Matahari sore menyelinap pelan di sela-sela awan yang mulai menguning. Warna jingga memantul dari jendela kafe kecil di sudut kota. Tempat itu bukan kafe terkenal, tapi cukup nyaman buat orang-orang yang pengen ngobrol sambil ngopi tanpa musik keras atau Wi-Fi lelet.
Raka duduk menyender di kursi kayu panjang, matanya kosong menatap sisa cappuccino-nya yang mulai dingin. Kemejanya sedikit kusut, rambutnya nggak sempat disisir. Di hadapannya, Mita duduk dengan ekspresi setengah prihatin, setengah pengen ketawa. Dia udah tahu, temannya itu lagi masuk mode 'aku-lelah-dengan-hidup'.
"Lo ngelamunin biji kopi, Ka?" tanya Mita, nyengir sambil mengaduk teh hangatnya.
Raka ngelirik sebentar, lalu mendesah. "Gue ngerasa capek, Mit. Bukan capek fisik ya... tapi capek kayak... hidup tuh jalan, tapi gue ngerasa diem di tempat. Gak ada rasa bahagia."
Mita mengangguk pelan. Dia tahu Raka nggak nyari solusi instan. Dia cuma pengen didengar.
"Kayak... gue bangun tidur, kerja, pulang, makan, tidur lagi. Repeat banget. Semua terasa... gitu-gitu aja," lanjut Raka.
"Hmmm, selamat datang di kehidupan orang dewasa," sahut Mita dengan nada bercanda. "Tapi serius deh, lo pernah mikir nggak, kalau justru di rutinitas itu, ada pintu menuju kebahagiaan?"
Raka melirik. "Rutinitas bikin gue stres, bukan Bahagia, Mitaaaa...."
Mita menyender, menatap langit yang mulai kemerahan. "Tergantung gimana lo nyikapinnya. Coba deh... mulai hari lo dengan rasa syukur. Bahkan yang paling sederhana. Bangun tidur terus bilang, 'Alhamdulillah, masih bisa napas, dan sekarang .... masih bisa ngopi sore sama orang cantik kayak gue.'"
Raka nyengir setengah hati. "Ngopi sama lo kadang malah nambah stres."