Setiap kali Presiden Republik Indonesia mengumumkan susunan kabinetnya, ada satu kursi yang hampir dapat ditebak siapa yang akan mendudukinya: kursi Menteri Agama.
Dari masa ke masa, sejak awal berdirinya kementerian ini hingga sekarang, jabatan itu hampir selalu dipercayakan kepada tokoh yang beragama Islam. Lama-kelamaan, publik seakan menerima begitu saja seolah-olah memang begitulah seharusnya.
Namun mari kita berhenti sejenak dan bertanya dengan jujur: mengapa posisi Menteri Agama tidak pernah bergiliran? Bukankah kementerian ini mengurus semua agama di Indonesia, bukan hanya satu? Bukankah Indonesia adalah negara beragama, bukan negara agama?
Pertanyaan ini bukan sekadar menggugat tradisi, melainkan menguji konsistensi kita pada prinsip dasar kebangsaan.
Sejarah yang Jadi Kebiasaan
Kementerian Agama lahir pada tahun 1946 dalam konteks politik yang penuh suasana tarik-menarik.
Kala itu, ada tuntutan kuat dari kelompok Islam agar negara memberi perhatian serius pada urusan umat mayoritas, khususnya soal penyelenggaraan haji dan pendidikan agama. Akhirnya, sebagai jalan tengah, dibentuklah kementerian ini. Sejak saat itu, kursi Menteri Agama hampir selalu diisi oleh tokoh Islam.
Yang menarik, tidak pernah ada aturan hukum yang mewajibkan hal itu. Tidak ada pasal dalam UUD 1945, tidak ada peraturan pemerintah, tidak ada ketetapan MPR yang mengatakan: "Menteri Agama harus seorang muslim." Tetapi karena selalu terjadi berulang, lama-kelamaan ia berubah menjadi semacam "pakem tak tertulis".
Tradisi ini kemudian dianggap wajar, padahal sesungguhnya lahir dari kompromi politik masa lalu, bukan dari prinsip keadilan yang abadi.
Logika Mayoritas yang Lemah