Mungkin ada yang bertanya, mengapa saya memakai istilah "membuat lowongan kerja" alih-alih "membuat lapangan kerja." Ini bukan salah tulis, juga bukan karena miskin kosakata. Saya sengaja memilih kata lowongan karena ia menyimpan makna yang lebih personal: sebuah kursi kosong yang bisa kita duduki, ruang yang kita ciptakan sendiri ketika pintu orang lain tertutup. Jika lapangan kerja terdengar luas dan struktural, lowongan kerja justru menohok pada level individu, yaitu tentang keberanian membuat ruang baru, meski hanya satu, bahkan jika awalnya hanya untuk diri kita sendiri.
Saya membaca sebuah berita yang begitu menusuk: seorang pria lulusan S-1 kimia dari Universitas Indonesia (UI), mengaku telah mengirimkan lebih dari seribu lamaran kerja, tetapi tak satu pun membuahkan hasil. Seribu, bukan seratus. Angka itu cukup untuk membuat siapa pun merenung panjang.
Apa yang salah? Apakah dirinya tidak cukup pintar? Tidak cukup layak? Ataukah dunia kerja kita yang semakin sempit, penuh dengan persaingan, hingga ijazah universitas ternama pun tak lagi menjamin?
Cerita itu mengingatkan saya pada sebuah kenyataan yang sering luput kita sadari, bahwa dunia kerja tidak selalu adil.
Ada orang yang cukup sekali melamar sudah langsung diterima, ada yang berkali-kali mencoba dan tetap ditolak. Ada yang hanya mengandalkan koneksi, ada pula yang rela menghabiskan waktu bertahun-tahun menunggu panggilan yang tak pernah datang.
Namun, berita itu juga menyalakan pertanyaan lain: apakah hidup hanya sebatas menunggu pintu dibukakan orang lain? Atau kita bisa belajar untuk mengetuk pintu yang baru, atau bahkan membangunnya sendiri?
Menolak Menjadi Penonton Nasib
Kalau lamaran kerjamu ditolak, itu memang menyakitkan. Rasa minder, kecewa, bahkan marah bisa bercampur jadi satu. Tapi terlalu lama berdiam dalam penolakan hanya akan membuat kita terjebak.
Pada titik tertentu, kita perlu berani mengubah arah. Alih-alih hanya menjadi pencari kerja, mungkin kita ditantang untuk menjadi pencipta kerja.