Mohon tunggu...
veni Wp
veni Wp Mohon Tunggu... Jurnalis - seorang yang biasa saja. berjalan di atas kaki sendiri

Menjadi Manusia yang Seutuhnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kawan

4 Juli 2019   22:31 Diperbarui: 4 Juli 2019   22:37 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Gila, kalau bawa motor yang bener dong." aku berteriak memaki pengendara motor. "Sudah, ga usah teriak-teriak mungkin dia lagi buru-buru." kau menenangkan sikap emosiku. "Tapi Hel, dia hampir nabrak kamu." senyumanmu membuat aku meraskan kedamaian. Membuat aku merasakan hidup yang lain dari sebelumnya.

Setiap langkah dalam bab ini selalu diwarnai oleh senyuman tulus dari Rachel. Aku seperti bergantung dengan sifatnya yang lembut, selalu mengayomi. Melengkapi setiap keadaan diriku yang tidak mampu aku kontrol. Satu hari aku tidak menjumpai wajahnya yang begitu sejuk. Kini, rindu mulai tumbuh karena tidak mampu berpihak pada jiwa.

"Kamu dimana? Aku udah di depan kampus kamu."

"Bentar lagi keluar, kamu tunggu dulu ya, kita ke stasiun bareng." aku menutup telepon tanpa mengucapkan apa-apa. Kebiasaan buruk memang, tapi Rachel begitu mengerti. Langit begitu cerah, warna biru tercipta disana.

Rachel berjalan mendekat, angin menerpa lembut rambutnya. Senyum terukir di wajahnya. Aku bahkan bisa merasakan sikap positif yang selalu dia pancarkan. Tidak ada percakapan dalam perjalanan kami. Hanya langkah yang membawa kami menuju lembar berikutnya.

"Kamu mau beli apa emangnya?" dia mengajak aku ke salah pusat perbelanjaan. Tempat yang bahkan sangat tidak aku sukai. "Buku sama ga tahu nanti."

Buku selalu menjadi utama dihidupnya. Hampir tiga hari sekali dia berganti judul buku. Aku bahkan tidak menyukai semua benda-benda itu. Hanya sikapnya saja yang mampu membuat aku menarik diri untuk rela menemaninya. Detingan lagu senada dengan langkah kakiku. Dunia hanya ada aku dan suara musik. Rachel melepaskan headpone dari telingaku. "Aku ga suka kamu dengerin musik, padahal aku didekatmu." baiklah, untuk kesekian kali aku menurutinya.

Aku dan Rachel hampir tiap hari tidak ketemu. Sampai aku tiba di taman. Menatap langit malam, menemui sang bintang yang begitu jauh di atas. Jiwaku mulai tidak tenang. Memahami setiap roh dalam pertemanan aku dengan Rachel. Roh yang membuat aku bertahan dengan segala perbedaan yang ada.

Sifatnya yang membuat aku terbuai. Aku seperti berada di titik menjadi manusia tidak tahu diri. Dia berteman karena ketulusan tanpa melihat siapa aku. Aku berteman dengan sifat yang dia miliki, bukan dengan diri Rachel yang sesungguhnya. Perbedaan hanya membuat aku bergantung dengan dia.

Aku mengakhiri kembali perjalanan. Memulai sebuah kehidupan yang lain. Mencari kawan yang memang menguntungkan atau memberikan sebuah kebaikan. Aku hanya akan mengikuti arus hidup, tidak menginginkan sesuatu atas persamaan atau perbedaan. Banyak jalan yang bisa aku tempuh, sampai aku menemukan akhir dari segalanya.

Lembar baru aku mulai lagi dengan kata pembuka. Malam semakin larut, udara dingin memeluk tubuhku erat. Bulan bersinar menerangi gelapnya malam. Menemani bintang membuat bumi bewarna dalam gelap. Jalanan semakin sepi. Halte bus sudah tidak berpenghuni. Hanya ada diriku sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun