Episode 6: Cinta yang Tak Terduga
Pameran seni tunggal Sasha akhirnya terwujud. Lobi The Capital Group, yang biasanya dingin dan formal, kini bertransformasi menjadi galeri seni yang megah. Lampu-lampu sorot temaram menyoroti setiap lukisan, menciptakan efek dramatis yang memukau. Di tengah-tengah ruangan, sekat-sekat putih minimalis didirikan, memisahkan karya-karya Sasha menjadi beberapa seksi tematik. Bunga-bunga mawar putih disusun rapi di setiap sudut, menetralkan aroma khas gedung perkantoran dengan keharuman yang lembut.
Di antara lukisan-lukisan itu, karya Sasha terlukiskan dari sudut pandang yang paling jujur. Mulai dari karya-karya kelam yang didominasi warna gelap dan guratan kasar—menggambarkan kehancuran dan pengkhianatan di masa lalunya—hingga lukisan-lukisan yang kini mulai dipenuhi warna-warna cerah, berbicara tentang harapan dan pemulihan. Semuanya menceritakan perjalanan emosionalnya, dari kegelapan menuju cahaya.
Di tengah keramaian, Sasha merasa asing. Ini adalah dunianya, tetapi juga dunia yang selalu ia hindari. Ia melihat banyak wajah-wajah familiar dari pertemuan-pertemuan sebelumnya, orang-orang kaya yang menolak karyanya. Mereka kini tersenyum, memuji lukisannya. Itu terasa seperti ironi yang menusuk.
Sasha hanya bisa tersenyum tipis. Ia tahu, mereka tidak memuji karyanya. Mereka hanya memuji nama Darius yang kini melekat pada dirinya.
Tiba-tiba, sebuah suara yang sangat ia kenal menyapa. "Sasha, selamat ya!"
Adnan, seniornya dari kampus seni, berdiri di hadapannya. Rambutnya rapi, kemejanya bermotif kotak-kotak, dan matanya memancarkan kehangatan yang tak pernah berubah. Ia adalah satu-satunya orang di ruangan itu yang membuat Sasha merasa nyaman.
"Abang Adnan!" seru Sasha, matanya berbinar. Ia memeluk Adnan erat. "Aku enggak nyangka Abang datang. Kirain Abang masih di luar negeri."
Adnan tertawa. "Mana mungkin aku melewatkan pameran seniman favoritku? Aku baru pulang kemarin. Begitu dengar kamu ada pameran, aku langsung datang."
Di sisi lain, Darius berdiri di dekat panggung, mengamati mereka. Ia melihat Sasha tersenyum, tawa yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Tawa itu tulus, ceria, dan penuh kebahagiaan. Sesuatu di dalam dirinya terasa perih. Ia merasakan sebuah tusukan di hati, sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa posesif. Gadis itu adalah miliknya, ia sudah memilikinya, kenapa ia masih tersenyum seperti itu kepada pria lain?