Mohon tunggu...
Fauzan Romadlon
Fauzan Romadlon Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Belajar Berkontribusi untuk Humanitas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mendefinisikan Ulang Pola Pembelajaran Daring, Antara Sharing Knowledge dan Transfer Etika

30 November 2020   11:53 Diperbarui: 30 November 2020   12:16 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia sedang mengalami krisis kesehatan berupa wabah virus covid-19 atau yang akrab disebut virus corona. Menurut yang diberitakan dari berbagai sumber, virus ini berawal dari Wuhan, China dan sekarang telah mewabah dan menyebar di seluruh penjuru dunia. Di Indonesia sendiri, terdapat sebuah keunikan. Hal tersebut dikuatkan dengan narasi-narasi tidak ilmiah yang disampaikan oleh pimpinan negara baik itu Menteri hingga seorang Wakil Presiden yang menyatakan bahwa virus corona kebal terhadap bangsa Indonesia. 

Narasi tidak ilmiah tersebut antara lain ucapan Menko Perekonomian yang menyatakan bahwa Indonesia mempunyai perizinan yang berbelit-belit sehingga corona tidak bisa masuk Indonesia. Ada lagi Menteri Perhubungan yang menyatakan bahwa corona tidak masuk Indonesia karena masyarakat Indonesia doyan nasi kucing. Ditambah lagi pernyataan Wakil Presiden yang mengatakan bahwa berkat doa para kiai dan bacaan qunut, corona menyingkir dari Indonesia. 

Parahnya lagi, pada tanggal 26 Februari 2020, Presiden menggelontorkan dana 72 miliar rupiah untuk mendorong industri pariwisata dan mengaktifkan buzzer media sosial untuk menangkal ketakutan warga akibat corona. Hal ini sangat bertentangan dengan negara-negara tetangga dimana mereka telah preventif untuk menutup pintu-pintu masuk baik bandara udara maupun pelabuhan laut sebagai titik utama mobilitas manusia dalam usaha pencegahan virus corona. Sebelumnya, pada tanggal 11 Februari 2020 peneliti Harvard sudah memprediksi bahwa virus ini sudah masuk ke Indonesia tetapi para pemimpin masih belum tersentil dengan pernyataan ilmiah tersebut bahkan terlihat mengacuhkan.

Hari yang dinanti pun tiba, tepat tanggal 2 Maret tahun 2020 Indonesia digemparkan dengan berita bahwa ada warganya yang telah terinfeksi virus corona. Pemerintah mengkonfirmasi kasus pertama infeksi virus corona di Indonesia. Pemerintah sendiri seolah merasa gelagapan dan merasa belum siap dengan apa yang sedang dihadapi. 

Pada prosesnya, pemerintah menunjuk juru bicara dari Kementerian Kesehatan untuk mengungumkan data orang yang terinfeksi virus meliputi yang sembuh, meninggal, dan dalam perawatan setiap harinya. Akhir-akhir ini pemerintah baru saja membuka data secara confidence jumlah orang yang terinfeksi meliputi data Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Dalam Pengawasan (ODP), data orang yang meninggal, sembuh, dan terinfeksi baru. 

Uniknya, data tersebut hanyalah data statistik saja, yang membuat orang semakin panik tanpa ada arahan yang jelas hingga ke akar rumput bahkan tidak sedikit yang mengacuhkan. Pemerintah seolah melupakan bahwa kasus corona ini membutuhkan informasi yang bersumber dari data yang terintegrasi, sehingga pencegahan dapat dilakukan dan penyebarannya dapat dikendalikan. Di sisi lain, pemerintah menghadapi kendala terhambatnya pertumbuhan ekonomi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal, beberapa kenaikan harga pangan, dan nilai tukar rupiah yang semakin lemah terhadap dollar Amerika Serikat.

Akhirnya, semua elemen kehidupan masyarakat Indonesia terimbas virus corona ini. Semua elemen kehidupan bangsa yang meliputi kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan politik. 

Elemen kehidupan yang tertata sedemikian rupa sehingga dipaksa untuk “berpuasa” selama masa krisis corona ini. Puasa di sini dapat diartikan sebuah perilaku atau pekerjaan menahan ditengah kebiasaan menumpahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar akan ditemukan dengan sebuah tesis ekonomi-industri-konsumsi yang mengajak manusia untuk melampiaskan, sementara puasa itu sendiri mengajak untuk menahan dan mengendalikan (Nadjib, 2012).

Jelas sekali dilihat, awalnya banyak orang yang suka nongkrong di kafe atau di tempat kerumunan, sekarang mereka dipaksa berpuasa yaitu dengan berdiam di rumah. Bagi yang keseharian berangkat ke kantor, dipaksa berpuasa yaitu bekerja dari rumah. Bagi yang berdagang keliling pun dipaksa berpuasa yaitu sementara waktu untuk berdagang di rumah. 

Resepsi pernikahan saja yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, banyak yang terpaksa untuk me-reschedule tanggal resepsinya agar tidak menimbulkan kerumunan massa. Lebih lanjut lagi, aktifitas peribadatan yang biasanya ditunjukkan dengan berkumpulnya massa yang banyak di sebuah rumah ibadah, dipaksa untuk diselenggaraan di rumah saja. Semuanya itu bertujuan untuk mengurangi dan preventif terhadap penyebaran virus corona.

Hal ini pula terjadi pada dunia pendidikan. Proses belajar mengajar dipaksa berpuasa yaitu dilakukan secara daring dari rumah masing-masing. Guru atau dosen (pendidik) dan siswa atau mahasiswa (peserta didik) dipaksa untuk melakukan kegiatan belajar mengajar atau perkuliahan dari rumah masing-masing. Faktanya, terdapat ketidaksiapan baik fisik, infrastruktur maupun psikologis sehingga kegiatan tersebut hanyalah pemberian tugas kepada peserta didik dan meminta mereka mengumpulkan dalam kurun waktu tertentu. Tugas memang sebuah kewajaran dalam proses pemebelajaran, akan tetapi akan menjadi tidak wajar bila dipaksakan demi mengejar sebuah absensi pertemuan atau perkuliahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun