghabiskan nasi itu, cukup membuat wanita pertamaku tersenyum lega.

Aku telah menghabiskan makananku, tapi entah mengapa ayah ku tidak juga menghabiskannya. Aku tahu, bahwa porsi ayah lebih sedikit daripada porsi makanan yang aku habiskan. Sangat tidak mungkin jika dia telah kenyang. Aku mencoba perlahan melihat raut wajahnya. Wajahnya bercahaya, jelas sekali air wudu masih membasahi wajahnya yang bersinar itu. Namun, dibalik sinar itu terdapat pula raut wajah yang gelap. Aku menghampirinya lalu bertanya.

 " Ayahku, kenapa nasinya tak dihabiskan ? Bukankah ayah yang bilang kepadaku untuk jangan pernah menyisakan sedikit pun nasi, walaupun itu cuman sebiji. "

" Iya nak, kita tidak boleh menyisakan makanan. Mubazir. Tapi, hanya tinggal nasi inilah yang bisa membuat kamu  tetap terbangun untuk esok hari, nak "

" Tidak, ayah. Aku tetap terbangun jika nasi ini bisa membuat mu sehat untuk sekarang dan selanjutnya. Makanlah, ayah. " Aku mengatakannya dengan nada yang rendah.

Aku beranjak dari meja makan, melihat kebelakang sebentar. Ayahku hanya termenung, tampak wajahnya pucat kelelahan. Akhirnya tangannya mulai menyuap nasi itu. Aku pun tersenyum, ada rasa manis di dalam hati. Semanis kurma atau sejenisnya.
Kurma akan habis manisnya jika telah kita makan. Begitu pula, dengan manisnya seorang ayah bagiku. Di umur 9 tahun ini, aku sudah tidak merasakan betapa manisnya kurma yang pernah kurasakan dulu, bahkan bertambah pahit setelah ku telan air yang manis pula. Superhero yang ku kenal dahulu, sudah menjadi bajingan bangsat. Menghancurkan semua kemanisan yang pernah aku rasakan bersama keluarga. Penyebab ayahku menjadi bangsat, tidak lain dan tidak bukan ialah para pejabat -- pejabat berpangkat, berwibawa, tapi tak tau apa itu hati. Para pejabat bangsat ini sudah tidak punya hati, bahkan dia tega mengambil hati ayahku sendiri.

Orang bijak sering mengatakan bahwa orang yang besar akan jatuh dengan batu yang kecil. Ayahku sendiri akhirnya merasakan hal itu, terbuai dengan hasutan tikus -- tikus yang gemar berjudi.

Sore pun berganti malam. Suasana istanaku kini sudah berganti dengan medan perang yang amat dahsyat. Ribut sekali. Sampai suara mulutku sendiri sudah tak terdengar oleh diriku sendiri. Ibu terpakasa mengeluarkan air matanya, menandakan hati nya yang telah tertusuk batu kecilyang teramat tajam. Namun, ayahku hanyalah tinggal Si kepala batu. Bersikeras melawan ibuku yang tak berdaya sedikit pun. Sungguh miris hati ini, kawan. Bagaimana tidak, mendegar ibu yang menangis dan aku hanya bisa diam, menyudut dalam ruangan. Ketakutan.
Berair juga akhirnya mataku, setelah ibuku tertidur karena kalah dalam peperangan ini. Aku mencoba berani untuk mendekati ayah dan membenarkan suatu hal ' Ayah, kasihan ibu yang tak punya saudara disini, beliau hanya menumpang hidup di kampungmu, yah. ' Kataku mengeluarkan nada rendah.

"PERGI SANA ! JANGAN IKUT CAMPUR ! Kau pun tidak bersuku, juga pula tidak beradat, jangan kau ikuti urusan ini. Terbuang ! " Ayahku menggertak, tangannya mengenggam.

Air mata ini terus mengalir, mendengar kata -- kata ayah. Meskipun tak sederas air terjun, namun bisa melukai ke tulang rusuk. Sakit sekali saat ayah bisa mengeluarkan kata -- katanya itu padaku. Kurma itu telah hilang, benar -- benar hilang.

 Angin yang berhembus malam ini, membasahi seluruh tubuh ibu yang masih terisak isak diranjangnya. Aku tak bisa berbuat apa -- apa, kawan. Badanku melemas, untuk mengangkat dagu pun aku sulit. Banyak hujan yang jatuh saat ini.
Namun,sudah hal yang wajar melihat orang miskin beradu hati keras. Tetap, yang menjadi pemenangnya ialah seorang ibu, ia kuat seperti batu yang tak terkikis oleh aliran air sungai. Air mata ibu adalah tiga kali senjata nuklir yang bisa menghancurkan galaksi antariksa ini, kawan.
Aku seperti kerasukan setan,merarau parah ke ayah tentang kemiskinan ini. Ibu sudah biasa menghadapi kegilaanku ini,kadang ia membujukku dengan cerita lucu dikala isak tangisku meredam. Hanya ibu yang mampu mengembalikan senyumku dikala sang badai menerpaku.
Senja datang dengan indah, membawa suasana sedih menjadi tenang. Ibu membawaku ke sebuah atap tinggi yang terdapat di kampungku, bangunan tua bekas penjajahan Belanda. Di lantai paling atas, ibu membawaku ke tepi dekat jendela kaca yang besar dan tak sedikitpun bingkai kayu disananya.

" Apa yang kau lihat, nak ?" ibu menunjuk ke luar jendela kaca itu.

" Aku hanya melihat bayanganku dan dibaliknya hanya ada bentangan luas kampuang ini,bu" Aku polos menjawab.

" Begitulah hati berkata, nak. Melihat dirimu hanya sekedar bayangan,namun dibalik itu kau punya hati yang luas, menguasai luasnya bumi ini. Jadilah seperti jendela kaca,nak. "  Ibu berkalimat takzim, lalu perlahan beranjak pergi.

***
Angin berhembus malam ini, aku menatap binar di balik jendela kaca. Mengingatkanku akan kejadian 10 tahun silam, dimana untuk terakhir kalinya ibu berbicara padaku. Usiaku yang 28 tahun ini masih tak bisa membendung rasa tangisku. Menangis,menangis,dan terus menangis. Aku sudah tak melarat, namun tetap aku merasa miskin. Aku kehilangan sosok pahwalan. Pahlawanku gugur disaat aku tak bisa untuk menyelamatkannya kembali. Sudah terlambat bagiku untuk menyelamatkannya.Kini usiaku 28 tahun. Kelapa yang dipikul oleh ayah dan ibuku dulu kini sudah berganti pikulan dengan puluhan mobil yang memikulnya.

Angin berhembus malam ini, ada yang jatuh disaat yang lainnya bangkit. Ibu, jendela kacamu ada disini, menemanimu dengan sebuah tangisan, angin serta hujan menjadi musik pengiring tangisan ini. Jendela kaca adalah saksi bisu kita, ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun