Agama: Antara Pandangan Manusia dan Penjelasan Kitab Suci
>Kepentingan mendasar membagi agama pada kutub kutub pandangan berbeda-Dan perbandingan dengan penjelasan kitab suci
Apakah sama pandangan-opini seseorang tentang agama dengan pandangan tentang agama yang tertulis dalam kitab ?
Tentu saja bisa berbeda.Pandangan seseorang tentang agama-persoalan ketuhanan dapat dipengaruhi oleh filosofi, kacamata-sudut pandang-Termasuk hasrat dan kepentingan pribadi
Maka ketika bicara soal agama kita harus pilah- bedakan antara mana pandangan manusia yang isi kepala nya ber beda beda,yang melihat agama secara berbeda beda,yang memakai alur logika yang berbeda beda-dengan pandangan kitab suci tentang agama
Maka di ruang publik kita melihat ada agama menurut pandangan seorang ateis atau agnostik atau naturalis,Atau eksistensialis,Atau agama menurut pandangan sosiologi-antropologi- budaya-politik-hukum dlsb.Semua itu dapat berbeda dengan pandangan terhadap agama menurut penjelasan kitab suci nya sendiri
.....
AGAMA MENURUT ISI KEPALA MANUSIA
Dalam ruang publik, kita sering menyaksikan berbagai perdebatan tentang agama. Sebagian orang berbicara tentang agama dari sudut pandang filsafat, psikologi, atau antropologi, Yang lain meninjaunya dari perspektif politik, budaya, atau sains. Tak jarang, penilaian terhadap agama dipengaruhi oleh preferensi pribadi, ideologi, bahkan pengalaman masa lalu.
Maka, penting untuk kita membedakan dua hal mendasar: agama menurut pandangan manusia, dan agama menurut penjelasan kitab suci itu sendiri.
Apakah keduanya selalu sejalan? Tentu tidak.
Pandangan manusia tentang agama sangat dipengaruhi oleh kacamata yang dipakai-apakah itu ateistik, agnostik, naturalistik, eksistensialis, atau bahkan sekadar pandangan sosial-politis. Manusia berpikir lewat lensa tertentu, dan lensa ini sering kali menyaring, membias, bahkan mengaburkan cahaya makna agama yang sejatinya hendak disampaikan oleh kitab suci.
Bahkan yang bicara agama dengan murni mengatas namakan logika atau ilmu pengetahuan sekalipun bisa tidak lepas dari bias kacamata-cara pandang pribadi- Karena ketika seseorang bicara agama-Tidak ada kepala yang sama sekali kosong dari hal yang bersifat personal-Dan dari hati yang kosong dari niat-motivasi
Bayangkan bila batu atau bunga bicara agama-ia akan apa adanya,Lain dengan kepala dan hati manusia yang telah terisi oleh beragam memori
Bahkan ketika kita memasukkan tema agama kedalam mesin AI maka mesin akan menginformasikan agama menurut versi pandangan yang beragam
Agama yang masuk ke dalam "isi kepala" manusia yang berbeda-beda ini ibarat sinar putih yang ditembakkan ke prisma: ia terurai menjadi berbagai warna, tergantung sudut dan bentuk prisma itu sendiri. Dalam hal ini, "prisma" adalah cara berpikir,filosofi dan ideologi manusia.
Tokoh-tokoh seperti Karen Armstrong, Richard Dawkins, Sam Harris, dan Yuval Noah Harari telah banyak menulis tentang agama dari berbagai sudut: sejarah, evolusi, kognisi, hingga kritik terhadap yang mereka anggap dogma. Dari sisi akademik, para antropolog seperti E.B. Tylor, James George Frazer, dan Clifford Geertz melihat agama sebagai produk budaya, simbolik, atau evolusi sosial. Di sisi lain, Ian G. Barbour mencoba menjembatani agama dan sains lewat empat tipologi hubungan antara keduanya: konflik, independensi, dialog, dan integrasi.
Namun yang perlu dicatat: semua pandangan itu adalah hasil interpretasi manusia, yang tentu bisa berbeda dengan pandangan agama tentang dirinya sendiri sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci.
Maka,ketika kita membahas agama, penting untuk bertanya:
Apakah kita sedang membahas agama sebagaimana adanya menurut wahyu, atau agama sebagaimana dipahami dan di persepsikan oleh manusia yang bisa penuh bias dan keterbatasan serta kepentingan ?
Memahami perbedaan ini adalah langkah awal-fundamental dan essensial untuk memetakan persoalan agama ketika ia hadir di dunia manusia-Termasuk melihat bagaimana peta perang opini yang terjadi-Yang bukan semata bicara agama sebagai wahyu, tetapi peta beragam tafsir manusia tentangnya.
---
Artikel ke 2
Logika, Isi Kepala Manusia, dan Agama
Ilmu logika pada dasarnya bersifat tetap, baku, dan netral. Ia adalah perangkat berpikir yang tertib, bukan pemandu arah ideologi. Namun, begitu logika itu masuk ke dalam kepala manusia, ia mulai bermain dalam ruang yang tak sepenuhnya netral. Di situ ia mulai bersinggungan dengan prasangka, pengalaman, nilai, bahkan trauma-hal hal yang bersifat personal.
Logika yang bermain di kepala bisa digunakan untuk membangun argumen teistik maupun ateistik. Ia dapat dijadikan alat untuk menerima atau menolak agama-tergantung pada isi kepala siapa yang menggunakannya.
Di titik inilah penting untuk disadari: tidak ada kepala yang betul-betul kosong ketika berjumpa dengan agama. Tidak ada kesadaran yang steril dari prasangka, tidak ada manusia yang benar-benar tabula rasa dalam menafsirkan wahyu.
Ketika agama hadir di kepala ssseorang, ia tidak datang ke ruang hampa-Kepala itu ternyata telah berisi-dengan filsafat, budaya, pengalaman, dan mungkin luka-luka pribadinya. Maka ketika seseorang berbicara tentang agama, ia bukan sedang mendeskripsikan agama menurut agama itu sendiri, melainkan agama sebagaimana dipantulkan oleh isi kepalanya.
Demikianlah agama, begitu masuk ke dalam ruang batin manusia, tidak bisa tidak akan terwarnai oleh isi ruang itu. Maka tafsir pun lahir. Tafsir yang bisa membangun atau meruntuhkan iman, bisa menjernihkan atau malah memburamkan cahaya.
......
Uji logika koheren terhadap agama: Apakah menjamin kesamaan dengan penjelasan Kitab ?
Tidak, Menguji agama dengan logika koheren tidak otomatis akan melahirkan pemahaman agama yang sesuai dengan penjelasan kitab suci.
Mengapa?
Karena logika koheren adalah alat berpikir yang bekerja berdasarkan prinsip keterpaduan internal (koherensi) dan sebab-akibat. Ia memastikan bahwa pernyataan-pernyataan tidak saling bertentangan, dan argumen mengikuti pola yang konsisten. Namun, logika formal tidak dan bukan yang menentukan isi dari argumen tersebut. Ia hanya menguji struktur, bukan kebenaran ontologis yang ditarik dari premis- premisnya.
Dengan kata lain, logika tidak menyediakan kaca mata, ia hanya menyediakan kerangka berpikir. Kaca mata atau sudut pandang berasal dari filsafat pribadi, latar belakang ideologis, psikologis, bahkan historis dari sang pemikir.
Contohnya, dua orang bisa memakai logika koheren yang sama, namun menghasilkan kesimpulan yang sangat berbeda tentang agama. Kenapa? Karena mereka memulai dari premis yang berbeda - satu memandang wahyu sebagai sumber pengetahuan agama, yang lain hanya menerima yang empiris. Maka meskipun keduanya konsisten dalam berpikir, hasil akhirnya bisa bertolak belakang (!)
Logika tak menuntun manusia ke satu arah tertentu, ia hanya mengizinkan manusia menapaki arah mana pun - asal tetap di atas rel sebab-akibat yang koheren. Ia netral. Ia seperti rel kereta, bukan lokomotif yang menentukan tujuan.
Maka tidak mengherankan bila seseorang menguji agama dengan logika, tetapi hasilnya bukan penguatan iman, melainkan pengingkaran. Sebab hasil itu lebih bergantung pada filosofi-kacamata-cara pandang yang mendasarinya, bukan pada logika itu sendiri.
---
Uji logika koheren terhadap agama,
Apakah ditentukan murni oleh konstruksi ilmu logika, atau oleh isi kepala individu ?
Jawabannya: bukan murni oleh logika, melainkan sangat ditentukan oleh isi kepala (kerangka berpikir) individu yang mengoperasikan logika itu.
1. Ilmu Logika: Alat Netral-Bukan Penentu Arah
Ilmu logika adalah alat struktural untuk berpikir benar secara formal. Ia menetapkan aturan bagaimana premis-premis bisa diturunkan menjadi kesimpulan yang sah (valid). Tapi logika tidak menciptakan premis-ia hanya bekerja setelah premis diberikan.
> Seperti pisau tajam, logika bisa digunakan untuk mengiris buah atau menyayat kulit, tergantung siapa yang memegangnya dan untuk tujuan apa-Ia tidak menentukan apa yang mau di iris dan hendak dijadikan apa
2. Isi Kepala Individu: Sumber dari Premis
Isi kepala seseorang-yakni filosofi, pandangan hidup, latar sejarah, psikologi, bahkan trauma menjadi sumber dari premis-premis yang akan diuji secara logis. Dalam konteks agama, ini sangat menentukan:
Apakah individu menerima wahyu sebagai sumber sah pengetahuan agama ?
Apakah ia mendefinisikan Tuhan secara personal atau impersonal?
Apakah ia percaya bahwa realitas metafisik bisa diakses oleh nalar?
Semua pertanyaan ini tidak dijawab secara internal oleh konstruksi ilmu logika, melainkan oleh ontologi dan epistemologi pribadi. Dari situlah premis-premis itu disusun.
3. Koherensi Tidak Menjamin Kebenaran
Logika koheren hanya menjamin bahwa pemikiran tidak saling bertentangan secara internal. Tapi sistem yang koheren bisa saja difahami keliru, jika premis dasarnya salah.
> Contoh sederhana:
Premis 1: Semua dewa tinggal di Gunung Olympus.
Premis 2: Zeus adalah dewa.
Kesimpulan: Maka Zeus tinggal di Gunung Olympus.
Ini koheren, tetapi belum tentu benar secara ontologis-secara ontologi ini bisa diyakini sebagai mitos
Jadi bisa beda secara substansi antara struktur logika dengan simpulan ontologis.
Seseorang bisa memainkan logika koheren tapi diujung filosofi pribadinya lah yang akan menentukan
Kesimpulan:
Yang menentukan hasil uji logika terhadap agama bukan semata-mata ilmu logika, tetapi isi kepala orang yang memakainya. Logika hanya memberi struktur, bukan makna. Maka hasil akhirnya bisa sangat beragam-dari iman yang teguh hingga ateisme-tergantung dari dunia batin dan kerangka pikir si pengguna logika.
---
Artikel ke 3
APAKAH LOGIKA NETRAL ?
Yang ingin saya paparkan disini adalah relasi antara ilmu logika, penggunaan logika, dan kerangka ideologis yang memengaruhi manusia dalam berbagai medan berpikir.
Ilmu logika bersifat netral tapi kerangka ideologis-keyakinan-idealisme maupun kepentingan yg melekat dlm pikiran seseorang itu akan mengarahkan logika ke arah tertentu
---
Ilmu Logika : Netralitas, Instrumen, dan Warna Pemikiran
Ilmu logika adalah cabang filsafat yang lahir dari kebutuhan manusia untuk berpikir secara tertib, sistematis, dan konsisten. Essensinya tidak memuat muatan ideologis tertentu; tidak berpihak pada agama, ateisme, sains, atau filsafat mana pun. Dalam bentuk murninya, ilmu logika adalah tata cara berpikir yang koheren- suatu metode untuk menghindari kontradiksi atau situasi pikiran acak dan memastikan prinsip alasan yang cukup (principium rationis sufficientis) dlm mrnetapkan suatu konklusi
> Logika sebagai ilmu maupun  cara berpikir tidak memihak. Ia hanya memeriksa konsistensi dan ketepatan berpikir.Manusialah yang bisa mengarahkan kemana pikirannya mengarah
Dalam makna ini, logika ibarat bus yang masih terparkir di stasiun: ia diam tapi memiliki potensi untuk bergerak ke arah mana pun, tergantung siapa yang mengendarainya dan ke mana tujuannya.Sedang logika yang sudah bermain dlm kepala manusia ibarat bus yang sudah bergerak menuju tujuan tertentu
---
Logika Sebagai Instrumen: Netral, Tapi Bisa Dipakai untuk Tujuan Apa pun
Logika dalam dirinya sendiri tidak otomatis akan menghasilkan keyakinan- baik keyakinan terhadap Tuhan (teisme), penolakan terhadap Tuhan (ateisme), ataupun pilihan-pilihan ideologis lainnya. Yang menentukan ke arah mana pikiran seseorang bergerak bukan ilmu logika itu sendiri, melainkan:
Latar belakang pribadi
Komitmen eksistensial-idealisme
Nilai-nilai budaya maupun pribadi
Asumsi metafisis awal
Pengalaman hidup-pendalaman spiritual
Dlsb. hal yang sifatnya personal
Dengan demikian, penggunaan ilmu logika dalam diskursus agama tidak serta-merta  akan mengarah pada penolakan atau penerimaan terhadap agama. Logika hanya menjadi alat untuk menyusun argumen: apakah seseorang menolak atau menerima agama tergantung pada pra-anggapan yang ia bawa ke dalam medan dialektika itu.
Jadi jangan berpandangan bahwa bila memakai alur logika maka struktur bangunan agama akan runtuh-keyakinan akan lenyap-Karena itu bergantung pada karakter dan alur logika yang dipakai seorang individu.Kalau seseorang memakai logika dialektika material dlm menganalisa agama maka dlm pandangannya seolah "agama berantakan"-Tapi yang berantakan adalah pandangannya-bukan hakelat agamanya
Jadi pandangan terhadap agama seorang individu itu tidak identik dengan hakikat atau substansi agama.Pandangan seseorang bisa bersesuaian maupun berlawanan dengan substansi agama
---
Logika yang Telah Terwarnai: Bus yang Telah Melaju ke Berbagai Tujuan
Ketika logika sudah digunakan dalam konteks tertentu oleh individu atau komunitas tertentu, ia tidak lagi bersifat "murni". Ia sudah menyerap atau dipengaruhi :
Paradigma
Orientasi nilai
Metafisika-pandangan metafisis terselubung
Konsekuensi ideologis
Maka muncullah istilah-istilah seperti:
Logika teis -- logika yang berpijak pada keyakinan adanya realitas non-material (transenden)
Logika ateis -- logika yang menolak realitas transenden dan berpijak pada naturalisme atau materialisme
Logika hukum -- logika yang tunduk pada sistem hukum positif
Logika politik -- logika yang berorientasi pada kekuasaan, strategi, atau legitimasi
Logika ekonomi -- logika yang berpijak pada efisiensi dan pertumbuhan kapital
Logika sains -- logika berbasis metode empiris dan falsifikasi
Logika agama -- logika yang berpijak pada wahyu dan nilai-nilai teologis
Istilah-istilah ini tidak menunjukkan jenis ilmu logika yang berbeda, melainkan konteks penggunaan logika yang telah terwarnai oleh paradigma tertentu.
---
Penutup: Logika Itu Netral, Manusia Tidak
Akhirnya, kita bisa menyimpulkan bahwa:
Ilmu logika adalah instrumen netral: ia hanya menyediakan struktur, bukan isi.
Isi pemikiran manusia bukan langsung berasal dari konstruksi ilmu logika melainkan berasal dari pengalaman, ideologi, nilai, atau wahyu.
Logika menjadi bermacam-macam dalam bentuknya ketika sudah dipakai dalam ruang publik-karena manusia tidak pernah berpikir dalam ruang hampa.
Logika, dengan demikian, adalah alat berpikir yang bisa dipakai oleh siapa pun-teis, ateis, saintis, agamawan-tapi hasil akhirnya tidak ditentukan oleh logika itu sendiri, melainkan oleh arah pandang dan asumsi awal pengguna logika tersebut-hingga kepentingan
..........
Artikel ke 4
BISAKAH AGAMA DIJELASKAN FULL SECARA LOGIKA SEKULER ?
Apakah agama bisa direduksi sepenuhnya ke dalam struktur logika sekuler (dialektika agama dengan memisahkannya dengan kitab suci)- Karena agama memiliki sumber ontologis tersendiri yaitu wahyu (kitab suci) (?)
*logika sekuler-Istilah dari AI-bukan sub ilmu logika tapi logika yang bermain di kepala orang ber kacamata sekuler- Karakter yang memisahkan apapun dari substansi agama
Bukankah memisahkan agama dengan kitab suci yang menjadi sumbenya sama dengan melangggar prinsip identitas yang menjadi prinsip dasar dalam logika ?
Dalam logika klasik, prinsip identitas berbunyi:
> A adalah A.
Sesuatu adalah dirinya sendiri, dan bukan yang lain.
Jika "agama" didefinisikan (atau diidentifikasikan) sebagai sesuatu yang bersumber dari wahyu dan mewujud dalam kitab suci, maka memisahkan agama dari kitab suci berarti mengingkari identitas aslinya.
Maka penjelasan tentang agama menurut prinsip dasar logika mesti berdasar identitas orisinil yg dimiliki agama tsb
Dengan kata lain,bicara agama- mengelaborasi agama bila ingin orisinil-substansial-mau tak mau mesti mengacu pada kitab suci nya karena dari sanalah sumber agama berasal
Jika agama wahyu dipisahkan dari kitab suci, maka kita tidak sedang berbicara tentang agama dalam pengertian orisinilnya-Tapi sedang melakukan reduksi epistemologis: mengubah hakikat agama misal menjadi sekadar sistem moral atau budaya-yang bukan lagi "agama wahyu".
Mak itu ilmu logika menetapkan terlebih dulu prinsip identitas sebagai fundamen dasar dlm berlogika-Agar yg dijelaskan adalah sesuatu sesuai identitas aslinya
.....
Bagaimana dengan luar agama yang sering ikut menggebu gebu dan ber jilid jilid bicara agama-Tuhan-Tapi dengan tidak mau mengacu pada sumber aslinya ?
Mereka ingin menjelaskan atau mengopini kan agama tapi berdasar cara pandang dan alur berpikir mereka sendiri
Secara hak itu kebebasan-tetapi secara substansi penjelasan tentang agama yang tidak mengacu pada kitab suci mesti diselidiki isinya-Karena bisa malah bertolak belakang dengan penjelasan sumbernya-Jadi yang mereka opinikan bukan identitas agama tapi "agama versi mereka"
Teis dan ateis memang sudah biasa berbeda pandangan-penafsiran soal agama,Luar agama misal sering mengopini kan agama sebagai "hasil evolusi budaya"-"hasil konstruksi sosial"-"produk ekonomi dan politik"-"produk wacana kekuasaan" ...
Itu adalah narasi narasi yg berasal dari Emile durkheim,Karl marx,Peter L berger,Michael foucault,Clifford geertz
Intinya,Penilaian dari luar tentu mesti dibedakan dengan penjelasan tentang agama dari sumbernya yaitu kitab suci.
....
Logika, Sebab-Akibat, dan Agama: Sebuah Refleksi Rasional
Logika ibarat mesin kereta api-Ia hanya bisa berjalan bila ada rel yg menuntunnya. Tanpa rel, logika- sekuat apapun mekanismenya-tak bisa bergerak. Dan rel dari logika itu tak lain adalah prinsip sebab-akibat.
Dalam ilmu logika, prinsip sebab-akibat ini diformulasikan dalam berbagai istilah: prinsip cukup alasan, koherensi internal, deduksi, induksi, hingga kategori-kategori dlm logika dialektis. Tapi pada dasarnya, semuanya bersandar pada hubungan kausal-Suatu sistem yg mengandaikan bahwa sesuatu bisa ditelusuri asal-usulnya, alasan keberadaannya, dan konsekuensi logisnya- Semua direduksi kedalam ruang lingkup hukum kausalitas
Bahkan dlm kerangka dialektika Hegel yang mengusung tesis-antitesis-sintesis, mekanisme berpikirnya tetap berporos pada sebab-akibat. Karena adanya tesis (sebab), muncullah antitesis (akibat), yang kemudian membentuk sintesis (hasil). Dengan kata lain, dialektika pun tak bisa keluar dari orbit hukum kausalitas.
Oleh karena itu, ketika prinsip sebab-akibat tidak bisa dilacak-misalnya dlm kejadian yg tidak berurutan secara logis atau fenomena yang tampak acak-maka manusia akan mengalami apa yang disebut sebagai "kemacetan logika". Itulah titik ketika kita menyebut sesuatu sebagai tidak logis, sulit dicerna akal, atau irasional. Itu adalah penanda bahwa struktur sebab-akibat tidak bekerja secara utuh atau telah runtuh dari perspektif akal.
Lalu muncul pertanyaan penting: Apakah agama bisa direkonstruksi full secara logika?
Agama memuat banyak elemen yang bersifat metafisis: tentang Tuhan,wahyu, pengadilan akhirat, dll. Elemen-elemen ini memang bisa dijelaskan secara rasional sejauh ia masih bisa dikaitkan dengan prinsip akal sehat-berdasar alur sebab akibat. Namun, agama bukanlah hasil akhir dari konstruksi filsafat atau logika. Ia hadir melalui wahyu, bukan melalui eksperimentasi atau logika dialektis.
Maka, meskipun akal wajib digunakan dalam memahami dan menjelaskan agama, kita tak bisa menuntut agar agama sepenuhnya tunduk pada sistem logika sekuler-apalagi jika logika itu berusaha memisahkan agama dari kitab suci sebagai sumber primer.
Menuntut agar agama dijelaskan secara logis tanpa melibatkan kitab suci justru melanggar prinsip identitas dalam logika itu sendiri. Sebab agama-sebagai sebuah identitas tak bisa dilepaskan dari wahyu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI