Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sama-sama Dewan, tapi Bagai Langit dan Bumi: Ironi DPR dan Guru Honorer

30 Agustus 2025   14:24 Diperbarui: 31 Agustus 2025   18:57 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perbandingan Dewan Guru dengan Anggota DPR. (Sumber: Dok. Pribadi/dibuat dengan AI) 

Setiap kali satu demi satu rekan sejawat harus resign, ruang guru kami terasa semakin sepi. Yang tersisa hanyalah pertanyaan yang mengendap di benak: sampai kapan guru honorer harus terus berada di posisi paling rapuh dalam sistem pendidikan kita?

Sama-sama Punya Peran, Harusnya Sama-sama Dihargai

Tidak ada yang menafikan pentingnya peran wakil rakyat. Tapi penghargaan terhadap guru, khususnya honorer, semestinya tidak setengah hati. Mereka bukan sekadar pelengkap, melainkan pilar utama pendidikan di banyak sekolah.

Jika saja tunjangan “Dewan” bisa dipangkas sedikit untuk dialihkan pada kesejahteraan guru honorer, betapa banyak masalah pendidikan yang bisa teratasi. Guru yang sejahtera akan lebih fokus mengajar, lebih ikhlas mendidik, dan pada akhirnya akan melahirkan generasi bangsa yang jauh lebih berkualitas.

Ironi: Sama-Sama Dewan

Di sinilah letak ironi itu. Sama-sama dewan, tapi perlakuan dan nasibnya bagai langit dan bumi.

  • Dewan di Senayan membentuk undang-undang, Dewan di sekolah membentuk manusia.
  • Dewan di gedung parlemen menerima gaji besar, Dewan di ruang kelas kadang menunggu honor yang bahkan tak cukup untuk ongkos transportasi.
  • Dewan di kursi empuk bisa tidur saat rapat, Dewan di papan tulis tetap berdiri meski tubuh lelah.

Pertanyaannya sederhana: jika bangsa ini bisa bertahan tanpa gedung DPR sehari, apakah ia bisa bertahan tanpa ruang kelas dan guru sehari? Entahlah... 

Kita bisa belajar dari negara tetangga. Di Thailand, misalnya, Hari Guru (Wai Khru) bukan hanya seremoni, tetapi sebuah momen sakral ketika murid sungguh-sungguh memberi penghormatan kepada gurunya dengan penuh hormat, doa, dan persembahan bunga. Di Jepang, guru dipandang sebagai sosok yang setara dengan orang tua kedua; bahkan ada ungkapan “Sensei wa oyabunari” (guru adalah orang tua). 

Tingginya penghormatan sosial ini membuat profesi guru tetap disegani dan berpengaruh, meskipun dunia terus bergerak ke arah digital.

Refleksi: Menata Ulang Martabat “Dewan”

Kata dewan semestinya disandang dengan martabat. Jika anggota DPR bisa disebut terhormat, maka guru pun layak mendapatkan kehormatan yang nyata, bukan sekadar kata manis dalam pidato.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun