Prahara itu dimulai pada akhir pekan yang seharusnya tenang.Â
Sejak Sabtu, 30 Agustus 2025, hingga Minggu, 31 Agustus 2025, gelombang demonstrasi yang mengguncang berbagai kota di Indonesia bergeser ke ranah yang lebih gelap: penjarahan rumah-rumah pejabat. Ini bukan lagi sekadar protes, melainkan perusakan terencana yang menargetkan simbol-simbol kekuasaan.
Di Jakarta, massa merangsek ke rumah Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni di Tanjung Priok, menjarah perabotan hingga dokumen. Di kawasan Kuningan, rumah anggota DPR Eko Patrio dan selebritas Uya Kuya di Duren Sawit juga tak luput dari sasaran. Penjarahan bahkan menyentuh rumah anggota DPR Nafa Urbach dan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Tangerang Selatan.
Ini semua bukan tindakan acak. Ini adalah sebuah anomali yang membutuhkan jawaban.
Sebagai seorang pengamat, naluri detektif saya berbisik: "Ada dalang di balik semua ini." Kekacauan ini bukanlah produk spontanitas, melainkan sebuah naskah yang terencana, menunggu aktor-aktornya memainkan peran.
Misteri di Balik "Kelemahan" Antisipasi: Siapa Dalang di Balik Layar?
Pertanyaan pertama yang harus kita pecahkan adalah yang paling fundamental: Mengapa intelijen seolah kecolongan?
Gerbang keamanan, yang seharusnya menjadi benteng terakhir, justru terlihat terbuka lebar. Rumah-rumah pejabat, yang lazimnya menjadi target proteksi khusus, malah diobrak-abrik.
Saya tahu, intelijen memiliki tugas yang kompleks, namun deteksi dini adalah inti pekerjaan mereka.
Jika informasi tentang rencana penjarahan, apalagi yang menargetkan figur publik, tidak terendus, atau lebih parah lagi, terendus tapi tidak direspon, maka ada yang tidak beres.
Hal ini membawa kita pada dua kemungkinan "tersangka" utama yang beroperasi di balik layar. Mereka adalah para individu yang lihai mengubah kekacauan menjadi keuntungan, yaitu avonturir politik dan conflict entrepreneur.