Mohon tunggu...
Tripviana Hagnese
Tripviana Hagnese Mohon Tunggu... Bisnis, Penulis, Baker

Saya seorang istri, ibu rumah tangga, yang juga mengelola bisnis, ada bakery, laundry, dan parfum.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[Cerbung Episode 11] Goresan Takdir di Atas Kanvas

19 September 2025   19:22 Diperbarui: 19 September 2025   16:45 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Milik Tripviana Hagnese: Goresan Takdir di Atas Kanvas

Gambar Milik Tripviana Hagnese: [Cerbung Episode 11] Goresan Takdir di Atas Kanvas
Gambar Milik Tripviana Hagnese: [Cerbung Episode 11] Goresan Takdir di Atas Kanvas

Episode 11: Pelarian dan Sebuah Pertemuan Tak Terduga

Sasha merasa hancur. Dikhianati oleh Rendy, diabaikan oleh ayahnya, dan kini dikecewakan oleh Darius—pria yang ia mulai percayai. Hatinya sakit, penuh amarah dan kekecewaan. Tanpa berpikir panjang, ia mengemasi barang-barangnya, melarikan diri dari Jakarta, dari semua orang yang ingin mengendalikan dan memanfaatkannya. Tujuannya hanya satu: mencari ketenangan di tempat yang jauh.

Ia menemukan pelarian itu di Bali. Ia menyewa sebuah vila kecil dan sederhana, terbuat dari kayu yang dicat putih, dengan atap alang-alang yang menaungi teras kecilnya. Pemandangan dari teras itu adalah surga: pantai yang tenang, air laut biru jernih yang berbaris rapi dengan pasir putih bersih. Jauh dari hiruk pikuk kota, ia merasa seperti bernapas lagi. Ia mematikan ponselnya, memutus kontak dengan dunia luar.

Saat Sasha melarikan diri, Darius terus mencarinya. Panggilan teleponnya tak terhitung, pesannya tak dibalas. Ia frustrasi, tapi ia tahu, ia tidak bisa memaksakan kehendaknya pada Sasha.

Di sisi lain, Adnan berusaha memanfaatkan situasi. Ia terus menghubungi Sasha, mencoba menunjukkan dirinya sebagai satu-satunya orang yang peduli. "Sasha, di mana kamu? Aku bisa menemanimu," bujuknya. "Biarkan aku yang melindungi kamu dari pria manipulatif itu." Tapi Sasha hanya ingin sendiri. Ia tidak memberi tahu Adnan keberadaannya. Ia hanya ingin hening.

Di pantai pribadi di depan vilanya, yang hanya berjejer beberapa cottage, Sasha mulai melukis. Ia melukis dengan amarah, menuangkan semua emosinya. Garis-garisnya kasar, warnanya gelap, merefleksikan gejolak jiwanya.

Suatu sore, saat ia sedang melukis, sepasang suami istri senior berjalan melintasi pantai. Pria itu tampak gagah dengan rambut yang mulai memutih, mengenakan kemeja linen putih dan celana pendek selutut. Wanita di sampingnya anggun dengan gaun musim panas, rambutnya digelung rapi, dan matanya memancarkan kehangatan yang familiar. Mereka berjalan beriringan, tangan mereka saling bertautan erat, seolah tak ada yang bisa memisahkan mereka. Sasha merasa ada sesuatu yang familiar dari raut wajah mereka, terutama mata mereka yang terlihat tenang namun penuh makna.

Pasangan itu berhenti dan mengamati lukisan Sasha.

"Lukisan ini... penuh emosi," ujar si pria senior, suaranya dalam dan tenang. "Penuh luka dan gairah."

"Lukisan ini indah sekali, Nak," timpal si wanita senior. "Siapa nama kamu?"

"Sasha," jawab Sasha, sedikit terkejut dengan kehangatan yang mereka pancarkan. "Terima kasih."

"Kami Jane dan Daniel," kata wanita itu. "Kami menginap di vila sebelah."

Mereka berdua duduk di samping Sasha. Sasha, yang biasanya tertutup, entah mengapa merasa nyaman dengan kehadiran mereka. Ia mulai bercerita. Ia menceritakan tentang perasaannya yang hancur, tentang pria yang ia anggap berkhianat dan teman yang ia kira peduli, tentang lukisan "Terperangkap dalam Kemewahan" dan bagaimana ia merasa seperti itu.

"Nak," kata Daniel, menatap Sasha dengan bijaksana. "Seorang seniman hebat tidak hanya melukis apa yang ia lihat, tetapi juga apa yang ia rasakan. Tapi, kamu tidak bisa membiarkan amarah dan ketakutan mengendalikan kuasmu. Kamu harus mencari kebenaran, bukan hanya dari kata-kata orang lain, tetapi dari hatimu sendiri."

"Bagaimana aku tahu mana yang benar?" tanya Sasha, suaranya serak. "Aku sudah terlalu banyak dikhianati."

"Masa lalu tidak bisa menjadi alasan untuk lari dari masa depan," timpal Jane lembut. "Dengarkan hatimu. Luka itu ada untuk memberimu pelajaran, bukan untuk mengikatmu. Dengarkan apa yang dikatakan hatimu tentang pria itu. Apakah ia benar-benar seburuk yang orang-orang katakan?"

Sasha terdiam, ia memikirkan Darius. Ia memikirkan bagaimana Darius memberinya ruang, bagaimana ia datang mencarinya. Hatinya mulai meyakini ada yang salah, namun pikirannya masih diselimuti keraguan.

"Nak," lanjut Daniel, seolah membaca pikirannya. "Jangan biarkan orang lain menulis ceritamu. Kamu adalah satu-satunya penulis. Sebelum kamu menghakimi seseorang, konfirmasi langsung. Pergi dan cari tahu sendiri. Kami yakin kamu bisa."

Kata-kata itu bagai pencerahan. Sasha menyadari ia telah menghakimi Darius tanpa memberinya kesempatan. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Ia berterima kasih pada pasangan senior itu, dan merasa harus segera pulang.

Sasha menyalakan ponselnya. Ratusan notifikasi masuk. Ia melihat panggilan tak terjawab dari Darius, pesan-pesan yang tak terbaca, dan di antara semua itu, sebuah pesan dari Bu Anisa, pemilik galerinya. Sasha, lihat berita sekarang! Ini bukan yang kamu pikirkan!

Dengan tangan gemetar, Sasha menyalakan televisi di vilanya. Layar menunjukkan siaran berita. "The Capital Group melaporkan oknum penyebar berita palsu yang berniat merusak reputasi perusahaan," lapor pembawa berita. "Berita kebangkrutan yang melibatkan pameran seni adalah hoax. Penyebar berita adalah salah satu kompetitor The Capital Group yang ingin merusak citra mereka."

Sasha merasa lega, tetapi juga merasa bersalah. Ia telah menghakimi Darius. Ia telah menuduhnya, dan ia tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan.

Sebelum kembali, Sasha pergi ke resepsionis. "Maaf, apa ada tamu bernama Jane dan Daniel yang menginap di sini?"

Resepsionis memeriksa daftar, lalu menggeleng. "Tidak ada, Nona. Tidak ada pasangan senior dengan nama seperti itu."

Sasha tertegun. Ia merasa aneh, tetapi ia tidak mempedulikannya. Yang ia pedulikan sekarang adalah pulang. Ia kembali ke vila, mengemas barang-barangnya, dan berterima kasih dalam hati pada pasangan misterius itu. Dengan satu tujuan, ia pulang ke Jakarta. Ia harus menemui Darius.

Bersambung...

#tripvianahagnese
#cerbung
#sasha
#21episode
#GoresanTakdirdiAtasKanvas

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun