Sama-sama “Dewan”, sama-sama punya peran. Bedanya hanya pada penghargaan yang diberikan negara. Selama guru honorer masih dianggap “pelengkap”, maka jurang itu akan terus melebar. Saatnya menyamakan pandangan: tidak ada peran yang lebih tinggi atau lebih rendah, semua sama pentingnya untuk membangun bangsa ini.
Artikel ini bukan bermaksud membenturkan, tetapi mengetuk nurani. Masyarakat berhak tahu bagaimana uang rakyat digunakan. Kita tentu ingin wakil rakyat hidup layak, tetapi apakah kelayakan itu harus diukur dengan Rp50 juta hanya untuk rumah per bulan?
Jika benar wakil rakyat ingin dikenang dan dihormati, mungkin bukan dengan memperlebar jurang kesejahteraan antara dirinya dan guru honorer, melainkan dengan keberpihakan nyata. Sumbangan satu atau dua bulan tunjangan rumah mereka saja sudah cukup membuat puluhan ribu keluarga tersenyum.
Karena pada akhirnya, sejarah tidak selalu mengingat siapa yang duduk di kursi Senayan. Sejarah lebih banyak mengingat guru yang mengajari kita membaca, menulis, dan berpikir.
Resign para guru honorer adalah alarm keras bagi bangsa ini. Kita sedang kehilangan pejuang pendidikan, satu per satu. Padahal, dari ruang kelaslah lahir calon dokter, insinyur, menteri, bahkan anggota DPR itu sendiri.
Ironinya, ruang kelas sering kosong karena gurunya menyerah sebelum diperjuangkan.
Maka, mari kita tata ulang prioritas. Jangan sampai bangsa ini terlalu sibuk membangun kesejahteraan dewan, tetapi membiarkan dewan guru runtuh perlahan. Karena sesungguhnya, martabat bangsa bukan hanya ada di kursi parlemen, tetapi juga di papan tulis yang setiap hari dihapus demi mencetak masa depan.
Salam Literasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI