Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengatasi Titik Jenuh Laki-Laki: Antara Tanggung Jawab, Kerentanan, dan Kesehatan Mental

17 September 2025   04:25 Diperbarui: 17 September 2025   04:25 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang pria yang merasa jenuh dengan aktivitasnya. (Sumber: Photo By: Kaboompics.com: Via https://www.pexels.com)  

Saya pernah mengalami fase di mana hidup terasa berjalan otomatis: bangun pagi, berangkat kerja, mengejar target, pulang larut malam, lalu mengulang pola yang sama keesokan harinya. Dari luar, saya terlihat baik-baik saja-tetap bekerja, tetap menafkahi keluarga.

Tapi jauh di dalam, saya merasa kosong, lelah, dan kehilangan motivasi. Ada titik di mana saya berpikir, "Kalau begini terus, apa gunanya?", "Apa yang saya cari di dunia yang fana ini?"

Saat itu saya sadar, saya sedang berada di titik jenuh. Bukan karena beratnya tanggung jawab menafkahi keluarga, melainkan karena rutinitas harian yang terasa seperti "jebakan batman". Aktivitas yang sama dari hari ke hari membuat pikiran terasa terkekang, semangat perlahan luntur, dan hidup seolah berjalan tanpa arah. Inilah yang membuat jenuh begitu menguras energi: bukan sekadar lelah fisik, melainkan kelelahan batin yang diam-diam menggerogoti kesehatan mental.

Bagi banyak laki-laki, mengakui kejenuhan bukan hal mudah. Ada stigma sosial yang melekat: laki-laki harus kuat, tahan banting, dan tidak boleh mengeluh. Keluhan dianggap kelemahan, padahal justru menyembunyikan rasa lelah bisa membuat beban mental semakin berat.

Tekanan Laki-Laki di Balik Stereotipe "Harus Kuat"

Bagi banyak laki-laki, mengakui kejenuhan bukan hal mudah. Ada stigma sosial yang melekat: laki-laki harus kuat, tahan banting, dan tidak boleh mengeluh. Keluhan dianggap kelemahan, padahal justru menyembunyikan rasa lelah bisa membuat beban mental semakin berat.

Budaya patriarki di Indonesia masih sering menempatkan laki-laki sebagai "tulang punggung keluarga". Status dan harga diri kerap diukur dari seberapa keras mereka bekerja. Akibatnya, banyak laki-laki merasa tidak punya pilihan selain terus maju meski fisik dan mental terkuras habis.

Menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi depresi di Indonesia mencapai 1,4%, dengan kelompok usia 15-24 tahun (Gen Z) mencatat angka tertinggi yaitu 2%. Untuk remaja laki-laki, angkanya 1,1%-lebih rendah dibanding perempuan (2,8%), tetapi tetap signifikan.

Di sisi lain, laporan BPS 2024 menyebut hampir 30% laki-laki pekerja mengalami jam kerja berlebih. Kondisi ini menunjukkan banyak laki-laki bukan hanya menghadapi risiko depresi, tapi juga tekanan nyata dari jam kerja panjang yang bisa mempercepat munculnya titik jenuh.

Tantangan lain adalah budaya diam. Riskesdas 2018 dan SKI 2023 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun ke atas mencapai 9,8%. Angka ini berlaku untuk semua gender, termasuk laki-laki. Namun, karena stigma "lelaki harus kuat", banyak yang memilih menahan diri dan enggan mencari pertolongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun