Tanda Tangan Raport: Validasi Orang Tua atau Formalitas Belaka?
"Pa, udah di tanda tangani belum raportku? Kalau belum tanda tangan dulu ya raportnya, mau tak kumpul."
Kalimat itu meluncur ringan dari anak saya suatu pagi ketika ia mau berangkat ke sekolah. Sejenak saya terdiam. Lalu dengan sigap saya mengambil pena dan menandatangani raportnya. Sebenarnya, bukan karena saya sudah membacanya, tapi karena buru-buru. Setelah pembagian raport waktu itu, saya memang sudah melihat raport itu. Namun, baru saya sadar bahwa ada yang ganjil dalam proses ini.
Kita, para orang tua, seringkali hanya menjadi 'penandatangan' tanpa menjadi 'pembaca' yang sungguh-sungguh dari capaian anak kita di sekolah. Raport bukan hanya selembar kertas berisi angka dan huruf, ia adalah cermin dari proses panjang pembelajaran, perjuangan, dan dinamika batin anak-anak kita. Tapi mengapa momen penting ini sering kali hanya berakhir di tanda tangan formalitas?
Raport yang Terlambat Diperiksa
Kebiasaan umum yang terjadi: raport dibuka setelah dibagikan pada hari pembagian raport, lalu ditinggalkan begitu saja. Baru ketika anak akan mengumpulkan kembali, kita diminta untuk membubuhkan tanda tangan. Seolah cukup satu tanda tangan untuk mewakili seluruh keterlibatan emosional, intelektual, dan moral kita dalam pendidikan mereka.
Apakah ini yang kita sebut validasi?
Validasi Sejati: Membaca dengan Hati
Tanda tangan seharusnya bukan hanya simbol administratif, tetapi tanda bahwa kita telah membaca, memahami, dan memberikan perhatian terhadap hasil belajar anak. Lebih dari itu, ia adalah bentuk pengakuan dan afirmasi: "Ayah dan Ibu melihat usahamu, Nak."
Sebenarnya, validasi sejati adalah saat kita duduk bersama anak, membicarakan prosesnya. Dengan hangat kita bisa menanyakan Apa pelajaran yang paling kamu sukai semester ini? Jika ada nilai menurun bisa ditanyakan: mengapa nilai pelajaran ini menurun? Apa tantanganmu di sekolah? Apakah kamu butuh bantuan, atau kamu sudah menemukan solusimu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan dengan tanpa menghakimi dan menyalahkan.
Pertanyaan-pertanyaan itu lebih bernilai dari sekadar tanda tangan. Ia menumbuhkan kepercayaan, membangun komunikasi, dan yang terpenting, memperkuat hubungan emosional. Ini juga untuk menemukan akar permasalahan jika ada yang menurun dari prestasi belajarnya dan anak memerlukan solusi serta bantuan langsung dari orang tua.