Bahwa di sepanjang perlintasan kereta api, hamparan padi tidak pernah menghindari kibasan angin yang menderu-deru. Mereka akan terus saja tumbuh, menguning, dan rontok.
Kemudian, matahari yang baru saja menapak naik itu, tak bisa memisahkan diri dari kabut tipis. Tidak benar-benar kabut, sebab bersama dirinya, telah bercampur debu yang melayang-layang.
Orang-orang akan pergi ke pasar, mereka tidak pernah berhenti di pinggiran jalan. Apalagi melihat dari mana mereka datang. Hari-hari ini sudah tidak bisa dipakai berlama-lama bertanya kepada diri sendiri.
Ada alun-alun dengan dua beringin yang meranggas mati, hanya orang-orang tua yang pergi ke sana. Mereka duduk-duduk dan membakar ranting kering. Di sudut alun-alun, ada gudang tua yang pagarnya dikunci gembok dari besi. Â
Dan seorang yang masih muda, yang kepalanya dipenuhi suara-suara asing, berdiri di depan gerbang stasiun peninggalan Belanda. Ia sudah lupa mengeja namanya sendiri.Â
Seminggu yang lalu kamu diciptakan. Tetapi tidak ada yang merayakanmu. Kamu sekarang ada di dalam kereta, melihat keluar jendela. Semua yang bergerak cepat seperti keinginan untuk saling meninggalkan.
Kamu akan tiba di salah satu stasiun yang tidak pernah diberitahukan sebelumnya. Kamu cuma tahu ini  hari Rabu. Ada yang mendadak bergema dalam hatimu. Makin kencang dan meraung-raung.Â
Tiba-tiba saja sudah senja. Dua helai rambut putih kini menjuntai di antara alismu yang tipis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI