Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sindrom Kekuasaan Jelang Pemilu 2024

4 Oktober 2021   21:53 Diperbarui: 4 Oktober 2021   22:42 2294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : wonderfulmind.net

Jadi gini, nih. Susah amat nih jari mengetik. Salah atau benar, menurut opini saya pribadi. "bisingnya" masalah politik ini sebenarnya lumrah, namun menurut saya yang mungkin sedikit mengemuka dan terang-terangan.  Menandakan wajah baru dunia percaturan politik Indonesia, selepas reformasi, ditandai ketika pasca pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pemilu Serentak (Pilpres dan Pileg) tahun 2019. 

Ya, salah satunya (dapat sebilan), tentang politik identitas yang juga diadopsi di pilkada serentak di tahun-tahun setelahnya. Tapi saya gak mau masuk terlalu jauh dalam masalah ini. Biarlah, politik memang dinamis kok, penuh intrik, kontrovesial,  kejutan, "pertikaian", "perselingkuhan".  Sekaligus jujur saja kadang kurang elok,  "tak sedap" alias "dekil" alias kotor. Tapi tetap saja wajar sejauh tak bersentuhan pada pelanggaran hukum, itulah politik.

Nah terkait judul di atas, tak lain kepengen bangsa ini, khususnya bagi mereka memiliki hak pilih semoga semakin cerdas menjelang dan saat pelaksanaan pesta demokrasi, saya optimis,  untuk bersama-sama menentukan pemimpin yang sebenarnya diinginkan rakyat dan menjadi pelayan rakat sesungguhnya. Tentunya hal ini menjadi harapan semua orang selama ini bukan? Biarlah yang pasrah.

Untuk mememiliki pedoman dan wawasan yang lebih dalam, marilah kita renungkan wejangan dan pemikiran tokoh Idola saya, Almarhum Bapak Bangsa, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A, yang kita disapa Cak Nur. Melalui bukunya  yang berjudul Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi (Kumpulan dialog Jum'at di Paramadina), penerbit Dian Rakyat, Jakarta.

Hal pertama yang saya garis bahwai adalah, menurut Cak Nur, situasi politik Indonesia pada saat itu, nampak jauh dari cita-cita reformasi. Lanjut cak nur, mereka yang dulu kelihatan begitu reformis, kini justru ikut-ikutan memburu kekuasaan. Nah Fenomena semacam ini dalam ranah politik ini menurur cak Nur  disebut sebagai sindrom kekuasaan.

Yuk, mari kita renungi dan identifikasi sebagai pedoman yang penting jangan sampai beli kucing dalam karung, bahkan penjabaran sindrom kekuasaan oleh Cak Nur ini, carur marut, pergolakan politik ditanah air, saya pikir bisa diidentifikasi.

Post-Power Syndrome

Saya gak akan mengambil definisi yang bertaburan tentang istilah ini, namun saya menggunakan pandangan Cak nur, bahwa jenis sindrom kekuasaan ini untuk menggambarkan  seseorang yang berprilaku aneh-aneh. Setelah tidak lagi memegang jabatan kekuasaan, termasuk misalnya gemar mengkritik,  pemerintahan yang kadang malah nampak berlebihan dan sok reformis.

Nah siapa saja mereka? Anda pasti dapat mengidentifikasi mereka. Dan ada kecendrungan ketika "rezim" (pake istilah ini saja ya) berakhir, dia memiliki napsu untuk berada pada lingkaran kekuasaaan di "rezim" yang baru. 

Dan jangan salah, entah memanfaatkan dan dimanfaatkan, berupaya bersimbiosis membentuk kelompok tanpa bentuk atau sedikit berbentuk atau emang jelas ada bentuknya, sebagai pendukung loyalnya. Kadang cenderung provocator. 

Entah nanti terpakai nanti setelah hasil pemilu 2024, itu urusan nanti, kita gak tau kok. Tapi kalo ada kecendrungan melanggar peraturan perundang-undangan, sebagai hukum positif di negeri ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun