Langit abu-abu siang itu seperti menggambarkan isi kepala Rafa. Murung. Gelisah. Ia duduk sendirian di bangku taman sekolah, tas masih di punggung, namun niat pulang seperti hilang entah ke mana.
Pak Amar, guru PPKn yang terkenal ramah tapi tegas, sedang berjalan ke arah ruang guru ketika melihatnya. Ia berbelok dan menghampiri Rafa.
"Rafa? Tumben belum pulang?"
Rafa menoleh pelan. "Lagi pengin sendiri aja, Pak."
"Kalau sendiri tapi tetap ditemenin, boleh?"
Rafa mengangguk lalu menggeser duduknya, memberi ruang pada Pak Amar. Pak Amar pun duduk di sebelahnya. Angin berhembus, dedaunan jatuh pelan ke tanah, menambah suasana hening yang ganjil.
"Kayaknya ada yang membuatmu malas pulang?" Pak Amar langsung memancing.
"Bapak bisa jaga rahasia, gak?" tanya Rafa.
"Insya Allah," jawab Pak Amar dengan nada meyakinkan.
Rafa menghela napas panjang. "Aku tuh... ngerasa capek, Pak. Belajar udah mati-matian, tapi nilai tetap jelek. Di rumah juga... apa-apa salah. Dibilang kurang bantu, kurang peka. Temen makin hari kayaknya makin menjauh. Aku ngerasa... gagal."
Pak Amar menatap wajah Rafa yang suram. "Kamu tahu gak, Rafa, bahkan orang sukses sekalipun pernah merasa gagal."
"Bedanya, mereka bisa bangkit lagi. Aku malah makin ngerasa gak berguna."
Pak Amar tersenyum kecil. "Itu karena kamu sedang melihat hidup dari sisi gelapnya saja."
Rafa mengernyit. "Maksudnya?"
"Kamu fokus pada yang hilang, bukan yang masih kamu punya."
"Contohnya?"
"Coba deh, kamu masih bisa makan hari ini, kan?"
Rafa mengangguk pelan. "Iya, Pak."
"Masih bisa jalan, masih bisa berpikir, masih bisa curhat ke guru?"
"Iya juga..."
"Semua itu nikmat. Tapi karena kita terbiasa gak anggap, kita jadi lupa mensyukurinya."
Rafa tertunduk. Lalu ia bergumam, "Tapi syukur tuh kadang klise, Pak. Orang suka bilang, 'Bersyukur aja,' tapi mereka gak ngerti rasanya di posisi aku."
Pak Amar tersenyum, tidak tersinggung.
"Kamu tahu, Rafa. Allah sendiri janji dalam Qur'an, surat Ibrahim ayat tujuh, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tapi jika kamu mengingkari, sesungguhnya azab-Ku sangat keras'."
Rafa menoleh, kali ini dengan ekspresi penasaran.
"Jadi kalau kita bersyukur, nikmat akan ditambah?" tanyanya.
"Iya. Tapi syukur itu bukan cuma 'alhamdulillah' di bibir. Syukur itu sikap mental. Kita sadar, semua yang kita punya ini pemberian dan layak dihargai."
Rafa diam. Lalu ia berkata pelan, "Tapi Pak, kalau masalah datang terus, apa masih pantas bersyukur?"
"Justru di situlah latihan syukurnya. Ada ungkapan bijak: 'Ketika satu pintu kesenangan tertutup, pintu lain terbuka. Tapi sering kita menyesali pintu yang tertutup itu terlalu lama, sampai kita tidak melihat pintu yang terbuka.'"
"Wah... kayak aku, ya."
"Persis. Kamu lihat nilai jelek, masalah di rumah, temen menjauh, itu pintu yang tertutup. Tapi kamu gak lihat, kamu masih punya semangat, kamu punya kesehatan, punya kesempatan perbaikan, bahkan kamu masih punya guru yang mau duduk dan dengerin kamu sekarang."
Rafa tersenyum malu-malu. "Iya, Pak. Baru kerasa sekarang."
"Dan kamu tahu? Banyak ahli juga bicara soal ini. Psikolog Robert Emmons bilang, orang yang rutin bersyukur itu tidurnya lebih nyenyak, lebih sehat secara fisik dan emosional, dan lebih mampu hadapi kesulitan."
"Serius, Pak?"
"Serius. Bersyukur tuh bukan cuma buat orang beriman. Bahkan ilmuwan Barat aja mengakui kekuatannya. Albert Schweitzer, tokoh kemanusiaan peraih Nobel Perdamaian, pernah bilang, 'Atas apa yang kami terima dengan syukur, kami meningkatkan tidak hanya nilainya tetapi juga jumlahnya.'"
"Berarti syukur itu bukan cuma ajaran agama, ya, Pak?"
"Betul. Tapi dalam Islam, syukur bukan hanya dianjurkan, tapi diwajibkan. Dan bukan cuma ke Allah aja, tapi ke manusia juga."
"Ke manusia gimana maksudnya?"
"Di hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, Nabi Muhammad SAW bersabda, 'Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur kepada manusia.' Ulama seperti Syekh Shalih Al-Munajjid menjelaskan, kalau kamu gak terbiasa berterima kasih sama manusia, syukurmu ke Allah juga belum sempurna."
Rafa manggut-manggut.
"Jadi kalau ada orang bantuin aku, seharusnya aku bilang terima kasih?"
"Betul. Jangan anggap remeh. Ucapan terima kasih bisa mempererat hubungan sosial, ningkatin suasana hati, bahkan mendorong orang lain buat berbuat baik lagi."
"Ternyata sederhana tapi dalam banget, ya, Pak."
"Sangat dalam. Syukur itu pondasi. Kalau kamu punya rasa syukur, kamu bisa tetap bahagia meskipun gak punya semuanya."
Rafa memejamkan mata sejenak. "Berarti... aku yang salah, ya?"
"Bukan salah. Tapi lupa. Dan wajar, manusia kadang lupa. Makanya kita perlu diingatkan."
Pak Amar menatap langit yang mulai redup. "Kamu tahu, Melody Beattie pernah bilang: 'Syukur membuka pintu ke tanah di mana cahaya memancar, di mana kebahagiaan menemukan tempatnya, dan di mana kegembiraan sejati bisa dirasakan.'"
Rafa menarik napas. "Keren..."
Pak Amar tersenyum. "Mulai sekarang, coba biasakan ucapkan tiga hal setiap hari."
"Apa aja tuh, Pak?"
"Pertama, 'Terima kasih ya Allah untuk hari ini.' Kedua, 'Terima kasih ya Allah atas apa yang masih aku punya.' Ketiga, 'Terima kasih ya Allah meskipun aku belum punya semua yang aku inginkan.'"
Rafa mencatat di catatan HP-nya. "Aku coba mulai hari ini, Pak."
"Bagus. Dan ingat, kalau hidup lagi berat, bukan berarti Allah menjauh. Bisa jadi, Allah sedang menunggu kita kembali dengan lebih dekat lewat syukur."
Rafa menatap Pak Amar dengan mata yang lebih hidup. "Terima kasih, Pak... Udah dengerin aku, udah ingetin juga."
Pak Amar menepuk bahunya. "Sama-sama. Kamu gak sendirian, Rafa. Kamu cuma lagi butuh kaca baru buat lihat hidupmu. Dan syukur itu kaca terbaiknya."
Rafa tersenyum, kali ini lebih lepas. Langit pun tampak ikut berubah. Awan kelabu perlahan memudar, memberi ruang untuk cahaya matahari kembali menyentuh bumi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI