Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sindrom Kekuasaan Jelang Pemilu 2024

4 Oktober 2021   21:53 Diperbarui: 4 Oktober 2021   22:42 2294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : wonderfulmind.net

Lha kok malah masuk ke genre politik? Ya kan blogger aka penuluis sekalipun ada embel-embelnya. Ya boleh dong, sejauh gak melanggar term and condition atau content privacy kompasiana.com yang tentu udah include syarat kepatuhan kepada hukum, norma dan peraturan-perundangan yang berlaku di NKRI. 

Buset dah....belon nulis sudah meng-claim gak bakal melanggar, haha. Dibantai pembaca baru tau! Resiko.

Udah ah, basa-basinya.

Kalo tulisan ini dianggap kepengen ikut-ikutan membahas dan memanas-manasi persiapan Pemilu yang masih 2 tahun lagi, ngapain wong beropini menggunakan hak konstitusi masak gak boleh? Lagian saya siapa coba, gak ngaruh lagi.

Lha jangankan saya, baik parpol dan para calon yang "ngebet" udah pada pemanasan bahkan kurang jotos-jotosan saja kan?  Malah udah mulai sejak lama kok ya, tul gak?. 

Apalagi dipanas-panasi sama media online  yang rupa-rupa warnanya dan tentusaja media sosial.  Ya nilai saja sendiri. Jadi tulisan ini, Malah udah telat kali, tapi baca dulu sampai selesai ya.

Saya gak terlalu ngikuti persiapan KPU untuk Pemilu 2024, Pilkada serentak. Begitu pula gak terlalu mau membahas RUU pemilu, atau tempatnya revisi UU Pemilu, yang sebenarnya gak masuk Program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2021, entah kapan disahkan. Atau malah sudah mendahului Prolegnas? Koreksi kalau sudah ya

Begitu juga, sebenarnya gak terlalu ngikuti banget berita terkait persoalan politik di tanah air ini dengan serius, baik daerah maupun di pusat. 

Tapi karena apa lacur gabung di beberapa WAG (WA Group), banyak mendapat tautan "heboh" terkait dengan masalah politik dan senada, dan kadang sering menikmati perdebatan yang seru dimana-mana, mau WAG, sosmed, bahkan video-video "panas" (bukan X ya) di kanal-kanal youtube yang bertaburan. 

Lebih dari itu, standar-standar saja lah, ada waktu ya  ngebaca media mainstream online (tervalidasi) dan menikmati dengan senyum dan menambah kerutan di dahi ketika menyaksikan perdebatan baik di salauran berita  TV, atau siaran tunda TV  dan tentunya ulasan para politikus melalui kanalnya di youtue.com, yang rasanya "nano nano"

Jadi gini, nih. Susah amat nih jari mengetik. Salah atau benar, menurut opini saya pribadi. "bisingnya" masalah politik ini sebenarnya lumrah, namun menurut saya yang mungkin sedikit mengemuka dan terang-terangan.  Menandakan wajah baru dunia percaturan politik Indonesia, selepas reformasi, ditandai ketika pasca pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pemilu Serentak (Pilpres dan Pileg) tahun 2019. 

Ya, salah satunya (dapat sebilan), tentang politik identitas yang juga diadopsi di pilkada serentak di tahun-tahun setelahnya. Tapi saya gak mau masuk terlalu jauh dalam masalah ini. Biarlah, politik memang dinamis kok, penuh intrik, kontrovesial,  kejutan, "pertikaian", "perselingkuhan".  Sekaligus jujur saja kadang kurang elok,  "tak sedap" alias "dekil" alias kotor. Tapi tetap saja wajar sejauh tak bersentuhan pada pelanggaran hukum, itulah politik.

Nah terkait judul di atas, tak lain kepengen bangsa ini, khususnya bagi mereka memiliki hak pilih semoga semakin cerdas menjelang dan saat pelaksanaan pesta demokrasi, saya optimis,  untuk bersama-sama menentukan pemimpin yang sebenarnya diinginkan rakyat dan menjadi pelayan rakat sesungguhnya. Tentunya hal ini menjadi harapan semua orang selama ini bukan? Biarlah yang pasrah.

Untuk mememiliki pedoman dan wawasan yang lebih dalam, marilah kita renungkan wejangan dan pemikiran tokoh Idola saya, Almarhum Bapak Bangsa, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A, yang kita disapa Cak Nur. Melalui bukunya  yang berjudul Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi (Kumpulan dialog Jum'at di Paramadina), penerbit Dian Rakyat, Jakarta.

Hal pertama yang saya garis bahwai adalah, menurut Cak Nur, situasi politik Indonesia pada saat itu, nampak jauh dari cita-cita reformasi. Lanjut cak nur, mereka yang dulu kelihatan begitu reformis, kini justru ikut-ikutan memburu kekuasaan. Nah Fenomena semacam ini dalam ranah politik ini menurur cak Nur  disebut sebagai sindrom kekuasaan.

Yuk, mari kita renungi dan identifikasi sebagai pedoman yang penting jangan sampai beli kucing dalam karung, bahkan penjabaran sindrom kekuasaan oleh Cak Nur ini, carur marut, pergolakan politik ditanah air, saya pikir bisa diidentifikasi.

Post-Power Syndrome

Saya gak akan mengambil definisi yang bertaburan tentang istilah ini, namun saya menggunakan pandangan Cak nur, bahwa jenis sindrom kekuasaan ini untuk menggambarkan  seseorang yang berprilaku aneh-aneh. Setelah tidak lagi memegang jabatan kekuasaan, termasuk misalnya gemar mengkritik,  pemerintahan yang kadang malah nampak berlebihan dan sok reformis.

Nah siapa saja mereka? Anda pasti dapat mengidentifikasi mereka. Dan ada kecendrungan ketika "rezim" (pake istilah ini saja ya) berakhir, dia memiliki napsu untuk berada pada lingkaran kekuasaaan di "rezim" yang baru. 

Dan jangan salah, entah memanfaatkan dan dimanfaatkan, berupaya bersimbiosis membentuk kelompok tanpa bentuk atau sedikit berbentuk atau emang jelas ada bentuknya, sebagai pendukung loyalnya. Kadang cenderung provocator. 

Entah nanti terpakai nanti setelah hasil pemilu 2024, itu urusan nanti, kita gak tau kok. Tapi kalo ada kecendrungan melanggar peraturan perundang-undangan, sebagai hukum positif di negeri ini. 

Ya boleh ditindak  tapi terserah penguasa yang punya kalkulator politik juga, atau tunggu tenggelam sendiri nantinya. Tapi jika nanti berhasil mewujudkan omelan dan ocehannya sehingga digadang-gadang masuk dalam lingkaran kekuasaan baru, atau bahkan kembali memimpin, ya syukurlah, panjang umur. Selamat!

Hal ini paling tidak dapat dilihat selama masa pandemic Covid-19, yang harusnya semua bersatu padu. Waduh... sang pimpinan Negara yang udah kelihatan capek (maaf) hingga kurus kering. Jangakan beliau di kritik dengan solusi yang terbaik, malah diistilahkan sama dengan penghuni kebun binatang. 

Nah ini udah keterlaluan.  Hal seperti ini kebanyakan terjadi di tataran elit lho ya, kalo di tataran rakyat sebagai pengikut setia kelompok sindorom kekuasan ini, waduh.... Lebih heboh lagi. Saya sendiri gak punya istilah khusus untuk mereka. Tapi menurut saya sah-sah saja lah...sekalipun sebagai penggembira.

Eh jangan salah, incarannya bukan saja dipusat kekuasaan lho tapi di daerah dengan kekuasaan otonomi yang semakin menguat, mungkin istilahnya NKRI almbat laun akan diwacanakan baru,  apalagi lewat Dana Desa  dan program desa lainnya, Raja "minyak" kecil justeru ada di desa, dan disitu pula bersemayam para penyamun dikut serta politik busuk dibonceng. ini peraaya saya saja lho ya...gak menigdentikan apalagi tunjuk hidung.

Ok, lanjut, yang berikut.

Pre-Power Syndrome

Menurut Cak Nur sindrom penyakit pra-kuasa (Pre-Power Syndrome) ini. Oleh Bapak Bangsa ini,  diistilahkan untuk orang yang sebelum berkuasa begitu gemar memromosikan diri untuk meraih kekuasaan, atau ada yang mengistilahkan mereka pemburu kekuasaan (boleh juga).

Menurut ada gak kelompok ini dalam carut marut dunia politik di Indonesia ada gak? Kalo menurut saya ada, dan banyak!. Baik yang sedang duduk di lembaga eksekutif, yudikatif aplagi legislatif. 

Di luar pengelompokan kekuasaan ini ada juga lho ya, Akademisi  dan pengamat "karbidatan", TNI/Polri aktif  bahkan yang sudah purnawirawan dan tentunya  termasuk yang mentokohkan dirinya atau ditokohkan sebagai tokoh masyarakat. 

Mau dijejerin namanya satu persatu? Gak ah. Biar saja anda yang menyimpulkan.  Dan bila, di daerah, biarlah yang di masyarakat di daerah yang menyimpulkan siapa mereka ini.

Yang pasti, menurut pendapat saya, mereka paling sedikit berupaya mempertahankan posisi dan kedudukannya. Khususnya yang disebut wakil rakyat ini. Bahkan sudah pasang ancang-ancang, mulai dari anggota DPRD menjadi Anggota DPR atau DPD, selaian itu gak bisa dipungkiri tertarik juga dengan sebagai pimpinan Daerah (eksekutif).

Pokoknya lagagknya kebaca kalo ngebacot apalagi di depan kamera, "seng ada lawan".

In-Power Syndrome 

Sindrom kekuasaan ini oleh Cak Nur, digambaran bagikan  orang yang sebelum berkuasa perilaku dan dan lewat ucapannya seperti mencemirkan dirinya sebagai 'orang bener' atau jangan-jangan paling benar, tapi ketika berkuasa ia mulai lupa diri dan menyolok dari kelompok berpenyakit ini, ia akan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasannya.

Rasanya sudah menjadi tradisi politik, sekalipun tidak kseluruhan namun kecendrungan Petahana terpilih lagi di periode berikutnya sangat berpeluang besar. Ya, ngaku, diakui atau tidak, selama menjabat pada periode pertama, ia berupaya dengan segala cara, entah dengan menggunakan fasilitas dukungan finansial negara, dapat dianggap merupakan hasil perjuangannya atau malah ada yang bernai ngaku keluar dari kocek sendiri. 

Terlalu mahal ongkos politik, terang saja, kelompok ini akan berupaya "kembali modal" di periode berikutnya, kalo ndak cukup ya sanak saudara lah yang diperjuangkan melanjutkan tapuk pimpinan atau jabatan untuk ongkos politik ini, malah bila perlu mencari keuntungan financial sebesar-besarnya dengan seribu cara yang memang oleh KPK sendiri akan sulit menjerat jika hanya bermodal tangkap tangan. 

Nah ini juga bahaya. Dan kalau diperluas sedikit, bisa kecipratan kepada sanak keluarganya ketika berlaga di pemilu. Ya... mirip-mirip politik dynasty lah.

Terkait upaya membangun politik dinasti, istilah Aji mumpung termasuk halal dalam politik, dengan berbagai strategi tentunya. Ntar deh kita bahas dituisan tersendiri, seruu juga topik kalo menyinggung hal ini. 

Harapan

Kalo sub judulnya harapan, kok seolah-olah mau nguliahin ya. Tapi ya ini kan opini saya dimana melihat, mendengar dan membaca percaturan dunia politik di tanah air jelang Pemilu (Pilpres dan Pileg/DPD) Serentak 2024. Dan tentunya merenungkan apa yang ditulis Cak Nur.

Tapi. Ya udah, saya kutip penekanan dari Cak Nur deh. Menurut beliau, yang jelas, apapun jenisnya, penyakit tersebut bertujuan menggerogoti individu dengan iming-iming kekuasaan, hingga pada akhirnya, dia menjadi 'budak' atau tawanan kekuasaan.

Apalagi sekarang? Ditambah lagi dengan, maraknya hate speech, negative speech,  immoral speech, serta money politics yang semakin berani dan terang-terangan, serta terlebih lagi politik  yang dimainkanya  melalui "orchestra" politik identitas maka tawanan kekuasaan ini, terpenjara dan seolah-olah tidak bakal meloloskan diri karena tidak memiliki pilihan lain. Aplagi kalau sudah tergolong militan.

Nah, para pembaca budiman yang belum tentu ngebaca tulisan saya sampai selesai bahkan gak ngerti. Yuk, saya mengajak, semua lembaga swadaya masyarakat yang independent dan gak mudah kemasukan angin, mulai bergerak dalam menampilkan sosok yang mulai ramai diperbincangkan baik Nasional maupun dalam daerah, baik profil, track record bahkan kepatutan pada hukum dan perundangan yang berlaku, ya minimal melaporkan gak harta kekayaan saat menempati jabatan politik, patuh membayar pajak gak?

Melalui perkembangan teknologi semua bisa dilakukan dengan tujuan, pedoman dan pengelolaan yang benar-benar transparan, professional dan independent.

Terutama para generasi muda yang menurut saya cerdas, sekalipun masih banyak yang gak tertarik politik. Tapi partisipasi anda dalam mewujudkan Indonesia yang jauh lebih sejahtera disegala bidang dan memiliki pemimpin yang mengayomi dan menjadi pelayanan rakyat. 

Semoga target menuju Indonesia Emas 2045, bukanlah wacana semata. Tapi dapat terwujud, sekalipun akan membayar harga yang mahal untuk mencapainya, baik perorangan atau kelompok.

Sampai di sini, lebih kurang, selanjutnya semoga menjadi perenungan bersama

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun