Di sudut rumah berdinding bambu itu, tak ada rak buku, tak ada meja belajar. Bahkan meja dan kursi pun tak ada. Tapi harapan tumbuh. Harapan bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar. Tim survei jalur afirmasi melihat langsung-kemiskinan itu bukan data, tapi ia nyata.
“Sang ibu itu tak tahu tentang kurikulum, tidak tahu tentang model pembelajaran, sistem penerimaan murid baru, apalagi regulasi tentang pendidikan. Tapi ia tahu, SPMB sudah dibuka dan segera mendaftarkan anaknya untuk sekolah. Karena ia tahu: sekolah bisa menyelamatkan anaknya.” Mengentaskannya dari jerat kemiskinan sistemik turun temurun. Dan di sekolah negeri ini harapan terakhir mereka." Demikian yang dituturkan pak Bams sapaan akrabnya.
Disparitas yang Menyentak, Harapan yang Melekat
Di satu sisi kota, anak-anak berseragam rapi melangkah ke sekolah dengan gadget canggih dan bekal bergizi. Di sisi lainnya, di sebuah rumah berdinding kayu lapuk dan atap seng berkarat, seorang ibu duduk berharap-bukan minta bantuan, tapi minta kesempatan. Ia tak bicara soal nilai rapor atau ranking kelas. Ia hanya ingin satu: anaknya diterima di sekolah negeri, agar bisa memutus rantai kemiskinan yang selama ini menggulung keluarganya tanpa ampun.
Disparitas itu nyata. Tak sekadar perbedaan ekonomi, tapi juga kesenjangan akses pendidikan, harapan, dan masa depan. Di rumah sederhana itu, pendidikan bukan sekadar kewajiban-ia adalah satu-satunya jalan keluar dari hidup yang keras dan tak adil.
Di Ujung Lorong Kemiskinan, Ada Pintu Bernama Pendidikan
Ini bukan skenario sinetron sore hari, atau Drakor yang menyajikan gemerlap dunia. Ini adalah kenyataan yang ditemukan ketika tim survei jalur afirmasi sekolah negeri menyambangi rumah salah satu calon siswa.
Ketimpangan yang Tak Tercatat dalam Data
Di atas kertas pendaftaran SPMB, semuanya terlihat teratur. Formulir terisi, berkas lengkap, dan proses administratif berjalan. Namun, tidak semua hal bisa ditakar lewat fotokopi KTP atau surat keterangan tidak mampu. Kemiskinan tidak selalu bisa dilampirkan dalam selembar dokumen. Ia terlihat dari dinding rumah geribik bambu, dinding papan yang mengelupas, dari sandal jepit yang bolong, dari meja belajar yang tak pernah ada.