Mohon tunggu...
Trisnawati
Trisnawati Mohon Tunggu... Pendidik di SMK Negeri 3 Sampit, Provinsi Kalimantan Tengah

Menulis adalah kebebasan berekspresi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam Lebaran

21 Maret 2025   19:47 Diperbarui: 21 Maret 2025   19:47 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto ilustrasi pawai obor malam lebaran, sumber:canva)

Bulan telah merebak senyum di permukaan malam. Bayangnya memberikan pantulan cahaya indah pada remang malam di atas sungai yang mengaliri kampungku. Gemericik sungai yang tenang mengalunkan lagu-lagu syahdu pertanda kekuasaan-Nya yang begitu besar. "Allahuakbar...Allahuakbar...Allahuakbar...lailahaillallahuallahuakbar, Allahuakbar walillahilham". Gema takbir yang begitu merdu mampu menggetarkan seluruh jiwa yang mendengarnya. Yah, malam ini adalah malam Hari Raya Idul Fitri. Malam yang ditunggu-tunggu semua Umat muslim di belahan dunia mana pun. Tanpa terkecuali di kampung kecilku yang sederhana ini.

Obor yang dibuat dari bambu pun telah dipasang di depan-depan rumah kami, maklumlah di kampung kecil seperti ini hanya sebagian orang berlistrik. Itu pun menggunakan mesin dumping. Begitu juga dengan rumahku, hanya remang-remang yang terlihat karena memang kami tak berlistrik. cahaya pelitalah yang menemani malam-malam kami.

"Tari!" Ayah memanggilku, kulihat Ayah siap dengan koko putih lengkap dengan sarung berwarna hijau kotak-kotaknya. Tidak lupa peci hitam lusuh yang selalu melekat di kepalanya. Ayah kepala sekolah di kampungku. Ayah bertugas sejak 15 tahun lalu. Kerutan di dahi Ayah pertanda bahwa Ayah orang yang suka berpikir dan agak pemarah. Ayah juga tegas dalam mendidikku, itulah sebab aku sangat menghormatinya.

Malam ini, aku diajak untuk mengikuti pawai obor menyambut hari raya Idul Fitri, yang sudah menjadi kebiasaan di kampung setiap malam lebaran. Pawai ini diikuti seluruh siswa di sekolah tempat Ayahku mengajar. Tapi tidak denganku, sebelumnya aku sudah menolak untuk mengikuti pawai obor, padahal Ayah sudah membuatkan untukku sebuah obor bambu. Aku lebih memilih tidur dikeremangan kamar dari pada harus berjalan keliling kampung untuk menyambut lebaran besok. Ayah mengatakan bahwa lebaran harus disambut meriah dan suka cita. Walau terpaksa, Aku berangkat mengenakan busana muslim berwarna merah muda lengkap dengan kerudung yang menutup kepalaku. Busana ini sudah menggantung di bagian kaki dan tanganku, maklumlah di kehidupan kami yang sederhana ini, Ayah dan Ibu tak sanggup untuk mengganti baju anak-anaknya setiap bulan. Terkadang, Ibu membelikan baju untukku hanya setahun sekali, itu pun disesuaikan dengan kondisi keuangan.

Takbir masih menggema di mesjid kampungku, tawa ceria warga dan anak-anak menambah semaraknya malam lebaran ini. Bulan mulai merambah di separuh langit. Cahayanya terang benderang di tengah kegelapan kampung. Jalan-jalan terang dengan cahaya obor bambu. Aku masuk dibarisan anak-anak yang ikut pawai obor. Ayah maju ke barisan depan untuk mengomando, kupegang erat obor bambu yang kubawa. Takbir menggema lewat suara Ayah. Warga yang duduk di tangga-tangga rumah ikut melantunkan takbir. Dari wajah mereka kutemukan arti kemenangan itu. Seringkali mereka memberikan kami sepotong ketupat." Oh, ternyata mengikuti pawai obor menyenangkan." Aku berbisik pelan, hatiku mulai senang mengikuti pawai obor ini. Ayah masih tetap memberikan komando sesekali tangannya diangkat seperti orang berdoa. Dan kami mengikutinya.

Angin malam mulai merasuk tubuhku, dingin merambat perlahan tapi takbir masih berkumandang di mesjid dan di jalan kampung, bulan masih bersinar ketika terdengar jeritan yang memecah kesyahduan takbir. Aku terperanjat, langkah-langkah terhenti seketika. Desas-desus ketakutan mulai membuatku resah. Kulihat Ayah mulai mencari-cari asal jeritan itu. Seorang warga menghampiri Ayah.

"Ada apa Pak Guru? Siapa yang berteriak?" tanyanya dengan wajah yang ketakutan.

"Saya tidak tahu pak, tapi arah suaranya dari sana. Mari kita cek." kata Ayah dengan berani. Kulihat Ayah berjalan dengan Pak Danan, diikuti beberapa warga lain.

Jantungku berdegup kencang, apa gerangan yang membuat orang itu berteriak. Siapkah orang itu? Pawai obor dihentikan karena jeritan itu. Tapi nyala obor bambu masih setia menerangi. Dalam hati aku berdoa semoga tidak terjadi apa-apa. Tiba-tiba Ayah berlari ke arahku dengan sangat cepat diraihnya obor bambu yang kupegang. "Untuk apa Ayah?" Aku bertanya dengan kebingungan sekaligus takut.

" Ada maling di sana!" kata Ayah dengan yakin. Aku masih penasaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun