Di sisi lain, ada Dewan Guru. Tidak semua guru memang bernasib sama. Guru PNS memiliki gaji tetap dan tunjangan profesi. Tetapi di balik itu, ada ratusan ribu guru honorer yang masih bertahan dengan gaji ratusan ribu rupiah, bahkan sering terlambat cair. Ada yang digaji hanya Rp300 ribu per bulan, ada pula yang harus mengajar di dua atau tiga sekolah, bahkan harus harus menjadi ojol untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Yang lebih ironis, dalam beberapa bulan terakhir, banyak guru honorer akhirnya memilih resign. Bukan karena tidak cinta mengajar, melainkan karena realitas hidup tak bisa ditawar. Biaya listrik, kebutuhan anak, dan harga bahan pokok tak bisa dibayar dengan idealisme.
Kisruh Guru Honorer: Pahlawan Tanpa Penghasilan Layak
Kisruh guru honorer bukanlah isu baru. Pemerintah memang telah membuka jalur ASN-PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) untuk mengakomodasi mereka. Namun, prosesnya penuh ketidakpastian. Ada yang lolos seleksi tapi belum ditempatkan, ada yang menunggu penetapan gaji, bahkan ada yang gagal meski sudah puluhan tahun mengabdi.
Sementara itu, di ruang-ruang kelas, keberadaan mereka sangat vital. Di pelosok, tidak jarang sebuah sekolah hanya memiliki satu atau dua guru PNS, sisanya adalah honorer. Mereka mengisi kekosongan, mengajar dengan segala keterbatasan, sekaligus menjadi penggerak pendidikan di akar rumput.
Sayangnya, apresiasi yang mereka terima tidak sebanding. Julukan “pahlawan tanpa tanda jasa” yang sering diulang-ulang justru terasa pahit: mereka adalah pahlawan yang juga tanpa penghasilan layak.
Nafkah Seorang “Dewan” vs Nafkah Guru Honorer
Tunjangan wakil rakyat bisa mencapai puluhan juta per bulan. Bahkan, satu kali rapat atau kunjungan kerja bisa menghasilkan angka yang nilainya cukup untuk menghidupi keluarga honorer selama berbulan-bulan. Bandingkan dengan gaji guru honorer yang kadang hanya ratusan ribu rupiah per bulan, bahkan ada yang di bawah UMR.
Tak hanya menerima gaji pokok dan berbagai fasilitas, anggota DPR periode 2024-2029 juga memperoleh tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan. Angka ini bukan untuk setahun, melainkan per bulan. Jika dikalikan 580 anggota DPR, totalnya mencapai Rp29 miliar setiap bulan hanya untuk tunjangan rumah. Dalam setahun, jumlah itu menggunung hingga Rp348 miliar.
Pertanyaannya, apakah benar semua anggota DPR tidak memiliki rumah sehingga butuh tunjangan sebesar itu?
Guru honorer sering harus mencari pekerjaan sampingan demi bisa bertahan hidup. Ada yang membuka les kecil-kecilan, ada yang berjualan, bahkan tak sedikit yang harus bekerja di luar dunia pendidikan. Sementara itu, beban mengajar tetap menumpuk, tanggung jawab mendidik tetap sama beratnya.