Sistem birokrasi dan politik yang menormalisasi praktik kotor, lingkungan sosial yang menghargai hasil ketimbang proses, dan lemahnya teladan integritas dari para senior di pemerintahan, semuanya bisa menciptakan jebakan yang halus bagi anak muda yang haus pencapaian.Â
Ketika seorang anak muda diberikan akses terhadap kekuasaan, tanpa bekal nilai yang kuat dan pengawasan yang sehat, hasilnya bisa seperti Nur Afifah: bakat tersesat, potensi yang gagal menjadi inspirasi.
Ini bukan sekadar cerita tentang satu orang Nur Afifah. Tapi, ini adalah cermin retak generasi, yang menampilkan ironi menyakitkan: bahwa bahkan generasi dengan akses informasi terbanyak pun, bisa memilih jalan paling gelap, jika nilai-nilainya rapuh dan sistemnya membusuk.
Tapi apakah akses dan idealisme itu cukup?
Fakta bahwa seorang perempuan muda bisa terlibat dalam kasus dugaan korupsi, bukan sebagai korban, tetapi sebagai bagian aktif menunjukkan bahwa usia muda tidak menjamin moral tinggi. Ini berbeda dengan citra yang dulu, dimana korupsi identik dengan orang yang sudah tua, punya jabatan, dan kekuasaan besar.
Dunia memang sudah berubah. Kini, di tengah sistem yang permisif, budaya yang memuliakan kekayaan instan, dan lingkungan yang minim keteladanan, siapa pun bisa tergoda, bahkan yang kita kira "paling sadar risiko"Â pun ikut larut dalam lingkaran setan ini.
Refleksi dari Seorang Guru Pendidikan Anti Korupsi
Tahun pelajaran ini, saya diminta mengampu mata pelajaran Pendidikan Anti Korupsi. Sebuah tanggung jawab yang terasa semakin berat setelah menyaksikan fenomena seperti ini. Bagaimana bisa saya mengajak siswa untuk percaya pada nilai-nilai kejujuran, ketika dunia nyata menunjukkan bahwa orang bisa cepat kaya justru dengan melanggar nilai-nilai itu?
Saya sadar, mengajarkan antikorupsi tidak bisa dengan teori saja. Siswa tidak butuh hafalan pasal. Mereka butuh pengalaman nilai. Mereka butuh ruang untuk melihat, merasakan, dan mengalami apa itu integritas. Dan saya sebagai guru tidak cukup hanya menyampaikan, tapi harus menjalani.
Apa yang Harus Saya Lakukan?
1. Mengangkat Kisah Nyata ke dalam Kelas
Saya ingin membawa kasus seperti Nur Afifah ke dalam pembelajaran. Bukan untuk mempermalukan, bukan juga untuk menghakimi, tetapi sebagai studi kasus yang nyata bahwa korupsi bisa terjadi bahkan pada orang yang seusia mereka. Bahwa ini bukan cerita jauh, tapi mungkin terjadi di lingkungan sekitar kita.