Saya tidak sedang mengkritik ibadah haji atau umrah, itu jelas suci dan luhur bagi umat Muslim. Yang saya soroti adalah posisi negara. Apakah negara masih netral, atau sudah melangkah terlalu jauh ke dalam wilayah sakral umat tertentu?
Pertanyaan itu semakin penting ketika kita melihat anggaran kementerian yang nilainya bisa mencapai belasan hingga puluhan triliun rupiah setiap tahunnya, meski sebagian memang berasal dari setoran jemaah, tetap saja ada biaya besar dari APBN untuk gaji, operasional, dan fasilitas birokrasi.
Dan jangan lupa, selama ini Indonesia sebenarnya sudah memiliki Kementerian Agama. Kementerian ini secara umum memang bertugas mengurus urusan keagamaan, termasuk pelayanan ibadah haji. Jadi, pertanyaan semakin tajam: mengapa harus ada struktur birokrasi tambahan yang khusus, padahal fungsi serupa sudah melekat di Kementerian Agama (sebelumnya)? Apakah kita sedang membangun efisiensi, atau justru menduplikasi birokrasi?
Bayangkan Seandainya...
Mari kita berandai-andai. Kalau negara menganggap wajar membentuk kementerian untuk haji dan umrah, bukankah umat agama lain juga berhak menuntut perlakuan sama?
Mengapa tidak ada kementerian khusus untuk mengurus perjalanan ziarah umat Katolik ke Lourdes atau Vatikan? Mengapa tidak ada kementerian khusus yang memfasilitasi umat Hindu Indonesia yang ingin ikut Kumbh Mela di India? Atau kementerian yang mengurus umat Buddha yang ingin berziarah ke Bodh Gaya?
Kalau logika yang dipakai adalah "karena itu ibadah besar dan penting bagi umat," maka semua agama bisa mengajukan alasan serupa. Tapi, apakah realistis kalau negara harus menambah kementerian untuk setiap ibadah lintas agama? Bukankah itu justru akan memperbesar birokrasi, memperlebar anggaran, dan semakin membebani APBN?
Dari sini kita bisa melihat bahwa keberadaan kementerian khusus untuk satu ibadah agama memang menimbulkan dilema keadilan.
Menarik Garis Keadilan
Keadilan itu sebenarnya sederhana: setiap orang yang membayar pajak berhak merasakan manfaat yang proporsional dari pajak tersebut.
Tidak boleh ada kelompok yang mendapat lebih hanya karena kebetulan jumlah mereka lebih banyak, sementara kelompok lain diabaikan.
Kalau negara terus mempertahankan kementerian khusus untuk urusan ibadah tertentu, rasa keadilan itu akan makin sulit dijaga. Perlahan-lahan, masyarakat akan bertanya: apakah negara ini benar-benar berdiri untuk semua, atau hanya melayani sebagian?
Lalu, Apa Jalan Tengahnya?
Menurut saya, ada dua jalan pemikiran yang bisa dipertimbangkan: