Opini Publik
Oleh: Triwahyudi, Aktivis Peduli Bumi Pertiwi
Dua isu hukum terus saja menjadi perdebatan tanpa ujung: hukuman mati dan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA). Keduanya berbeda secara substansi, tetapi sama-sama menyentuh persoalan fundamental: bagaimana negara melindungi warganya sekaligus menegakkan keadilan. Polemiknya pun mirip: sebagian menolak atas nama hak asasi, sebagian lain menuntut ditegakkan demi efek jera dan kepastian hukum.
Saya memposisikan diri di kubu pendukung, mendukung hukuman mati dan mendukung RUU Perampasan Aset --- tentu dengan catatan kritis agar keduanya tidak berubah menjadi alat represi negara.
Hukuman Mati: Kenapa Saya Dukung
Kejahatan luar biasa memerlukan hukuman luar biasa. Korupsi besar yang merugikan negara ratusan triliun, narkoba yang merusak generasi, hingga terorisme yang mengancam nyawa banyak orang --- itu bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap kehidupan bersama.
Hak untuk hidup memang prinsip dasar HAM. Tetapi hak itu tidak berdiri sendiri. Ia melekat dengan kewajiban untuk tidak merampas hak hidup orang lain. Saat seseorang secara sadar dan terencana menghilangkan nyawa, merusak masa depan generasi, atau menjarah harta publik hingga rakyat menderita, maka negara berhak menggunakan hukuman mati sebagai bentuk perlindungan.
Namun catatan saya jelas:
Hukuman mati hanya boleh diterapkan pada extraordinary crime dengan bukti kuat dan proses hukum yang akuntabel.
Harus ada standar peradilan yang tinggi: akses pembelaan, transparansi bukti, serta mekanisme banding yang terbuka.
Eksekusi mati tidak boleh dijadikan tontonan politik atau bahan dagangan diplomasi.
Dengan catatan itu, hukuman mati bukan sekadar balas dendam, melainkan instrumen negara menjaga nyawa jauh lebih banyak orang.
RUU Perampasan Aset: Kenapa Saya Dukung
Korupsi dan kejahatan ekonomi di Indonesia tak pernah sepi. Uang hasil jarahan beredar, aset disamarkan, pelaku lari ke luar negeri, dan rakyat dibiarkan menanggung kerugian. Mekanisme hukum pidana konvensional terlalu lambat dan seringkali tumpul.
RUU Perampasan Aset memberi solusi. Prinsip non-conviction based asset forfeiture memungkinkan negara menyita aset hasil kejahatan meski belum ada putusan pidana tetap. Ini penting agar harta rakyat tidak terus diparkir di rekening para penjahat berdasi.
Saya mendukung RUU ini dengan syarat:
Ada perlindungan kuat bagi pihak ketiga beritikad baik agar aset sah milik orang tak bersalah tidak ikut dirampas.
Beban pembuktian terbalik diterapkan secara adil dengan akses bantuan hukum bagi siapa pun yang dituduh.
Pengelolaan aset hasil rampasan dilakukan oleh lembaga independen dengan pengawasan publik, bukan di tangan birokrasi yang rawan korupsi.
Dengan pengaturan ketat, RUU ini akan menjadi senjata ampuh memberantas korupsi dan mengembalikan kekayaan negara untuk rakyat.
Benang Merah: Perlindungan Negara
Sekilas hukuman mati dan RUU Perampasan Aset tampak berbeda. Yang satu bicara soal nyawa, yang lain soal harta. Tapi keduanya menyimpan benang merah yang sama: keduanya adalah instrumen negara untuk melindungi masyarakat luas dari kerugian besar akibat kejahatan luar biasa.
Masalahnya, tanpa keberanian politik, keduanya hanya akan menjadi polemik tak berkesudahan. Penolakan demi penolakan kerap hanya menunda keadilan. Apalagi bila alasan penolakan lebih karena kepentingan kelompok tertentu yang takut kepentingannya terganggu.
Jadi?
Saya memilih berdiri di posisi mendukung, dengan syarat jelas:
Hukuman mati harus ditegakkan secara adil, transparan, dan terbatas pada kejahatan luar biasa.
RUU Perampasan Aset harus disahkan segera, tetapi dengan pengawasan kuat agar tidak berubah menjadi alat perampasan semena-mena.
Negara tidak boleh ragu. Perlindungan terhadap rakyat bukan hanya soal jargon, tapi soal tindakan nyata. Kalau hukuman mati dan perampasan aset bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa dan mengembalikan kekayaan negara, maka mendukung keduanya bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI