Mohon tunggu...
veni Wp
veni Wp Mohon Tunggu... Jurnalis - seorang yang biasa saja. berjalan di atas kaki sendiri

Menjadi Manusia yang Seutuhnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kawan

4 Juli 2019   22:31 Diperbarui: 4 Juli 2019   22:37 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

-Aku terus menjadi beberapa aku yang tak mengerti inginku-

-Dilla Anadil-

Kehidupan terus berputar, bergerak, dan tidak ada berhentinya. Semua berubah sedikit demi sedikit dalam setiap gerak jarum jam. Berkelana mencari kehidupan yang lain. Suatu tempat yang tak dikenal sebelumnya atau mungkin saja sudah dikenal. Melangkah kedepan kemudian meninggalkan jejak yang tidak mungkin dilupakan.

Aku menatap langit senja yang tidak sempurna. Kesempurnaan hanya mampu dilihat dari satu sisi. Tidak seluruhnya sempurna. Ciptaan adalah kekurangan menyatu satu dengan yang lain. Kekurangan mencoba menjadi kelebihan kemudian sempurna. Ada beberapa kekurangan itu tetap menjadi kurang dan tidak terbentuk kata sempurna. Namun ketulusan kekurangan yang telah menyatu membuat senja terlihat sangat elok.

Langkahku kembali mundur. Menuju ruang lama yang menjadi fondasi dalam hidup. Menatap kedepan dan melangkah kebelakang. Mengumpulkan kertas-kertas dalam setiap jenkal langkah. Dan kemudian kertas itu menjadi sebuah buku. Buku yang nantinya menjadi lembaran makna untuk pegangan. Warna kehidupan mulai berubah menjadi hitam putih.

Bunga-bunga terlihat masih begitu indah di taman ini. Tinggi, memangdang aku di bawahnya. Menatap dalam mencari secercah makna. Tangkainya berduri namun sama-sama indah. Memiliki daya tarik tersendiri dan mampu bersatu. Satu kesatuan yang sebenarnya mampu berdiri sendiri.

Permulaan langkah kaki, sebelum aku berjalan jauh. Terduduk di sebuah taman tak berpenghuni. Kesendirian yang sangat menyenangkan. Bola basket bergulir di kakiku. Deru nafas menggugah kesunyiaan. Menumbuhkan hasrat dalam jiwa. Aku mengambil bola yang begitu bundar. Menghubungkan satu dengan lain menjadi sebuah ruang yang sempurna.

Perempuan itu begitu kelelahan. Matanya menatap ring basket. Terlihat berbicara satu sama lain. Dadanya terlihat naik turun. Mengembalikan pola nafas yang teratur. Terdengar dia bergumam. Tersenyum dalam diam. Aku melangkah mendekatinya. Memantulkan bola yang sempurna itu, namun tidak. Sebuah nyawa bagi perempuan itu. Pantulannya menghasilkan nada-nada. Menyuburkan kesukaan diri.

Matanya menatap dengan indahnya. Tidak ada sesuatu yang menarik darinya selain bola basket. "Dilla, Dilla Anadil." aku mengulurkan jembatan sebuah hubungan kepadanya. Dia mengambil bola basket yang sedang aku genggam. Bola itu masuk ke dalam ring. "Gua Aya."

Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut. Masih bergerak di dalam otak seolah ada penghalang. Aku yang tidak suka banyak bicara. Kurasa dia juga. "Lo, suka basket dari kapan?" mungkin aku akan yang memulai dan menghancurkan batas-batas. Sesuatu yang tidak nyata sebenarnya.

Gadis itu menatap bola yang kini bergerak dalam diam diantara aku dan dia. "Dari SD, lu juga suka?" aku mengangguk, mengiyakan pertanyaanya. "Sekolah dimana?" obrolan mengalir seperti air. Begitu banyak kesamaan antara aku dan Aya. Suatu hubungan yang akan terjalin.

Waktu kini kembali berjalan maju. Meninggalkan beberapa ruang awal dalam permulaan. Keringat membuat sebuah aliran dan bergerak bebas dalam tubuh. Rambut mulai lemas menghadapi terjangan keringat. Suara gemuruh terdengar menyentuh relung jiwa. Roh itu masuk dan telah membuat sekitar hidup.

Tubuh ini duduk ditengah lapangan basket. Memandang tubuh perempuan yang begitu serius memainkan rohnya. Dunia dia tidak lain seputar basket. Sebuah cinta tanpa meminta timbal balik. Ketulusan dalam mencintai membuat aku tidak dapat masuk ke dunianya. Aku dan dia mampu berdiri diatas kaki sendiri.

"Pertandingan tadi lumayan seru, seolah gua sama lo bukan kawan." terlalu berambisi membuat diri berada di titik puncak. Aku hanya memandang dalam diam. Kemandirian membuat aku dan dia menjadi manusia penuh keras. Aku membutuhkan seseorang yang lain dari diriku sendiri.

"Kadang kita lupa, kalau kau dan aku bisa menjadi kita. Ambisi dalam diri masing-masing begitu kuat." mungkin aku akan memulai perjalanan kembali. Langkah mencari kawan yang mampu rasa berbeda. Persamaan membuat aku hidup tanpa berkembang.

Matahari bersinar begitu terik. Membakar lemak dalam tubuh. Namun, dalam sinarnya membuat aku tidak merasakan sendirian sebelum malam menyapa. Kesedihan melandaku, kenyataan bahwa aku tidak dapat memandangnya secara langsung. Terlalu jauh untuk aku jangkau.

Musik mengalun dalam headphone. Kereta melaju dengan cepat menuju statiun selanjutnya. Membawa penumpang dengan berbagai tujuan yang berbeda. Perbedaan membuat manusia-manusia itu menyatu dalam gerbong kereta. Kali pertama aku melihat kau duduk di sudut. Disana kau begitu serius menatap sebuah buku. Menikmati dan mencari makna dalam setiap kata-katanya.

Pintu kereta terbuka, aku mengikuti langkah kakimu. Kau memulai langkah dari kanan, sedangkan aku dari kiri. Pakaian anggunmu membuat aku mengangguminya. Langkahku terhenti, kau menatapku. "Kenapa kamu mengikuti aku?" suara lembutmu menenangkan raga ini. "Boleh kita berkenalan? Aku tahu ini terlalu frontal, tapi hubungan pertemanan harus dimulai kan?" senyum manis terukir di wajah indahmu.

"Tentu boleh, siapa yang melarang?" aku meraih tangannya. Pertalian mulai aku sambung kembali. "Aku Rachel." untuk kesekian kali aku memperkenalkan diri. Kelembutan dalam dirinya membuat aku tenang.

Kami melangkah keluar dari stasiun kereta dan memulai lembar baru. Buku itu terus menarik perhatian kamu. Begitu sakral kalau aku mengganggu. Aku memasangkan sebelah headphone ke telinganya, menyalurkan sebuah rasa dalam kata. "Ini lagu pertemanan, karena sebuah hubungan tidak ada yang tahu." kau terlihat menikmati. Hanya beberapa menit saja. Bahkan sebelum lagu itu selesai, Rachel melepaskannya. "Aku memang suka musik, tapi bukan jenis musik seperti ini."

Sebuah kenyataan, aku menyukai musik pop, Rachel Jazz. Buku adalah teman perjalananya, gitar adalah benda mati kesukaanku. Kau begitu lembut, aku sangat keras kepala. Semua dimulai dari perbedaan. Coretan tinta diatss kertas putih kembali menghasilkan kata-kata.

Aku melangkahkan kaki menuju dunia yang tidak pernah terpikirkan. Dunia yang begitu mempesona dengan dia yang menghuni. Kau seperti angin yang berhembus di musim semi. Tak tersentuh namun begitu nyata aku rasakan. Kelembutanmu mampu memberikan kenyamanan dalam kerasnya hidup.

"Gila, kalau bawa motor yang bener dong." aku berteriak memaki pengendara motor. "Sudah, ga usah teriak-teriak mungkin dia lagi buru-buru." kau menenangkan sikap emosiku. "Tapi Hel, dia hampir nabrak kamu." senyumanmu membuat aku meraskan kedamaian. Membuat aku merasakan hidup yang lain dari sebelumnya.

Setiap langkah dalam bab ini selalu diwarnai oleh senyuman tulus dari Rachel. Aku seperti bergantung dengan sifatnya yang lembut, selalu mengayomi. Melengkapi setiap keadaan diriku yang tidak mampu aku kontrol. Satu hari aku tidak menjumpai wajahnya yang begitu sejuk. Kini, rindu mulai tumbuh karena tidak mampu berpihak pada jiwa.

"Kamu dimana? Aku udah di depan kampus kamu."

"Bentar lagi keluar, kamu tunggu dulu ya, kita ke stasiun bareng." aku menutup telepon tanpa mengucapkan apa-apa. Kebiasaan buruk memang, tapi Rachel begitu mengerti. Langit begitu cerah, warna biru tercipta disana.

Rachel berjalan mendekat, angin menerpa lembut rambutnya. Senyum terukir di wajahnya. Aku bahkan bisa merasakan sikap positif yang selalu dia pancarkan. Tidak ada percakapan dalam perjalanan kami. Hanya langkah yang membawa kami menuju lembar berikutnya.

"Kamu mau beli apa emangnya?" dia mengajak aku ke salah pusat perbelanjaan. Tempat yang bahkan sangat tidak aku sukai. "Buku sama ga tahu nanti."

Buku selalu menjadi utama dihidupnya. Hampir tiga hari sekali dia berganti judul buku. Aku bahkan tidak menyukai semua benda-benda itu. Hanya sikapnya saja yang mampu membuat aku menarik diri untuk rela menemaninya. Detingan lagu senada dengan langkah kakiku. Dunia hanya ada aku dan suara musik. Rachel melepaskan headpone dari telingaku. "Aku ga suka kamu dengerin musik, padahal aku didekatmu." baiklah, untuk kesekian kali aku menurutinya.

Aku dan Rachel hampir tiap hari tidak ketemu. Sampai aku tiba di taman. Menatap langit malam, menemui sang bintang yang begitu jauh di atas. Jiwaku mulai tidak tenang. Memahami setiap roh dalam pertemanan aku dengan Rachel. Roh yang membuat aku bertahan dengan segala perbedaan yang ada.

Sifatnya yang membuat aku terbuai. Aku seperti berada di titik menjadi manusia tidak tahu diri. Dia berteman karena ketulusan tanpa melihat siapa aku. Aku berteman dengan sifat yang dia miliki, bukan dengan diri Rachel yang sesungguhnya. Perbedaan hanya membuat aku bergantung dengan dia.

Aku mengakhiri kembali perjalanan. Memulai sebuah kehidupan yang lain. Mencari kawan yang memang menguntungkan atau memberikan sebuah kebaikan. Aku hanya akan mengikuti arus hidup, tidak menginginkan sesuatu atas persamaan atau perbedaan. Banyak jalan yang bisa aku tempuh, sampai aku menemukan akhir dari segalanya.

Lembar baru aku mulai lagi dengan kata pembuka. Malam semakin larut, udara dingin memeluk tubuhku erat. Bulan bersinar menerangi gelapnya malam. Menemani bintang membuat bumi bewarna dalam gelap. Jalanan semakin sepi. Halte bus sudah tidak berpenghuni. Hanya ada diriku sendiri.

Seorang perempuan melangkah dengan tidak beraturan. Aku hanya menatapnya, tidak ada niatan untuk membantu. Perempuan itu semakin mendekat dan duduk disebelahku. Dia meraih pergelangan tangan. "Tolong aku, bawa aku kerumah kamu."

"Aku akan menolong jika itu bermanfaat untukku." kau merancu tidak jelas. Beban hidup begitu terlihat di mata merah itu. "Aku akan memberikan apa saja yang kamu mau." begitu rendah kau memohon seperti itu. Baiklah, aku akan membawa kamu ke dalam kehidupanku yang begitu keras. Aku memakaikan hoodie ke tubuhnya. "Bagaimana mungkin kau memakai baju seperti ini?" dia hanya memberikan tatapan yang bahkan aku bisa mengerti maksudnya.

Kehidupan membawa aku ke sudut ruang untuk menata hati. Selaksa relung hati melepaskan syair yang meredakan jiwa. Dia membawa suasana baru dalam hidupku. Sebuah pertemanan karena ada suatu keuntungan yang aku dapatkan. Kau memberikan apa yang aku butuhkan dan aku inginkan. Dua hal yang berbeda mampu kau berikan semuanya.

Kau adalah dua hal yang berbeda sekaligus sama. Aku tidak mampu mendeskripsikan dirimu. Langkah aku begitu lamban dan cepat dalam satu waktu. Kau mengajarkan kenyataan dalam hidup. Manis pahitnya dunia.

Langkahku terhenti menatap dirimu diujung jalan. Lambaian tangan dengan kata ceria terpatri di wajahmu. Kau berlari kecil menghampiri diriku. Pencarian jiwa ini telah berhenti tepat di semua yang ada padanya. "Lu lama banget dah. Cape gue nunggunya." kau memang manusia yang unik. Kejujuran membuat kamu terlihat begitu polos.

"Lebay banget, baru juga telat beberapa menit."

"Apa lu bilang? Setiap menit gue berharga Dill, bukan hanya nunggui lu. Kurangi kebiasaan telat itu, coba lu pikir kalau janjian sama pembeli. Kepercayaan sulit di dapet." Aurel menarik telinga kananku. Menasihati setiap kelakuanku.

"Lepasin Rel, sakit nih telinga gue." Aurel melepaskan telingaku. "Nyesel gue dulu nolong lu." dia menatap aku dengan tatapan membunuh. "Bercanda atuh, jangan kaya gitu, takut gue."

Aku kini melangkah ke depan mengukir sebuah kenangan dalam hubungan pertemanan yang sesungguhnya. Pertemanan yang selama ini aku cari. Aku telah menemukan apa arti pertemanan dalam sebuah kebaikan. Aurel, perempuan yang membuat aku mengerti akan tingkatan tertinggi dalam pertemanan. Bukan lagi soal perut ke bawah atau di dada saja. Melainkan kebaikan secara rasional.

"Gue ingin menjadi senja, begitu indah. Banyak orang menyukainya."

"Jangan Rel, senja hanya sebentar dan akan hilang dalam ingatan manusia."

"Terus gue cocoknya jadi apa dah?" aku memikirkan kata yang tepat untuk dia. Aurel begitu penasaran menunggu jawaban yang akan keluar. "Upik abu." dan berakhir dengan pukulan di kepalaku. Tawa tercipta dalam wajahku. Ketulusan telah aku berikan seutuhnya untuknya.

"Orang-orang ngira kita pacaran ga ya?" tanyaku dengan wajah yang serius namun tampak bercanda. Dia menatapku dengan wajah datar, tidak habis pikir dengan apa yang baru saja aku katakan.

Perjalanan hatiku dalam menemukan arti kawan sesungguhnya telah berhenti. Kini, aku hanya menikmati setiap langkah mengukir kenangan dengan dia. Pertemuan yang bahkan tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Menjalankan dengan apa adanya, tidak mengharapkan sesuatu yang lebih dalam sebuah hubungan. Tiba saat mengerti arti ketulusan dan kejujuran dalam rajutan tali jiwaku dan jiwanya.

22/06/2019

-VEDA-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun