Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sama-sama Dewan, tapi Bagai Langit dan Bumi: Ironi DPR dan Guru Honorer

30 Agustus 2025   14:24 Diperbarui: 31 Agustus 2025   18:57 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perbandingan Dewan Guru dengan Anggota DPR. (Sumber: Dok. Pribadi/dibuat dengan AI) 

KBM anak-anak suku Batin Sembilan di Hutan Harapan, dalam kegiatan belajar mengajar di wilayah Kelompang, Kab.Batanghari, Jambi (Sumber: kompas.id)
KBM anak-anak suku Batin Sembilan di Hutan Harapan, dalam kegiatan belajar mengajar di wilayah Kelompang, Kab.Batanghari, Jambi (Sumber: kompas.id)

Andai Disalurkan untuk Guru Honorer

Mari kita membandingkan. Banyak guru honorer, baik di sekolah negeri maupun swasta, masih menerima gaji Rp300 ribu-Rp500 ribu per bulan. Angka ini bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Mereka adalah sosok yang setiap hari berhadapan dengan anak-anak bangsa, menanamkan nilai, ilmu, dan karakter, tetapi sering diperlakukan seperti pekerja sambilan.

Bayangkan jika satu bulan saja tunjangan rumah DPR Rp29 miliar dialihkan untuk guru honorer. Dengan keikhlasan mereka sedekahkan kepada guru honor. Dengan asumsi gaji honorer Rp500 ribu, maka 58 ribu guru honorer bisa menerima tambahan penghasilan satu bulan penuh. Jika dua bulan saja, lebih dari 100 ribu keluarga guru bisa tersenyum bahagia.

Di balik itu, berapa banyak doa baik akan dipanjatkan? Berapa banyak anak bisa makan lebih bergizi karena orang tuanya mendapatkan penghasilan layak?

Apakah negara ini tidak bisa sedikit saja mengalihkan sebagian anggaran tunjangan mewah untuk kesejahteraan para guru honorer? Bukankah amanat konstitusi jelas, bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa?

Bayang-Bayang Resign: Kisah Rekan Sejawat Honorer

Di balik papan tulis dan wajah ramah guru, ada kenyataan pahit yang jarang terlihat. Beberapa rekan sejawat saya, yang masih guru honorer, satu per satu harus mengucapkan salam perpisahan. Bukan karena mereka tak lagi mencintai dunia pendidikan, melainkan karena keadaan memaksa mereka mundur.

Guru honorer di sekolah negeri sering hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Bila suatu hari pemerintah menempatkan guru PNS atau PPPK pada mata pelajaran yang sama, maka guru honorer tersebut harus rela tersisih dan pergi. Tidak ada ruang untuk tawar-menawar. Segala pengabdian, bertahun-tahun loyalitas, seolah tidak punya jaminan keberlanjutan.

Di sekolah swasta, ceritanya tak kalah getir. Gaji yang bersumber dari yayasan atau uang SPP murid membuat posisi guru honorer rapuh. Jika jumlah murid menurun, maka pendapatan pun dipotong. Ada yang akhirnya memilih keluar karena gaji yang diterima tak lagi mencukupi kebutuhan hidup, sementara beban kerja tetap sama seperti guru tetap.

Saya masih ingat wajah rekan saya yang terpaksa pamit karena anaknya mulai masuk SD dan biaya sekolah makin tinggi. Dengan nada getir, ia berkata, “Saya ingin tetap mengajar, tapi saya juga harus realistis. Gaji di sini bahkan tak cukup untuk ongkos anak berangkat sekolah.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun