DARURAT Pendidikan Anti Korupsi di Tengah Gelombang Generasi Z yang Terjebak Uang Haram
Nur Afifah Balqis, namanya tiba-tiba menyeruak di berbagai lini masa. Bukan karena prestasi akademik atau kontribusinya di bidang sosial, melainkan karena satu label yang berat disematkan padanya: koruptor termuda yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia baru berusia 24 tahun saat dijemput di sebuah pusat perbelanjaan mewah. Bukan sekadar "tersandung," tetapi benar-benar masuk ke dalam sistem yang korup dan ikut bermain di dalamnya.
Sebagai bagian dari Generasi Z, Nur Afifah merepresentasikan generasi yang lahir dan besar dalam dunia digital. Generasi ini dikenal melek teknologi, cakap mencari informasi, bahkan aktif menyuarakan keadilan sosial. Mereka tahu soal antikorupsi, etika publik, bahkan isu global. Tapi kenyataannya, tidak semua anak muda kebal terhadap godaan kuasa dan uang.
Pendidikan antikorupsi yang selama ini digaungkan seolah hanya menjadi simbol semata, masuk dalam kurikulum, tapi gagal menyentuh kesadaran. Ia diajarkan sebagai konsep, bukan sebagai nilai hidup.
Di ruang-ruang kelas, anak-anak Gen Z dikenalkan pada definisi korupsi, jenis-jenis gratifikasi, hingga slogan-slogan idealis. Namun di luar pagar sekolah, mereka melihat realitas berbeda: para pejabat tertawa dalam skandal, uang mengalir tanpa jejak, dan kemewahan yang seringkali lahir dari kebohongan.
Keteladanan tak ada, integritas justru jadi bahan olok-olok. Maka tidak heran jika generasi muda, bahkan yang cerdas dan kritis, bisa tetap tergelincir karena nilai yang diajarkan tak sejalan dengan nilai yang ditampilkan.
Sementara itu, di tengah gempuran media sosial dan budaya instan, uang cepat menjadi ukuran sukses. Apalagi ketika algoritma terus memperlihatkan gaya hidup glamor, liburan mewah, dan endorse jutaan rupiah di usia muda.
Pendidikan antikorupsi tak bisa hanya mengandalkan hafalan dan poster di dinding sekolah. Ia harus hadir sebagai lived experience melibatkan keluarga, komunitas, dan negara sebagai satu kesatuan nilai yang utuh. Jika tidak, maka kita hanya akan mencetak generasi yang pintar secara akademik, tapi miskin kompas moral. Dan Nur Afifah bukan yang pertama, ia hanya permulaan dari generasi yang tumbuh tanpa pagar nilai yang cukup kuat.
Muda, Cerdas, dan Punya Akses: Tapi Salah Pilih Jalan
Alih-alih menjadi pengubah sistem, ia menjadi bagian dari sistem itu sendiri, sistem yang bobrok, penuh kelicikan, dan sangat pragmatis. Di balik semua idealisme yang sering dibicarakan tentang Gen Z, kasus ini membuka realitas bahwa usia muda tidak otomatis menjamin moralitas tinggi. Ketika kesempatan dan celah terbuka, ketika sistem di sekitarnya mengajarkan "asal kamu aman dan pintar mengatur alur uang," maka nilai bisa menjadi barang murah.
Pertanyaannya kemudian: apakah ini sepenuhnya salah individu? Atau ada sesuatu yang lebih besar sedang rusak?
Sistem birokrasi dan politik yang menormalisasi praktik kotor, lingkungan sosial yang menghargai hasil ketimbang proses, dan lemahnya teladan integritas dari para senior di pemerintahan, semuanya bisa menciptakan jebakan yang halus bagi anak muda yang haus pencapaian.
Ketika seorang anak muda diberikan akses terhadap kekuasaan, tanpa bekal nilai yang kuat dan pengawasan yang sehat, hasilnya bisa seperti Nur Afifah: bakat tersesat, potensi yang gagal menjadi inspirasi.
Ini bukan sekadar cerita tentang satu orang Nur Afifah. Tapi, ini adalah cermin retak generasi, yang menampilkan ironi menyakitkan: bahwa bahkan generasi dengan akses informasi terbanyak pun, bisa memilih jalan paling gelap, jika nilai-nilainya rapuh dan sistemnya membusuk.
Tapi apakah akses dan idealisme itu cukup?
Fakta bahwa seorang perempuan muda bisa terlibat dalam kasus dugaan korupsi, bukan sebagai korban, tetapi sebagai bagian aktif menunjukkan bahwa usia muda tidak menjamin moral tinggi. Ini berbeda dengan citra yang dulu, dimana korupsi identik dengan orang yang sudah tua, punya jabatan, dan kekuasaan besar.
Dunia memang sudah berubah. Kini, di tengah sistem yang permisif, budaya yang memuliakan kekayaan instan, dan lingkungan yang minim keteladanan, siapa pun bisa tergoda, bahkan yang kita kira "paling sadar risiko" pun ikut larut dalam lingkaran setan ini.
Refleksi dari Seorang Guru Pendidikan Anti Korupsi
Tahun pelajaran ini, saya diminta mengampu mata pelajaran Pendidikan Anti Korupsi. Sebuah tanggung jawab yang terasa semakin berat setelah menyaksikan fenomena seperti ini. Bagaimana bisa saya mengajak siswa untuk percaya pada nilai-nilai kejujuran, ketika dunia nyata menunjukkan bahwa orang bisa cepat kaya justru dengan melanggar nilai-nilai itu?
Saya sadar, mengajarkan antikorupsi tidak bisa dengan teori saja. Siswa tidak butuh hafalan pasal. Mereka butuh pengalaman nilai. Mereka butuh ruang untuk melihat, merasakan, dan mengalami apa itu integritas. Dan saya sebagai guru tidak cukup hanya menyampaikan, tapi harus menjalani.
Apa yang Harus Saya Lakukan?
1. Mengangkat Kisah Nyata ke dalam Kelas
Saya ingin membawa kasus seperti Nur Afifah ke dalam pembelajaran. Bukan untuk mempermalukan, bukan juga untuk menghakimi, tetapi sebagai studi kasus yang nyata bahwa korupsi bisa terjadi bahkan pada orang yang seusia mereka. Bahwa ini bukan cerita jauh, tapi mungkin terjadi di lingkungan sekitar kita.
2. Membangun Dialog, Bukan Ceramah
Saya ingin ruang kelas menjadi ruang diskusi moral. Saya ingin siswa merenung, bertanya, dan memilih dengan sadar. Materi seperti integritas, tanggung jawab, dan kejujuran harus keluar dari mulut dan hati mereka, bukan sekadar dari modul cetak.
3. Menghadirkan Simulasi dan Dilema Etik
Saya akan ajak mereka bermain peran sebagai pejabat, bendahara OSIS, pelaku usaha, atau bahkan wartawan. Lalu menghadapi dilema nyata: “Apa yang kamu lakukan kalau ditawari 50 juta untuk diam?” Saya ingin mereka merasakan tekanan moral sebelum nanti mengalaminya di dunia nyata.
4. Menjadi Teladan, Sekecil Apa pun Itu
Kalau saya meminta mereka jujur dalam ujian, saya juga harus jujur dalam menilai. Kalau saya minta mereka bertanggung jawab, saya pun harus menunjukkan bahwa saya bisa diandalkan. Pendidikan antikorupsi bukan sekadar pelajaran , ia adalah warisan nilai hidup yang menular lewat contoh.
Tapi Ini Bukan Tugas Guru Saja
Di titik ini, saya sadar kalau saya tidak bisa sendirian. Pendidikan antikorupsi tidak akan berdampak jika hanya ditanggung oleh guru di ruang kelas. Orang tua di rumah harus jadi bagian dari barisan kejujuran. Mereka harus menjadi contoh, tidak memaksa anak berbohong demi nilai, tidak memberi uang untuk "menutup mulut" guru, atau menyiasati aturan demi kenyamanan sendiri.
Pemerintah juga punya tanggung jawab besar: menciptakan sistem yang bersih, terbuka, dan adil. Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat, bukan hanya dari apa yang mereka dengar. Jika yang mereka lihat adalah pejabat yang lolos dari jerat hukum, maka pelajaran integritas hanya tinggal wacana.
Tokoh agama dan tokoh masyarakat pun tak bisa tinggal diam. Nilai moral dan spiritual harus ditegaskan bukan hanya dalam khutbah, tetapi dalam tindakan nyata. Masyarakat harus berhenti memuja kekayaan instan tanpa peduli asal-usulnya. Budaya permisif terhadap kebohongan dan suap harus dihentikan.
Karena sejatinya, pendidikan anti korupsi adalah tanggung jawab kolektif. Jika semua pihak bergerak bersama, nilai-nilai kejujuran tidak hanya diajarkan, tapi akan benar-benar hidup dan diwariskan. Karena generasi yang kuat tidak hanya butuh pengetahuan, tapi juga keberanian untuk memilih yang benar, bahkan saat yang salah lebih menggiurkan.
Ketika Nilai Tak Lagi Laku, Maka Guru Harus Jadi Penjual Nilai
Mungkin saat ini dunia sedang dikuasai oleh mereka yang bisa "mengatur permainan." Tapi saya percaya, di ruang-ruang kelas kita masih ada anak-anak yang ingin jujur, ingin berbuat baik, dan ingin sukses dengan cara benar.
Tugas kita bukan menyelamatkan dunia, tapi menjaga agar satu demi satu murid tidak tenggelam dalam arus nilai yang rusak. Jika mereka semua ingin cepat kaya tanpa proses, tanpa malu, tanpa nilai mungkin karena tak ada yang menunjukkan bahwa hidup bermartabat itu juga mungkin, dan layak diperjuangkan.
Maka saya dan kita semua yang mengajar harus tetap berdiri di sana. Menjadi guru nilai yang tak lelah menyuarakan kejujuran, bahkan jika dunia menyebut itu usang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI