Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis

Pegiat Literasi Politik Domestik | Kompasianer

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Mengapa Menteri Agama Tak Pernah Bergiliran?

14 September 2025   08:49 Diperbarui: 14 September 2025   08:49 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bersama para menteri Kabinet Merah Putih (21/10/2024) | ANTARA/Hafidz Mubarak A.

Alasan yang paling sering dipakai untuk membenarkan hal ini adalah: "Karena umat Islam adalah mayoritas, maka Menteri Agama wajar berasal dari Islam." Sekilas terdengar logis. Tetapi mari kita renungkan lebih dalam.

Jika benar logika mayoritas itu yang dipakai, apakah itu berarti umat beragama lain tidak layak dipercaya untuk mengelola kementerian yang juga menaungi kehidupan mereka? Bukankah itu sama saja dengan meneguhkan perbedaan kelas antara warga negara?

Kita tidak boleh lupa, kementerian ini bukan Kementerian Urusan Islam, melainkan Kementerian Agama Republik Indonesia. Ia ada untuk mengurus semua agama yang diakui negara: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Maka tidak ada alasan mendasar untuk membiarkan satu agama saja selalu memimpin.

Keadilan dan Simbol Kebangsaan

Membuka kesempatan agar jabatan Menteri Agama bergiliran justru bisa memperkuat fondasi kebangsaan.

Pertama, ia menjadi simbol keadilan. Umat beragama lain merasa diakui, dihargai, dan diberi tempat setara dalam kehidupan berbangsa. Simbol seperti ini tidak bisa diremehkan. Dalam masyarakat yang plural, pengakuan formal sering lebih berarti daripada sekadar janji manis persatuan.

Kedua, ia memperkuat rasa kebersamaan. Bayangkan bila seorang tokoh Kristen dipercaya menjadi Menteri Agama. Ia akan mengelola kementerian bukan untuk umat Kristen saja, melainkan untuk seluruh umat beragama.

Justru di situlah keindahannya: seorang pemeluk agama tertentu belajar mengayomi semua, dan masyarakat menyaksikan langsung bahwa jabatan itu bukan monopoli satu kelompok.

Ketiga, ia mendidik publik bahwa negara ini bukan milik mayoritas semata, melainkan rumah bersama. Dalam rumah bersama, setiap penghuni berhak menjadi tuan rumah bergantian.

Politik yang Mendidik

Memang benar, jabatan menteri adalah jabatan politik. Presiden tentu mempertimbangkan stabilitas dan dukungan mayoritas dalam memilih pembantunya. Namun, di sinilah pentingnya visi kenegarawanan: politik bukan sekadar urusan mempertahankan kursi, tetapi juga mendidik masyarakat untuk hidup lebih adil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun