Demonstrasi adalah wajah paling nyata dari demokrasi. Ia menjadi ruang di mana rakyat bersuara, menyampaikan keresahan, bahkan menggugat penguasa. Jalanan berubah menjadi mimbar, teriakan menjadi orasi, dan poster menjadi kitab protes. Namun, di negara yang mengaku demokratis, tak jarang demonstrasi justru berubah menjadi panggung penuh konspirasi.
Kita sering bertanya-tanya: apakah demonstrasi benar-benar murni lahir dari suara rakyat, ataukah hanya sandiwara yang disutradarai oleh mereka yang berkepentingan? Pertanyaan itu wajar, sebab pola yang berulang membuat kita sulit menutup mata.
Antara Aspirasi Tulus dan Skenario Tersembunyi
Dalam setiap demonstrasi, selalu ada dua wajah. Wajah pertama adalah yang tulus, yaitu rakyat yang muak terhadap kebijakan, buruh yang ditindas haknya, mahasiswa yang resah pada masa depan bangsa, masyarakat kecil yang marah karena harga kebutuhan pokok melambung. Mereka turun ke jalan dengan tenaga sendiri, mengorbankan waktu, bahkan berhadapan dengan risiko ditangkap aparat.
Namun ada wajah lain yang lebih gelap, yakni demonstrasi yang digerakkan oleh kepentingan politik. Massa bisa direkrut, dibiayai, bahkan diskenariokan. Ada yang benar-benar tidak paham isu, hanya ikut karena "undangan" atau karena amplop. Inilah wajah konspirasi yang merusak makna demokrasi.
Pola Berulang: Dari Damai Menjadi Ricuh
Ada pola yang mencurigakan dan nyaris selalu sama. Aksi dimulai dengan damai: orasi berjalan, spanduk dibentang, tuntutan dibacakan. Tetapi menjelang sore atau di titik tertentu, tiba-tiba kericuhan pecah. Batu melayang, ban terbakar, fasilitas publik hancur. Aparat pun bertindak keras. Media kemudian menyorot adegan chaos itu berulang-ulang, menutupi substansi tuntutan yang seharusnya menjadi fokus.
Apakah kericuhan itu spontan? Belum tentu. Banyak kasus menunjukkan adanya provokasi terencana. Penyusup yang membaur dengan massa, lalu memicu bentrok. Ironisnya, setelah itu rakyat yang tulus turut demo ikut tercoreng. Publik yang tadinya simpati, berubah marah kepada para pendemo. Tuntutan yang substantif tenggelam di balik headline "demo rusuh."
Konspirasi Sebagai Alat Pengalihan Isu
Di negara demokrasi yang rapuh, konspirasi demonstrasi sering dipakai sebagai strategi pengalihan isu. Ketika ada skandal besar, antara lain korupsi pejabat tinggi, kebijakan yang menekan rakyat, atau kegagalan pemerintah, tiba-tiba terjadi aksi massa yang ricuh. Semua mata tertuju pada kerusuhan, sementara isu utama hilang dari perhatian.
Rakyat dipaksa puas hanya dengan penangkapan "oknum provokator." Sementara akar persoalan, seperti perampokan uang negara atau penyalahgunaan kekuasaan, tetap aman di meja para elite. Dengan kata lain, kerusuhan dijadikan tameng untuk menyelamatkan penguasa.
Dalang di Balik Layar
Kita harus berani jujur: demonstrasi bisa saja dijadikan senjata politik. Bagi oposisi, demo bisa dipakai untuk melemahkan pemerintah dengan menunjukkan seolah-olah rakyat tidak puas. Bagi pemerintah, demo juga bisa dipelihara agar mencoreng lawan politik. Kadang, keduanya bertemu di tengah jalan: rakyat dijadikan pion dalam permainan catur kekuasaan.
Di sinilah demokrasi berubah menjadi ilusi. Rakyat merasa berteriak, tetapi sebenarnya hanya dimanfaatkan. Gerakan massa yang seharusnya murni, diatur sedemikian rupa untuk kepentingan segelintir elite.