Andai Disalurkan untuk Guru Honorer
Mari kita membandingkan. Banyak guru honorer, baik di sekolah negeri maupun swasta, masih menerima gaji Rp300 ribu-Rp500 ribu per bulan. Angka ini bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Mereka adalah sosok yang setiap hari berhadapan dengan anak-anak bangsa, menanamkan nilai, ilmu, dan karakter, tetapi sering diperlakukan seperti pekerja sambilan.
Bayangkan jika satu bulan saja tunjangan rumah DPR Rp29 miliar dialihkan untuk guru honorer. Dengan keikhlasan mereka sedekahkan kepada guru honor. Dengan asumsi gaji honorer Rp500 ribu, maka 58 ribu guru honorer bisa menerima tambahan penghasilan satu bulan penuh. Jika dua bulan saja, lebih dari 100 ribu keluarga guru bisa tersenyum bahagia.
Di balik itu, berapa banyak doa baik akan dipanjatkan? Berapa banyak anak bisa makan lebih bergizi karena orang tuanya mendapatkan penghasilan layak?
Apakah negara ini tidak bisa sedikit saja mengalihkan sebagian anggaran tunjangan mewah untuk kesejahteraan para guru honorer? Bukankah amanat konstitusi jelas, bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa?
Bayang-Bayang Resign: Kisah Rekan Sejawat Honorer
Di balik papan tulis dan wajah ramah guru, ada kenyataan pahit yang jarang terlihat. Beberapa rekan sejawat saya, yang masih guru honorer, satu per satu harus mengucapkan salam perpisahan. Bukan karena mereka tak lagi mencintai dunia pendidikan, melainkan karena keadaan memaksa mereka mundur.
Guru honorer di sekolah negeri sering hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Bila suatu hari pemerintah menempatkan guru PNS atau PPPK pada mata pelajaran yang sama, maka guru honorer tersebut harus rela tersisih dan pergi. Tidak ada ruang untuk tawar-menawar. Segala pengabdian, bertahun-tahun loyalitas, seolah tidak punya jaminan keberlanjutan.
Di sekolah swasta, ceritanya tak kalah getir. Gaji yang bersumber dari yayasan atau uang SPP murid membuat posisi guru honorer rapuh. Jika jumlah murid menurun, maka pendapatan pun dipotong. Ada yang akhirnya memilih keluar karena gaji yang diterima tak lagi mencukupi kebutuhan hidup, sementara beban kerja tetap sama seperti guru tetap.
Saya masih ingat wajah rekan saya yang terpaksa pamit karena anaknya mulai masuk SD dan biaya sekolah makin tinggi. Dengan nada getir, ia berkata, “Saya ingin tetap mengajar, tapi saya juga harus realistis. Gaji di sini bahkan tak cukup untuk ongkos anak berangkat sekolah.”