"Ini ada apa lagi?" Saridin heran.
"Aku ditinggalkan, Pak. Anakku dibawa paksa oleh ayah dan neneknya." Kembali tangisnya pecah. Sesenggukan.
"Kemana mereka?"
"Entahlah. Kami diusir oleh pemilik kontrakan karena menunggak pembayaran lima bulan."
"Sudahlah. Mudah-mudahan mereka menyayangi anakmu."
Maryati mengucek-ngucek matanya.
Sejurus kemudian Saridin teringat soal uang yang ditagih besannya. "Lantas, kau tahu, uang apa yang mertuamu tagih kepada kami?"
"Sebenarnya...." Dia berat mengatakannya, tapi kemudian dikatakan juga. "Sebenarnya yang ditagih itu uang biaya perkawinan. Itu kan sudah sewajarnya pihak laki-laki menyerahkan biaya."
Saridin jengah, merasa aneh. "Mana ada orang meminta kembali uang serahan pernikahan yang telah diberikannya kepada pihak perempuan, terlebih kedua mempelai masih berstatus suami-istri. Sungguh ini ujian  yang nyata." Saridin menepuk kening dengan keras seakan ada nyamuk yang dibunuhnya. Â
 ***
Lima bulan berlalu. Secara tak terduga tiba-tiba muncullah sang cucu digendong bapaknya. Saridin senang. Maryati pun menyambut anaknya dengan sukacita. Diciuminya anak semata wayangnya. Rendi, lelaki tengik yang membawa anak itu, seketika meminta maaf kepada Maryati juga kepada Saridin. Namun kekesalan membuat keduanya bersikap hambar. Â