Mohon tunggu...
Vikri Putra Andana
Vikri Putra Andana Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Hanya ingin berbagi apa yang ada di pikiran untuk dituang menjadi tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jendela Kaca

25 Maret 2020   13:15 Diperbarui: 4 April 2020   09:32 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku telah menghabiskan makananku, tapi entah mengapa ayah ku tidak juga menghabiskannya. Aku tahu, bahwa porsi ayah lebih sedikit daripada porsi makanan yang aku habiskan. Sangat tidak mungkin jika dia telah kenyang. Aku mencoba perlahan melihat raut wajahnya. Wajahnya bercahaya, jelas sekali air wudu masih membasahi wajahnya yang bersinar itu. Namun, dibalik sinar itu terdapat pula raut wajah yang gelap. Aku menghampirinya lalu bertanya.

 " Ayahku, kenapa nasinya tak dihabiskan ? Bukankah ayah yang bilang kepadaku untuk jangan pernah menyisakan sedikit pun nasi, walaupun itu cuman sebiji. "

" Iya nak, kita tidak boleh menyisakan makanan. Mubazir. Tapi, hanya tinggal nasi inilah yang bisa membuat kamu  tetap terbangun untuk esok hari, nak "

" Tidak, ayah. Aku tetap terbangun jika nasi ini bisa membuat mu sehat untuk sekarang dan selanjutnya. Makanlah, ayah. " Aku mengatakannya dengan nada yang rendah.

Aku beranjak dari meja makan, melihat kebelakang sebentar. Ayahku hanya termenung, tampak wajahnya pucat kelelahan. Akhirnya tangannya mulai menyuap nasi itu. Aku pun tersenyum, ada rasa manis di dalam hati. Semanis kurma atau sejenisnya.
Kurma akan habis manisnya jika telah kita makan. Begitu pula, dengan manisnya seorang ayah bagiku. Di umur 9 tahun ini, aku sudah tidak merasakan betapa manisnya kurma yang pernah kurasakan dulu, bahkan bertambah pahit setelah ku telan air yang manis pula. Superhero yang ku kenal dahulu, sudah menjadi bajingan bangsat. Menghancurkan semua kemanisan yang pernah aku rasakan bersama keluarga. Penyebab ayahku menjadi bangsat, tidak lain dan tidak bukan ialah para pejabat -- pejabat berpangkat, berwibawa, tapi tak tau apa itu hati. Para pejabat bangsat ini sudah tidak punya hati, bahkan dia tega mengambil hati ayahku sendiri.

Orang bijak sering mengatakan bahwa orang yang besar akan jatuh dengan batu yang kecil. Ayahku sendiri akhirnya merasakan hal itu, terbuai dengan hasutan tikus -- tikus yang gemar berjudi.

Sore pun berganti malam. Suasana istanaku kini sudah berganti dengan medan perang yang amat dahsyat. Ribut sekali. Sampai suara mulutku sendiri sudah tak terdengar oleh diriku sendiri. Ibu terpakasa mengeluarkan air matanya, menandakan hati nya yang telah tertusuk batu kecilyang teramat tajam. Namun, ayahku hanyalah tinggal Si kepala batu. Bersikeras melawan ibuku yang tak berdaya sedikit pun. Sungguh miris hati ini, kawan. Bagaimana tidak, mendegar ibu yang menangis dan aku hanya bisa diam, menyudut dalam ruangan. Ketakutan.
Berair juga akhirnya mataku, setelah ibuku tertidur karena kalah dalam peperangan ini. Aku mencoba berani untuk mendekati ayah dan membenarkan suatu hal ' Ayah, kasihan ibu yang tak punya saudara disini, beliau hanya menumpang hidup di kampungmu, yah. ' Kataku mengeluarkan nada rendah.

"PERGI SANA ! JANGAN IKUT CAMPUR ! Kau pun tidak bersuku, juga pula tidak beradat, jangan kau ikuti urusan ini. Terbuang ! " Ayahku menggertak, tangannya mengenggam.

Air mata ini terus mengalir, mendengar kata -- kata ayah. Meskipun tak sederas air terjun, namun bisa melukai ke tulang rusuk. Sakit sekali saat ayah bisa mengeluarkan kata -- katanya itu padaku. Kurma itu telah hilang, benar -- benar hilang.

 Angin yang berhembus malam ini, membasahi seluruh tubuh ibu yang masih terisak isak diranjangnya. Aku tak bisa berbuat apa -- apa, kawan. Badanku melemas, untuk mengangkat dagu pun aku sulit. Banyak hujan yang jatuh saat ini.
Namun,sudah hal yang wajar melihat orang miskin beradu hati keras. Tetap, yang menjadi pemenangnya ialah seorang ibu, ia kuat seperti batu yang tak terkikis oleh aliran air sungai. Air mata ibu adalah tiga kali senjata nuklir yang bisa menghancurkan galaksi antariksa ini, kawan.
Aku seperti kerasukan setan,merarau parah ke ayah tentang kemiskinan ini. Ibu sudah biasa menghadapi kegilaanku ini,kadang ia membujukku dengan cerita lucu dikala isak tangisku meredam. Hanya ibu yang mampu mengembalikan senyumku dikala sang badai menerpaku.
Senja datang dengan indah, membawa suasana sedih menjadi tenang. Ibu membawaku ke sebuah atap tinggi yang terdapat di kampungku, bangunan tua bekas penjajahan Belanda. Di lantai paling atas, ibu membawaku ke tepi dekat jendela kaca yang besar dan tak sedikitpun bingkai kayu disananya.

" Apa yang kau lihat, nak ?" ibu menunjuk ke luar jendela kaca itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun