Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Di Balik Rumah Reyot Itu, Ada Anak yang Ingin Sekolah

26 Juni 2025   11:30 Diperbarui: 30 Juni 2025   09:25 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di ruang sempit yang diterangi cahaya dari celah dinding, seorang ibu duduk menyimpan harapan. Sumber: Dok. Pribadi

Di sudut rumah berdinding bambu itu, tak ada rak buku, tak ada meja belajar. Bahkan meja dan kursi pun tak ada. Tapi harapan tumbuh. Harapan bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar. Tim survei jalur afirmasi melihat langsung-kemiskinan itu bukan data, tapi ia nyata. 

“Sang ibu itu tak tahu tentang kurikulum, tidak tahu tentang model pembelajaran, sistem penerimaan murid baru, apalagi regulasi tentang pendidikan. Tapi ia tahu, SPMB sudah dibuka dan segera mendaftarkan anaknya untuk sekolah. Karena ia tahu: sekolah bisa menyelamatkan anaknya.” Mengentaskannya dari jerat kemiskinan sistemik turun temurun. Dan di sekolah negeri ini harapan terakhir mereka." Demikian yang dituturkan pak Bams sapaan akrabnya.

Disparitas yang Menyentak, Harapan yang Melekat

Di satu sisi kota, anak-anak berseragam rapi melangkah ke sekolah dengan gadget canggih dan bekal bergizi. Di sisi lainnya, di sebuah rumah berdinding kayu lapuk dan atap seng berkarat, seorang ibu duduk berharap-bukan minta bantuan, tapi minta kesempatan. Ia tak bicara soal nilai rapor atau ranking kelas. Ia hanya ingin satu: anaknya diterima di sekolah negeri, agar bisa memutus rantai kemiskinan yang selama ini menggulung keluarganya tanpa ampun.

Disparitas itu nyata. Tak sekadar perbedaan ekonomi, tapi juga kesenjangan akses pendidikan, harapan, dan masa depan. Di rumah sederhana itu, pendidikan bukan sekadar kewajiban-ia adalah satu-satunya jalan keluar dari hidup yang keras dan tak adil.

Di Ujung Lorong Kemiskinan, Ada Pintu Bernama Pendidikan

Ini bukan sekadar survei. Ini tentang melihat langsung kenyataan yang tak tercatat di formulir. Sumber: Dok. Pribadi
Ini bukan sekadar survei. Ini tentang melihat langsung kenyataan yang tak tercatat di formulir. Sumber: Dok. Pribadi
Sementara itu, di tempat yang berbeda, di tengah panas terik. Di bawah pohon mangga tua dan atap seng yang mulai rapuh, dua orang perempuan duduk berhadapan. Satu mengenakan baju dinas batik PGRI, satu lagi berpakaian sederhana dengan tatapan yang tak pernah lepas dari selembar kertas formulir. Di sampingnya, seorang anak kecil tertidur di atas kasur tipis yang langsung bersentuhan dengan tanah. Iya, di alam terbuka.

Ini bukan skenario sinetron sore hari, atau Drakor yang menyajikan gemerlap dunia. Ini adalah kenyataan yang ditemukan ketika tim survei jalur afirmasi sekolah negeri menyambangi rumah salah satu calon siswa.

Ketimpangan yang Tak Tercatat dalam Data

Di atas kertas pendaftaran SPMB, semuanya terlihat teratur. Formulir terisi, berkas lengkap, dan proses administratif berjalan. Namun, tidak semua hal bisa ditakar lewat fotokopi KTP atau surat keterangan tidak mampu. Kemiskinan tidak selalu bisa dilampirkan dalam selembar dokumen. Ia terlihat dari dinding rumah geribik bambu, dinding papan yang mengelupas, dari sandal jepit yang bolong, dari meja belajar yang tak pernah ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun